Oleh : Khafid Sirotudin*
Dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, ada sebuah hajatan yang memiliki makna khusus. Yaitu saat seseorang menikah atau ketika orang tua menikahkan anaknya. Hari Kamis Pahing, 2 Desember 2021 kami diminta Sobirin, temen dan sahabat sejak SMP untuk ikut mengantarkan calon pengantin, putra ke-2-nya yang akan menikah. Tepatnya di Kelurahan Genuksari, Kecamatan Genuk, Semarang.
Jam 07.00 WIB ‘iring-iringan’ rombongan calon pengantin putra berangkat dari Dusun Lebo, Desa Bumiayu, Weleri, Kendal, Jateng. Beruntung ada jalan tol Trans Jawa, sehingga kami bisa tiba lebih cepat. Masuk pintu tol Weleri KM 384 dan keluar melalui exit tol Gayamsari/Masjid Agung Jawa Tengah. Hanya sejam kami serombongan dari Weleri sudah sampai rumah keluarga besan.
Mantu
Masyarakat Jawa menggambarkan keluarga yang mempunyai hajatan menikahkan anak dengan istilah ‘mantu’. Maknanya ‘sik dieman-eman metu’ (sesuatu yang disimpan lama dikeluarkan). Anak perempuan yang dipelihara, dididik, disayangi sejak kecil ‘diserahkan’ kepada lelaki yang menikahi.
Simpanan, tabungan dan harta benda yang lama disimpan dikeluarkan dan dibelanjakan untuk memeriahkan pernikahan putra- putrinya. Semua buah-buahan yang paling baik di kebun dipetik, bahan makanan dari beras dan ketan disajikan.
Untuk memilih hari dan tanggal pelaksanaan akad nikah biasanya disesuaikan dengan hari, waktu dan tanggal baik sesuai kalender Jawa. Kalender masehi berbeda dengan kalender Jawa atau penanggalan Hijriyah. Jika sistem perhitungan hijriyah dan kalender Jawa mengacu pada peredaran bulan mengitari bumi, penanggalan masehi berpatokan pada peredaran bumi mengitari matahari.
Kalender Jawa adalah perpaduan kalender Saka dan Hijriyah. Penanggalan pada kalender Jawa ini awalnya dibuat oleh Sultan Agung berdasarkan lunar atau sistem bulan seperti sistem kalender hijriyah.
Suguh, lungguh, gupuh
Keluarga calon pengantin putra, selain membawa mahar, juga membawa oleh-oleh (buah tangan) untuk keluarga pengantin putri. Yang ‘wajib’ dibawa makanan berbahan ketan, seperti jadah, wajik, wingko. Ketan menggambarkan keeratan silaturahmi yang hendak dijalin di antara dua keluarga pengantin.
Selain makanan berbahan ketan, biasanya keluarga besan membawa buah pisang, beras, teh dan gula. Juga pakaian ‘sak pengadeg’ (komplit) termasuk alas kaki (sepatu dan sandal) serta perhiasan untuk pengantin putri.
Kesuksesan mantu dinilai dari tiga hal, yaitu suguh (jamuan makanan minuman yang disuguhkan), lungguh (tempat duduk; tempat/lokasi perhelatan yang nyaman) dan gupuh (penerimaan dan pelayanan kepada tamu yang hadir).
Dalam hal suguhan (makanan dan minuman) pada resepsi pernikahan, semakin banyak shahibul hajat menyajikan mamin berbahan dasar pangan lokal.
Pisang dan kacang rebus, aneka jajan pasar semakin sering kelihatan pada berbagai jamuan resepsi di hotel berbintang. Kue berbahan mocaf (modified casava flour) perlahan-lahan menggeser roti berbahan tepung terigu.
Soft drink berbahan soda mulai diganti dengan es kelapa muda, jahe, kopi dan dawet. Semakin banyak masyarakat dan pejabat menyuguhkan pangan lokal di berbagai hajatan dan kegiatan, maka kami yakin pangan lokal dapat menjadi ‘tuan rumah’ di negeri ini. Wallahu’alam..
—*Penulis adalah pemerhati pangan, alumni Magister Agribisnis Undip—