JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Sistem demokrasi di tanah air bakal menjadi ruwet jika sampai terjadi Pemilu 2024 bakal ditunda.
Penilaian itu disampaikan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva. Dia mengatakan, penundaan itu bukan cuma mempengaruhi sistem jabatan presiden, tapi juga MPR, DPR, DPD, DPRD, hingga menteri.
“Jika pemilu ditunda untuk 1-2 tahun, siapa yang jadi presiden, anggota kabinet (menteri), dan anggota DPR, DPD, dan DPRD seluruh Indonesia karena masa jabatan mereka semua berakhir pada September 2024,” ujar Zoelva dalam keterangan di akun Twitter @hamdanzoelva yang Tempo kutip Minggu (27/2/2022).
Eks Wakil Ketua Partai Bulan Bintang itu menjelaskan dalam UUD 1945 tidak mengenal pejabat presiden. Menurut Pasal 8 UUD 1945, jabatan kepala presiden dan wakil presiden dapat digantikan oleh pelaksana tugas Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan, hanya jika presiden dan wapres berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya secara bersamaan.
“Tetapi itu pun tetap jadi problem karena jabatan Mendagri, Menlu dan Menhan berakhir dengan berhenti atau berakhirnya masa jabatan presiden dan wapres yang mengangkat mereka, kecuali MPR menetapkannya lebih dahulu sebagai pelaksana tugas kepresidenan,” kata Zoelva.
Ia mengatakan berdasarkan Pasal 8 UUD 1945, MPR dapat mengangkat presiden dan wapres menggantikan presiden dan wapres yang berhenti atau diberhentikan, sampai terpilihnya presiden dan wapres hasil Pemilu. Presiden dan wapres yang dipilih MPR ini berasal dari usulan partai politik atau gabungan parpol yang pasangan capresnya memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu.
Zoelva mengatakan dalam kondisi seperti ini, siapa saja dapat diusulkan oleh partai atau gabungan partai politik menjadi pasangan calon presiden dan wapres. Alias tidak harus presiden yang sedang menjabat sebelumnya.
“Tetapi masalahnya tidak berhenti di situ, siapa yang memperpanjang masa jabatan anggota MPR (DPR-DPD) dan DPRD? Padahal semuanya harus berakhir pada 2024, karena mereka mendapat mandat terpilih melalui pemilu,” kata Zoelva.
Untuk keperluan tersebut, Zoelva mengatakan ketentuan UUD 1945 mengenai anggota MPR pun harus ikut diubah. Pengubahan itu menjadi anggota MPR tanpa melalui pemilu dan dapat diperpanjang.
Namun pihak yang memiliki kewenangan memperpanjang masa jabatan MPR ini pun juga jadi persoalan. Pengubahan dapat dipaksakan dengan presiden atas usul KPU, tetapi UUD 1945 yang mengatur anggota MPR harus diubah lebih dulu.
Maka untuk memuluskan skenario penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan, lanjutnya, harus ada Sidang MPR mengubah UUD 1945. Lalu Sidang Istimewa MPR memberhentikan Presiden dan Wapres, serta mengangkat Presiden dan Wapres sebelum masa jabatan mereka berakhir.
“Problem lain, muncul karena banyak DPRD se-Indonesia yang sudah berakhir masa jabatannya pada Juli-Agustus-September 2024, berarti semua agenda skenario harus selesai pada Agustus- September 2024,” kata Zoelva.
Setelah konstitusi tentang wewenang MPR menyangkut presiden dan wapres sudah direvisi, Zoelva mengatakan jika Jokowi dan Ma’ruf Amin ingin diangkat kembali menjadi presiden dan wakil presiden setelah 2024, maka keduanya harus diberhentikan dahulu oleh MPR sebelum masa jabatan habis.
Namun, pemberhentian oleh MPR harus memiliki alasan yang kuat. Presiden dan wakil presiden dapat berhenti bersamaan karena mengundurkan diri, berhenti atau diberhentikan karena melakukan pelanggaran hukum menurut Pasal 7B UUD 1945.
“Jadi persoalan begitu sangat rumit, maka jangan pikirkan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan itu karena hanya cari-cari masalah yang menguras energi bangsa yang tidak perlu. Jalankan yang normal saja, negara aman-aman saja,” kata Zoelva.
Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013-2015 ini mengatakan skenario penundaan Pemilu 2024 merampas hak rakyat menentukan pemimpinnya setiap 5 tahun sekali. Menurut dia, dari segi alasan tidak ada alasan moral, etik, dan demokrasi menunda pesta demokrasi lima tahunan itu. #tempo.co