SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kasus Penyobekan sertifikat tanah warisan milik warga di Desa Katelan, Tangen, Sragen yang dilakukan Kadus setempat, Nano Widyanto, menuai tanggapan dari Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat.
Kepala Kantor ATR/BPN Sragen, Arief Syaifullah menyayangkan penyobekan sertifikat yang dinilai sebagai tindakan konyol.
“Mungkin itu karena emosi, tapi itu tindakan konyol,” paparnya ditemui JOGLOSEMARNEWS.COM , Jumat (25/3/2022).
Ia mengatakan kasus penyobekan sertifikat yang terjadi di Tangen itu sudah di luar kewenangan BPN. Hal itu adalah masalah internal kedua belah pihak yang berkonflik.
Meski demikian, sertifikat yang sobek jadi dua itu masih bisa diproses untuk dilakukan pergantian.
Syaratnya kedua sobekan sertifikat itu harus disatukan kembali untuk kemudian diajukan permohonan untuk ganti sertifikat rusak.
“Kalau mau diproses ya harus disatukan dulu yang sobek itu. Nanti ada layanan ganti blangko sertifikat karena rusak,” jelasnya.
Yang terpenting, data di sertifikat itu masih ada. Kemudian arsip tanah tersebut juga masih ada di BPN. Tidak hanya sertifikat sobek, layanan penggantian sertifikat itu juga meliputi sertifikat yang rusak karena kebakaran dan insiden lainnya.
“Sama dengan ijazah yang sobek atau rusak bisa diproses diajukan pengganti,” jelasnya.
Duduk Perkara Penyobekan
Menurut keterangan salah satu anak alm Suto sekaligus ahli waris, Suwarno, kasus itu sudah diadukan ke Polres Sragen beberapa waktu lalu.
Pria asal Dukuh Gilis RT 02, Katelan, Tangen itu bersama saudaranya atau ahli waris lainnya, melaporkan Kadus Nano yang juga keponakannya lantaran sertifikat tanah seluas 3420 meter persegi itu disobek menjadi dua.
Padahal saat ini, tanah itu dalam proses dijual dan sudah diberi uang muka untuk makam muslim oleh salah satu tokoh setempat, H Lukito.
Kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Suwarno mengungkapkan laporan ke Polres dilakukan awal Februari lalu. Saat ini dirinya sudah dua kali diperiksa dan dimintai keterangan oleh penyidik Polres terkait laporannya.
“Laporan saya ke Polres sudah dua bulan lalu. Awalnya almarhum Bapak saya Mbah Setu Senen punya lahan tegalan seluas 3240 M2 di wilayah Blawong, Katelan. Oleh 9 anaknya sebagai ahli waris tanah itu mau dijual dan sudah dibeli oleh Pak Haji Lukito untuk makam muslim. Sudah jadi harga Rp 275 juta dan sudah diberi DP (uang muka) Rp 10 juta dua bulan lalu. Tapi sertifikatnya waktu itu dibawa ibunya Nanok itu, lalu saat saya minta sama saudara, malah dipegang Pak Bayan (Nanok) dan disobek jadi dua di rumahnya,” paparnya.
Suwarno menguraikan dirinya dan ahli waris lainnya terpaksa menempuh jalur hukum karena dampak dari penyobekan itu membuat proses jual-beli tanah itu jadi terhambat.
Padahal pembeli sudah membayar DP Rp 10 juta dan siap melunasi pembayaran setelah memegang sertifikat untuk dibalik nama.
“Proses jual-beli belum bisa clear. Padahal semua ahli waris sudah ikhlas, tandatangan komplet, tinggal menyerahkan sertifikat dan bayaran. Tapi gara-gara sertifikat disobek Pak Bayan itu akhirnya sampai sekarang masih menggantung,” urainya.
Ia menceritakan bahwa dirinya adalah anak nomor tiga dari sembilan bersaudara. Nano adalah anak dari kakaknya, Sukiyem yang merupakan anak nomor dua dari Mbah Setu.
Sertifikat itu disobek di hadapan 5 saudaranya sekaligus ahli waris. Yakni dirinya, Joko, Suharni, Sutiyem dan Sukinem.
Saat mengetahui sertifikat disobek, ia dan beberapa saudaranya sempat marah.
Surat Pernyataan Bermaterai
Suwarno juga menegaskan secara status, posisi tanah itu tidak ada masalah dan 9 anak ahli waris Mbah Setu sudah menyetujui untuk dijual.
Hal itu diperkuat dengan surat pernyataan yang dibuat pada tanggal 10 November 2021.
Dalam surat pernyataan itu, intinya 9 anak ahli waris almarhum Suto di antaranya Suharni, Sukimin, Sukiyem, Suwarno, Sukinem, Sutiyem, Sami, Sukardi, Sukarmin sudah menyetujui tanah warisan itu dijual Rp 275 juta dan selanjutnya hasilnya akan dibagi rata.
Pernyataan itu dibuat dengan dilampiri fotokopi KTP dan tandatangan kesembilan ahli waris dengan saksi Sukri, Suraji dan mengetahui Ketua RT 5, Widodo.
“Semua anak sudah tandatangan semua bermaterai dan pakai KTP. Nah awalnya sertifikat ada di saya, habis itu dibawa saudara saya Sami, terus kakak saya Suharni, terus diminta Pak Bayan itu. Dulu dia pernah bilang mau beli tapi kita minta Rp 80 juta hanya nawar Rp 60 juta. Yang kami sayangkan, kenapa dia berani nyobek sertifikat padahal bukan ahli waris, dia cuma cucu. Sekarang sobekan sertifikat itu yang satu di saya, satunya di Pak Bayan itu,” urainya.
Ia berharap kasus itu bisa ditindaklanjuti dan diproses sesuai hukum yang berlaku. Setelah itu bisa diproses sertifikat pengganti sehingga proses jual-beli bisa berlanjut kembali.
Terpisah, saat dihubungi, Ketua RT 5 Desa Katelan, Widodo tak menampik adanya laporan itu.
Ia juga membenarkan memang dari 9 ahli waris tanah milik Alm Setu Senen sudah menyepakati dijual untuk makam muslim dengan membuat surat pernyataan bermaterai.
Merasa Sudah Beli
Sementara, Kasus Nano sebenarnya masih cucu dari alm Suto, pemilik tanah pekarangan yang sertifikatnya disobek. Nano adalah anak dari Sukiyem, satu dari 9 anak alm Suto.
“Saya merasa sudah beli. Saya keluar uang. Saya menyobek itu bukan atas kemauan saya, tapi atas kemauan Mbah Ni (Suharni- bibinya) dan Joko (sepupunya). Ada fotonya, ada video dan ada rekamannya. Ada saksi-saksinya juga,” kata Nano kepada JOGLOSEMARNEWS.COM saat hadir di mediasi dengan perwakilan ahli waris di Balai Desa Katelan, Kamis (17/3/2022).
Nano tidak menampik dirinya memang menyobek sertifikat tanah kakeknya itu.
Penyobekan dilakukan di rumahnya.
Awalnya ia didatangi oleh bibinya, Suharni dan Joko, pamannya Suwarno Notil, dan beberapa ahli waris yang meminta sertifikat tanah itu.
Karena merasa punya hak, Nano tak menyerahkan. Sempat terjadi adu mulut dan saling argumen, hingga kemudian dia sobek sertifikat itu menjadi dua.
“Saya melakukan penyobekan atas permintaan Joko dan ibunya. Waktu itu dia bilang nak memang Mbokku yo tuku, kowe yo tuku, sertifikate mbokku ndi, suweken dari loro. (Kalau memang ibuku ya beli, kamu ya beli, sertifikat ibuku mana. Sobeklah jadi dua,” ujar Nano.
Nano kemudian mengatakan ia mengaku memang merasa sudah mengeluarkan uang Rp 30 juta. Seingatnya uang itu diserahkan 3 kali dan dua di antaranya ke bibinya, Suharni.
Namun ia tidak menampik memang saat itu tidak ada kuitansi atau bukti penyerahan uang. Akan tetapi ia mengklaim ada saksi-saksi yang melihat penyerahan uang.
Nano juga mengaku saat ribut-ribut penyobekan sertifikat itu, ia sempat dicekik oleh Joko dan didorong sampai ke pagar. Kasus itu sudah ia laporkan di Polsek dan berakhir damai.
Perihal bukti kuitansi kalau dirinya sudah membeli dan bukti kepemilikan yang selama ini ditanyakan ahli waris, Nano mengakui tidak punya.
“Buktinya sewaktu simbah saya sakit perlu biaya. Waktu itu aset dari Simbah say tinggal tanah itu. Waktu itu bilangnya yang ditoroki tinggal bagiannya Suharni dan Sukiyem (ibunya). Sebelum saya beli tanah itu, saya kumpulkan semua ahli waris. Tiga kali rapat keluarga, semua ahli waris datang kecuali Warno. Rp 30 juta tiga kali pembayaran. Ada saksinya,” kata dia.
Ia kembali bersikukuh bahwa dirinya melakukan penyobekan karena merasa dalam tekanan dan ancaman.
“Saya menuruti apa yang Mas Joko dan mboke minta. Saya melakukan pengrusakan, penyobekan dan penggelapan saya tahu. Tapi kalau saya nggak lakukan itu, mungkin saya juga diancam terus dan ditekan,” katanya.
Terkait laporan ahli waris ke Polres soal penyobekan, Nano mengaku sudah siap menghadapi. Ia juga tidak keberatan dan akan kooperatif jika dipanggil oleh polisi.
“Saya sampaikan kronologi biar jelas. Kalau akan laporkan saya, ya biar dilaporkan. Sebagai warga negara baik kalau ada panggilan, saya siap menjalani aduan,” imbuhnya.
Sementara, Suharni membantah menerima uang pembayaran dari Nano. Saat mediasi di depan Kades, ia balik mengatakan bahwa justru Kadus Nano yang banyak memutarbalikkan fakta dan mempermainkan orang tua.
“Kowe wis nggaek-ngaekkne wong tuwo. Nang kepolisian omonganmu malik kabeh,” ujarnya.
Saling Klaim
Sedang Joko, anak Suharni, menyebut sepengetahuannya neneknya tidak pernah dirawat di rumah sakit. Karena sejak sakit sampai meninggal dirawat di rumah.
Sehingga ia menilai apa yang disampaikan Nano hanya alibi semata. Sementara, Suwarno juga menyangsikan klaim soal wasiat nenek soal warisan yang diminta dibeli oleh Nano.
Ia juga meragukan pengakuan Nano soal biaya sewaktu neneknya sakit. Termasuk soal pembayaran Rp 30 juta, seingatnya tidak pernah ada ahli waris yang menerima dan mengetahui.
“Memang dulu dia mau beli, disuruh Rp 80 juta, dia hanya berani Rp 60 juta. Lalu sertifikat dibawa ibunya, waktu kita minta katanya dibawa Nano, malah kemudian disobek jadi dua. Kalau memang dia mbeli, buktinya, kuitansinya juga nggak ada. Dari 9 ahli waris, tidak ada yang memberi persetujuan dan nggak ada yang tandatangan. Apa itu sah?” ujar Suwarno.
Karena tidak ada itikad baik menyelesaikan secara kekeluargaan, Suwarno dan Joko berniat melaporkan kembali kasus itu ke Polres Sragen.
“Karena tidak selesai, kami akan lapor ke ranah hukum lagi. Karena dulu saat mediasi di Polres, dia minta laporan dicabut katanya sertifikatnya mau dikasih, tapi ini malah dipersulit sertifikat nggak diberikan,” imbuh Joko yang juga anggota Polsek tersebut.
Sementara, Kades Kunto Cahyono sempat menyarankan agar persoalan itu sebaiknya diselesaikan dengan damai dan kekeluargaan.
Sebab bagaimanapun semua masih berkerabat sehingga akan lebih baik dirembug bersama bagaimana baiknya.
Soal klaim Kasus merasa memiliki hak karena sudah merasa membayar, Kades menyebut dalam hukum jual-beli tanah, bukti kuitansi atau surat jual beli menjadi mutlak.
Jika tanpa ada kuitansi, apalagi ahli waris belum tandatangan semua, maka proses itu juga tidak akan sah.
“Karena yang namanya membeli warisan, sepakat tidak ada persetujuan ahli waris, nggak akan bisa. Karena sertifikat itu masih atas nama Mbah Suto. Makanya karena ini masih saudara semua, silakan dirembug baik-baik. Kalau Pak Bayan merasa sudah membiayai Mbah Setu waktu di rumah sakit, ya habisnya berapa silakan dirembug. Kalau sudah proses hukum, pasti ada yang kalah dan hubungan saudara akan putus,” ujarnya.
Meski sudah diberi saran, Kadus tetap bersikukuh pada pendiriannya. Meski tidak ada bukti kuitansi dan surat jual-beli, menurutnya tidak masalah karena dia merasa ada saksi dan kronologinya.
“Kalau nggak bisa selesai (dibalik nama) ya saya nggak masalah. Gak jadi sertifikat pun nggak masalah. Memang waktu itu saya tahu nggak ada buktinya, aku mengakui aku salah. Tapi saya merasa beli, saya sama-sama kuat karena saya keluar uang. Sah tidaknya saya enggak tahu,” ujarnya di hadapan Kades dan paman-pamannya.
Karena tidak ada titik temu, mediasi itu akhirnya bubar dengan saling memendam kekecewaan. Joko, Suwarso dan Suharni pulang dengan bersikukuh akan menempuh jalur hukum kembali.
Sedang Kadus Nano mengaku siap meladeni karena merasa punya hak dan tidak akan merelakan tanah itu dijual oleh ahli waris. Wardoyo