SLEMAN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Sekecil apapun kedudukan seseorang, selalu saja terbuka kesempatan untuk korupsi. Termasuk kedudukan seorang dukuh di Sinduharjo, Ngaglik, Kabupaten Sleman ini.
Suhardi, sang Dukuh di Sinduharjo, rupanya tergelincir dengan memanfaatkan kedudukannya untuk melakukan korupsi tanah pelungguh. Menurut pengakuannya, ia sudah berniat hendak mencicil kerugian desa akibat ulahnya itu, namun keburu masuk jerat hukum.
Kini statusnya menjadi tersangka. Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri Sleman atas dugaan korupsi penyalahgunaan tanah pelungguh seluas 8.000 meter persegi di Ngabean Kulon, Sinduharjo, Ngaglik, Sleman.
Namun, proses tersebut belum sempat terlaksana, dan Suhardi kini telah ditahan di Kejaksaan Negeri Sleman.
“Sempat mau dikembalikan dengan dicicil. Tapi belum (terlaksana),” kata Ulu-ulu (Kaur Pembangunan) Kalurahan Sinduharjo, Hadi Sumarno, saat ditemui pada Sabtu (23/7/2022).
Jika dirunut ke belakang, penyalahgunaan tanah pelungguh yang akhirnya menjerat Suhardi itu, sudah berlangsung sejak tahun 2008 silam.
Sepengetahuan Hadi, tanah pelungguh di Ngabean Kulon, Sinduharjo tersebut awalnya adalah tanah yang kurang produktif. Apabila dimanfaatkan untuk lahan pertanian secara irigasi kurang memadai.
Dari situ, muncul niatan dari Suhardi, bagaimana caranya memanfaatkan tanah pelungguh sebagai lahan penghasilan. Tanah yang lokasinya dekat dengan wilayah Kalurahan Condongcatur tersebut kemudian disewakan ke seseorang.
Awalnya, dimanfaatkan untuk pengepulan rongsok. Seiring berjalan waktu, tanah yang disewakan ke seseorang itu ternyata disewakan lagi dari pihak kedua ke pihak ketiga.
Lalu terus berkembang dan kini telah dibangun rumah hingga kos-kosan. Saat itu, kata Hadi, yang bersangkutan belum mengetahui tata kelola pemerintahan yang baik, bahwa jika tanah pelungguh dialihfungsikan maka harus mengantongi Izin dari Gubernur DIY.
Aturan tentang pemanfaatan tanah desa itu diatur melalui Peraturan Gubenur di tahun 2017.
Di tahun yang sama, ketentuan bagi hasil tanah desa kemudian diatur melalui Peraturan Desa (Perdes).
Di mana dalam ketentuannya, pihak yang menyewakan mendapat bagian 85 persen sedangkan 15 persen penghasilan masuk rekening desa.
“Ketentuan ini berubah sejak tahun 2022 ini. Yang masuk ke rekening desa dinaikkan menjadi 20 persen. Sedangkan yang menyewakan 80 persen,” kata Hadi.
Menurut dia, Suhardi melalui Kalurahan Sinduharjo pernah mencoba melegalkan sewa-menyewa tanah pelungguh di Ngabean Kulon itu dengan mengurus permohonan izin ke Gubernur DIY melalui DPMPTSP Kabupaten Sleman. Namun prosesnya mandek.
Bahkan, yang bersangkutan juga pernah menghitung total yang seharusnya dibayarkan ke rekening desa.
“Jumlahnya sekira Rp 125 juta,” kata dia.
Jumlah tersebut yang rencananya hendak dibayarkan dengan dicicil, tetapi belum terlaksana.
Sebagaimana diketahui, seorang oknum Dukuh di Sinduharjo, Suhardi diduga melakukan tindak pidana korupsi. Ia menyewakan dan alihfungsi tanah pelungguh tanpa mengantongi Izin dari Gubernur DIY.
Kepala Kejaksaan Negeri Sleman, Widagdo mengatakan, modus yang dilakukan tersangka adalah menggunakan tanah pelungguh seluas 8.000 meter persegi untuk disewakan pihak ketiga menjadi bangunan rumah atau kos-kosan tanpa sepengetahuan desa dan tanpa dilengkapi Izin Gubernur DIY sesuai ketentuan yang berlaku.
Proses sewa-menyewa tanah itu, sudah dilakukan sejak tahun 2008 hingga sekarang. Total kerugian dihitung mencapai Rp400 juta.
“Uang (hasil sewa menyewa) tidak disetorkan ke kas Desa. Jadi uangnya digunakan secara pribadi,” kata Widagdo.
Oknum Dukuh tersebut sudah ditahan sejak 23 Juni lalu. Atas perbuatan yang dilakukan Suhardi, Ia disangka melanggar UU nomor 20 tahun 2001 perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.