Oleh: Khafid Sirotudin*
Kamis, 9 Desember 2021 pagi, kami dijemput Cak Aang untuk melakukan anjang sana menuju Boyolali. Cak Aang, asal Madura, alumni Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Sekarang dia tinggal di Klaten bersama Fitri, istrinya yang sedang menanti kelahiran anak pertamanya.
Kami sengaja mengagendakan silaturahmi ke Pondok Pesantren Al-Huda di Desa Doglo, Candigatak, Kecamatan Cepogo, Boyolali. Sudah enam bulan silam Romo KH Habib Ihsanudin meminta kami untuk mampir jika melewati Ampel Boyolali. Suatu kehormatan bagi kami untuk sowan dan ngangsu kaweruh (silaturahmi dan mencari ilmu) dengan Ketua MUI, Ketua IPHI sekaligus Ketua Thariqat Muktabarah Kabupaten Boyolali.
Ponpes Al-Huda
Kami mampir sarapan sebentar di RM Ulam Sari, selatan pertigaan Tugu Botol Susu Sapi, salah satu ikon Boyolali. Ayam kampung goreng khas Ulam Sari menjadi salah satu menu andalan kami di Boyolali sejak 20 tahun silam.
Turut bergabung sarapan, Widodo salah satu komisioner Bawaskab Boyolali. Kami kenal Widodo juga sudah cukup lama, 15 tahun lebih. Kami pernah berpartner melaksanakan program pemberdayaan masyarakat pedesaan di Boyolali, Sukoharjo dan Batang antara tahun 2004-2009. Bersinergi dengan almarhum Imam Suhadi dari LPTP (Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan).
Pagi menjelang siang, kami bertiga sampai di Ponpes Al-Huda. Terlihat sudah banyak perubahan bangunan dan lingkungan yang menggembirakan di kompleks Ponpes yang menyatu dengan rumah penduduk sekitar. Bangunan kompleks Ponpes Alhuda tanpa pagar tembok tinggi dan pintu gerbang yang tidak pernah ditutup seperti beberapa bangunan Ponpes Modern yang kami lihat di beberapa daerah.
Ponpes Al-Huda memiliki SMK Al-Huda sebagai bagian pendidikan formal bagi para santri dan masyarakat sekitar. Melengkapi Madrasah Diniyah/MI dan MTs Al-Huda yang sudah berdiri lebih dulu.
Sependek ingatan kami terakhir datang ke sana tahun 2009. Kami bertemu secara fisik dengan KH Habib Ihsanudin setahun yang lalu di Semarang, bersama KH Hanif Muslih Mursyid Ponpes Futuhiyah Mranggen dan KH Mundir Afif, aktivis NU kota Semarang. Sebulan setelah pertemuan itu, KH Hanif Muslih ‘kapundut’ (wafat).
Di ujung pertigaan jalan sebelum memasuki kompleks, terdapat Trenshop (Pesantren Shop) berdiri megah di sebelah selatan Ponpes. Semacam toko kelontong Amal Usaha Milik Ponpes Al-Huda. Melayani berbagai kebutuhan masyarakat umum dan santri.
Menurut penuturan Nyai Habib (istri KH Habib Ihsanudin), selain Trenshop masih ada toko Busana Muslim di pasar Boyolali yang juga menjadi amal usaha Ponpes. Kami pernah mengunjungi toko itu belasan tahun silam, kalau tidak salah ingat namanya Toko Multazam.
Pengelolaan semua unit usaha Ponpes diserahkan kepada para santri yang sudah purna dan masih mengabdikan diri menjadi guru, ustadz ustadzah di Ponpes Al-Huda. Semua keuntungan dan sisa hasil usaha dipakai untuk membiayai operasional Ponpes.
Sebuah kemandirian ekonomi yang patut ditiru. “Cobi mang bayangke Gus, nyantri teng mriki mbayare ming sejuta setahun. Niku mawon wonten ingkang mboten saged lunas dugi setahun (coba dibayangkan mondok disini hanya bayar Rp 1 juta setahun. Itupun masih ada santri yang tidak mampu melunasi selama setahun)”, kyai Habib menjelaskan. Gus Hafidz adalah panggilan sayang beliau pada kami.
Kami sudah saling mengenal dekat cukup lama. Bahkan KH Habib Ihsanudin pernah mengisi pengajian pada acara haul simbah buyut kami KH Abdul Manan dan simbah kami KH Syirojudin di Sendang Mulyo, Meteseh, Tembalang Semarang, pada tahun 2005 silam.
Kedatangan kami hari ini, selain untuk silaturahmi juga atas permintaan beliau untuk ikut berjamaah mengembangkan pondok pesantren. Khususnya mengembangkan unit usaha ekonomi di lingkungan Ponpes. “Pondok pesantren kudu biso mandiri ekonomi, ben imane jejeg ora gampang miyar-miyur adol agomo (Ponpes harus bisa mandiri secara ekonomi, biar imannya kuat tidak mudah menjual agama)”, petuah beliau kepada kami.
Saat ini, ada 400-an santri mondok di Ponpes Al-Huda yang berdiri sejak 58 tahun silam. Proporsi santri putri lebih banyak daripada santri putra. Selain berasal dari Boyolali dan daerah sekitarnya, ada juga santri yang berasal dari luar Jawa. Madura, NTT, Kalimantan bahkan Aceh. Satu miniatur kebhinekaan suku bangsa yang luar biasa.
Pengembangan Madu Klanceng
Setelah selesai jamaah shalat dzuhur di masjid, kami melanjutkan pembicaraan terkait budidaya lebah madu klanceng. “Monggo dipun cicipi mas, gedhange panen seko kebone dewe (silakan dinikmati, pisangnya hasil panen sendiri dari kebun)”, bu Nyai Habib mempersilahkan. Selain teh hangat dan roti, siang itu kami disuguhi pisang raja yang menggoda selera.
“Kulo pun istikharah Gus, sak sampune maos kathah tulisan lan gambar saking panjenengan. Insya Allah badhe tumut ngembangke madu klanceng teng mriki. Alhamdulillah wonten lahan 8.000 meter ingkang sampun ditanemi alpukat. Monggo Gus Hafidz dipun bantu mernahke (Saya sudah istikharah, setelah banyak membaca tulisan dan melihat gambar tentang klanceng. Insya Allah akan mengembangkan budidaya klanceng di Ponpes. Ada lahan 8.000 m2 yang sudah ditanami alpukat. Mempersilakan kami untuk membantu menata lahan itu)” pinta KH Habib.
“Insya Allah kyai, kulo sagede ming urun sekedhik ilmu soal budidaya tawon klanceng (Insya Allah, kami bisanya hanya berbagi sedikit ilmu budidaya lebah klanceng)” jawab kami.
“Madu kuwi wis ono nase Al-Quran lan hadits. Mesti bener lan manfaat kanggo menungso. Ilmu kudu dibagi ben berkah nggo sangu ning akhirat (Madu itu sudah ada dalilnya di Al-Quran dan Hadits. Pasti benar dan bermanfaat untuk manusia. Punya ilmu harus dibagi agar berkah untuk bekal hidup di akhirat)”, tutur kyai Habib.
“Insya Allah, awal tahun ngajeng kulo sak rencang2 pegiat klanceng sowan mriki (awal tahun 2022, insya Allah kami dan teman-teman pegiat klanceng datang kemari)” jawab kami.
Setelah merasa cukup, kami bertiga pamitan. Sebelum beranjak pulang, kami didoakan KH Habib Ihsanudin. Rasanya adem, nyaman hidup dan tinggal di lingkungan pondok pesantren. Ada semangat menunaikan ibadah fardhu berjamaah. Semangat mencari dan berbagi ilmu setiap hari. Serta berihtiar maksimal untuk berdikari secara ekonomi.
Di sepanjang perjalanan pulang, kami berpikir bagaimana caranya untuk bisa berbagi sedikit manfaat bagi masyarakat dan umat melalui pemberdayaan ekonomi bagi para santri di Ponpes. Khususnya budidaya madu klanceng yang selama 2 tahun terakhir kami tekuni.
Insya Allah kami bisa menjadi bagian dari sebuah upaya besar bagi terwujudnya kemandirian madu nasional. Apalagi mengingat hingga saat ini Indonesia masih mengimpor madu sebanyak 10.000 ton setiap tahun. Sebuah angka importasi yang besar dan menyedot devisa negara.
Budidaya lebah madu klanceng juga diharapkan akan meningkatkan konsumsi madu di kalangan umat agar semakin memiliki derajat kesehatan yang semakin baik. Mengingat tingkat konsumsi madu kita masih rendah, berkisar 10-20 gram per orang per tahun. Hanya sesendok makan madu setiap orang setahun.
Bismillah, semoga Allah Swt meridhai usaha kami. Amin.
Wallahu’alam
*–Penulis adalah Pemerhati pangan, founder HIBTAKI, pembudidaya klanceng—