SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sragen membongkar penyebab kasus padi ngebrok alias kerdil yang berakibat menurunkan produktivitas.
Kasus padi ngebrok atau gagal tumbuh maksimal itu sebenarnya dipicu oleh pola pertanian yang mengesampingkan batas kewajaran.
Hal itu disampaikan Plt Kadistan Ketapang Kabupaten Sragen, Tatag Prabawanto menyampaikan pihaknya bersama tim Lembaga Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP) Solo dan laboratorium Palur sudah melakukan pengecekan beberapa titik areal yang ditemukan kasus padi ngebrok.
Di antaranya di Desa Bedoro Sambungmacan, di Gringging dan Tunggul Gondang. Hasilnya, kasus itu terjadi hanya spot-spot kecil saja dan tidak merata di wilayah tersebut.
“Jadi misalnya satu hamparan, hanya ada satu petak yang kena ngebrok. Yang lainnya juga normal dan bagus-bagus,” paparnya kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Jumat (23/9/2022).
Tatag yang juga Sekda Sragen menjelaskan dari hasil pengecekan dan pemeriksaan di lab, disimpulkan bahwa kasus ngebrok itu dipicu oleh 3 faktor.
Yang pertama, pemicunya adalah temuan kondisi PH (keasaman tanah) di areal ngebrok jauh di bawah ambang batas normal.
“Hasil uji lab, tanah yang padinya ngebrok itu PH-nya sangat rendah hanya 4,5 sama 4,6. Seperti di wilayah Tunggul, PH tanah di sawah yang ngebrok ternyata hanya 4,6. Padahal standar minimal untuk tanaman padi PH tanah minimal 6 dan 6,2 sampai 6,4,” urainya.
Ia menjelaskan minimnya PH itu diakibatkan oleh kesalahan saat pengolahan tanah. Dari hasil pencermatan, pengolahan tanah di lokasi ngebrok itu diduga hanya diolah pakai luku biasa dengan kedalaman kurang dari 10 cm.
Padahal untuk memaksimalkan struktur tanah, pengolahan mestinya dengan traktor dan kedalaman tanah yang dibalik minimal selutut.
Faktor pemicu kedua adalah kondisi tanah yang bantat karena terlalu kebanyakan penggunaan pupuk kimia terutama Urea.
Untuk menghindari kondisi itu, petani disarankan mengurangi pupuk kimia atau Urea dengan menggantinya memakai pupuk kompos atau kandang.
“Lalu untuk meningkatkan PH tanah, bisa menggunakan kapur dolomit atau serbuk peningkat PH. Kami sudah mengajukan bantuan serbuk itu. Kemarin dari Lab Palur hanya diberi untuk 250 hektare. Kami mengajukan tambahan agar bisa diberi untuk kuota 800 sampai 1000 hektare,” jelasnya.
Faktor pemicu ketiga adalah pemilihan benih padi yang kurang memperhatikan kualitas. Dari hasil pengecekan di lapangan, kasus padi ngebrok di Tunggul, ternyata diketahui menggunakan benih padi turunan ke-8.
Dengan kondisi itu, otomatis berpengaruh pada tingkat pertumbuhan. Ia menyarankan petani untuk menggunakan benih yang terbaru dan tidak benih keturunan.
“Kalaupun pakai keturunan jangan lebih dari 5 generasi. Petani bisa menggunakan benih IP400 yang kemarin sudah didroping dinas dan itu bisa 4 kali panen dalam setahun,” pungkasnya. Wardoyo