Beranda Umum Opini Terima Kasih, Guru

Terima Kasih, Guru

YB Margantoro, praktisi media dan pegiat literasi / dok pribadi

Tanpa guru, tidak akan ada profesi lain (Julia Koble, Guru Teladan Tahun Ini dari Dakota Utara)

Guru yang baik terwujud dari hati (Barbara Dorff, Guru Sekolah Lanjutan Teladan Tahun Ini dari Texas).

SENGAJA saya memulai tulisan ini dengan dua kutipan kecil dari buku bertajuk Guru Teladan Tahun Ini karya Frank Sennett (2004). Buku tersebut berisi lebih dari 400 kutipan tentang pandangan, inspirasi, dan motivasi dari guru-guru terbaik. Panjang tulisan setiap kutipan rata-rata satu kalimat dan  satu paragraf.

Saya sering membawa buku dan membacakan kutipan dalam buku ini saat membersamai para guru dalam berbagai kesempatan belajar dan berkarya di bidang media dan literasi. Saya katakan bahwa setiap kutipan itu terasa ada “roh”-nya karena ditulis oleh sosok-sosok guru yang menjalani dengan sungguh-sungguh profesi mereka dalam mengajar dan mendidik para siswa.

Saya katakan juga kepada bapak ibu guru di Yogyakarta atau luar kota, baik saat bertemu langsung maupun melalui zoom meeting. Bahwa kalau para guru di Amerika Serikat itu dapat merefleksikan tentang mengajar dan mendidik dalam kutipan pendek, guru di tanah air juga dapat melakukannya. Ini semacam dorongan apresiasi dan keyakinan bahwa kita dapat menjalani sesuatu kalau mau berusaha.

Di momentum Hari Guru Nasional (HGN) 25 November 2021 yang bertema Bergerak dengan Hati, Pulihkan Pendidikan, apa yang dapat kita lakukan dan harapkan dari para guru di tanah air?

Pertama, seperti menjadi judul tulisan ini, saya dan kiranya setiap insan di mana pun berada, sangat patut berterima kasih kepada guru. Karena apapun posisi dan kondisi kita saat ini, itu semua terutama berkat jasa dan perjuangan para guru kita.

Kedua, apa yang dapat kita harapkan kepada para guru di tanah air, menurut saya adalah mereka tetap harus setia, semangat dan professional dalam mendidik anak-anak bangsa.

Harapan lain kiranya dapat dipertimbangkan dari pemikiran Mintara Sufiyanta (2011) tentang sepuluh keutamaan guru yakni : siap sedia, totalitas, cura personalis (relasi hati dengan siswa), kerja keras dan mutu, sense of belonging, melayani dengan rendah hati, bijaksana, memperjuangkan kebenaran, mudah bersyukur dan berpengharapan.

Ketiga, bermodal dengan sebuah pertanyaan reflektif dari wartawan senior H. Rosihan Anwar (alm) kepada para wartawan Indonesia : “Apa yang Kau Cari Wartawan”, kemudian mengubah kata wartawan menjadi guru atau nama kita masing-masing, semoga menjadi sarana penyadaran diri kita untuk tetap setia kepada panggilan hidup.

Selebihnya adalah, para guru kita di tanah air sudah sangat luar biasa dalam berkarya dan mengabdi di bidang pendidikan formal maupun nonformal selama ini. Bahkan di masa (pasca) pandemi Covid 19 saat ini, para guru di rumah juga berposisi dan berperan sebagai orangtua bagi anak-anak mereka. Kalau anak belum atau tidak paham atas mata pelajaran di sekolah, ayah atau ibu apapun profesinya harus membantu. Jadi para guru juga bertanggung jawab di ranah pendidikan informal.

Dari sisi sisi professional, yang dimaksud guru dalam hal ini adalah mereka yang memperoleh pendidikan formal dan nonformal serta memiliki ketugasan untuk mengajar. Bahkan ada pernyataan dari seseorang bahwa tidak semua orang dapat menjadi guru. Ini menunjukkan bahwa guru adalah sosok dan profesi yang mulia, khas dan memiliki makna mendalam.

Namun dalam pengertian lain, siapa pun dapat menjadi “guru” bagi diri sendiri dan orang. Ketika di kelas, dalam proses kegiatan belajar dan mengajar (KBM), siswa memang belajar dari guru. Namun sebenarnya, guru juga dapat belajar tentang sesuatu dari siswa meski dengan bentuk dan skala berbeda. Bukan hanya kepada siswa, siapa pun yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari dapat memberikan pengajaran atau pendidikan bermakna.

Sebagaimana Bapak Pendidikan Ki Hadjar Dewantara mengatakan, hendaknya setiap orang dapat menjadi guru bagi sesama dan setiap rumah dapat menjadi sekolah bagi sesama. Alam semesta, aneka peristiwa, sesama makhluk ciptaan Tuhan sampai karya manusia sendiri, dapat menjadi “guru” bagi kita. Salah satu karya manusia yang sarat dengan ilmu pengetahuan dan dapat mendidik kita adalah buku. Buku kadang juga dikatakan sebagai “guru yang tidak pernah marah”.

Pentingnya literasi guru

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa guru dan dosen  wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Salah satu kualifikasi yang patut dimiliki guru saat ini (sebenarnya sudah sejak dulu dilaksanakan) adalah bidang literasi. Di sekolah kita ketahui ada program literasi sekolah sebagai bagian dari Gerakan Literasi Sekolah (GLS) khususnya dan Gerakan Literasi Nasional (GLN) umumnya. Guru menjadi bagian tidak terpisahkan dari tim literasi sekolah (TLS), selain menjadi kebutuhan dan kewajiban pribadi untuk kenaikan pangkat dan peningkatan kualitas pendidik dengan rajin menulis.

Sebagai pegiat literasi di Yogyakarta, saya memiliki pengalaman empirik dalam membersamai guru khususnya dan warga sekolah/masyarakat umumnya dalam kegiatan literasi. Secara umum, para guru yang terlibat secara langsung maupun via komunikasi daring, memiliki komitmen dan semangat untuk belajar dan berkarta literasi. Ini luar biasa, mengingat tugas dan kewajiban guru sehari-hari sudah cukup berat. Kian berat selama pandemi Covid 19 ini.

Namun tentu saja tetap ada beberapa guru yang belum mau atau belum tergerak menekuni literasi. Dua alasan klasik faktualnya adalah masih sibuk dengan dengan pengajaran dan sudah hampir pensiun. Faktual karena memang kondisinya seperti itu.

Solusi yang saya sampaikan untuk masalah ini adalah manajemen waktu, mengikuti komunitas literasi dan bahwa membaca-menulis itu bukan hanya dapat dilakukan selama bekerja. Kapan saja dan di mana saja, siapa saja saat ini dapat membaca dan menulis karena sarana prasana informasi dan teknologi sudah memadai.

Hal ini karena di ranah keluarga, sekolah/pekerjaan dan masyarakat, kita mendapat sentuhan atau program gerakan literasi. Jangan sampai kita ketinggalan atau apalagi mengabaikan, karena literasi memberikan banyak manfaat bagi kehidupan kini dan mendatang.

Dari sisi perjalanan waktu, kita mengenal ada istilah momentum atau news peg dalam bahasa kewartawanan. News peg adalah cantelan peristiwa dari hari-hari penting internasional dan dalam negeri, dari Januari sampai Desember setiap tahun. Cantelan peristiwa itu dapat menjadi awal ide untuk menulis atau berkarya literasi.

Hari Guru Nasional (HGN) 25 Desember 2021 dapat menjadi titik awal para guru di tanah air untuk berkarya literasi, baik yang sudah pernah maupun belum. Bagi yang belum pernah menulis, dapat memulai berkarya. Bagi yang sudah pernah berkarya, tinggal meneruskan sebagai sebuah tradisi intelektual dan inspiratif.

Karya literasi apa yang dapat dihasilkan guru? Meminjam muatan utama media umum, ada fakta, opini, fiksi dan foto. Untuk fakta, silakan dicoba menulis secara sederhana dalam bentuk berita acara HGN di sekolah atau wilayah masing-masing. Rumus penulisannya 5 W + 1 H (apa, siapa, di mana, kapan, mengapa dan bagaimana). Syukur kemudian dikirimkan ke media massa sebagai siaran pers, atau disimpan dulu kalau belum percaya diri (PD). Demikian pula untuk karya opini, fiksi dan foto, dapat bernuansa HGN.

Bapak ibu guru yang baik, jadilah tetap sebagai guru yang mengajar dan mendidik dengan hati di kelas maupun di luar kelas. Selebihnya, silakan menulis dan menjadi penulis untuk media massa atau buku. Karena menulis juga mengajar dan mendidik yang bebas ruang dan waktu. Menulis adalah melestarikan peradaban.  ***

Y.B. Margantoro

Praktisi media dan pegiat literasi di Yogyakarta