Beranda Daerah Sragen Tangisan Petani Sragen Rugi Besar Padi Merosot Terserang Kerdil. Satu Hektare Hanya...

Tangisan Petani Sragen Rugi Besar Padi Merosot Terserang Kerdil. Satu Hektare Hanya Dapat 3 Zak

Ketua Gapoktan Banyurip, Miyo, menunjukkan serumpun padi yang terserang kerdil dan tak bisa berbuah. Serangan kerdil benar-benar menjadi mimpi buruk bagi petani karena menurunkan produksi padi hingga 50 persen. Foto/Wardoyo

SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kasus virus kerdil atau ngebrok benar-benar menjadi momok bagi petani di sejumlah wilayah di Sragen.

Serangan kerdil itu membuat produksi panen padi merosot tajam. Bahkan di sejumlah wilayah, panenan musim ini sangat jauh dari harapan.

Seperti di Kecamatan Sambungmacan. Di Desa Banyurip misalnya, banyak lahan padi mengalami kerdil hingga berimbas pada penurunan produksi.

Ketua Gapoktan Banyurip, Miyo mengungkapkan di wilayahnya hampir 80 persen areal terserang kerdil. Cirinya, pertumbuhan tanaman tidak normal, akar tak bisa panjang, padi tak bisa berbuah ibarat kayu sebelum berkembang.

“Hampir semua petani di wilayah kami mengeluh. Sebab sekitar 80 persen sawah diserang kerdil rumput atau ngebrok ini. Kalau manusia ya istilahnya stunting. Produksinya turun drastis, bahkan ada yang satu hektare hanya dapat 3 zak gabah. Petani benar-benar menangis,” paparnya ditemui JOGLOSEMARNEWS.COM , Kamis (29/9/2022).

Tak hanya yang terserang kerdil, padi yang tumbuh tinggi dan normal pun, juga ikut-ikutan menurun produksinya.

Menurutnya, musim ini menjadi yang terburuk karena dari 209 hektare lahan padi di wilayahnya, hampir 40 persen terserang.

Ketua Gapoktan Banyurip, Miyo, menunjukkan kondisi tanaman padi yang terserang kerdil dan tak bisa berbuah. Serangan kerdil benar-benar menjadi mimpi buruk bagi petani karena menurunkan produksi padi hingga 50 persen. Foto/Wardoyo

Kondisi itu diperparah dengan minimnya kepedulian dari dinas terkait. Alih-alih memberi bantuan, solusi pun tidak pernah diberikan untuk menekan serangan kerdil.

“Sebenarnya petani sudah berupaya dengan menyemprot pestisida seadanya. Dinas pertanian dan pengamat hama juga tidak bisa memberikan solusi. Makanya sampai sekarang obatnya ya belum ada. Ini kayak virus Covid-19. Petani hanya bisa pasrah dan terpaksa tetap menaman padi meski apapun risikonya. Saat ini petani jelas rugi besar,” urainya.

Ia berharap pemerintah bisa ikut sedikit memikirkan nasib petani. Misalnya jika ada bantuan BLT, petani yang terdampak bisa diberi bantuan.

Lantas untuk menekan kerugian, petani sangat berharap pemerintah bisa menjaga harga pembelian gabah (HPP) di angka Rp 5.500.

Dengan harga segitu, setidaknya bisa sedikit mengurangi kerugian di tengah merosotnya hasil panen.

Senada, Ketua Kelompok Tani Ngudi Pangan Banyurip, Hari Cahyono membenarkan fenomena merosotnya produksi padi akibat serangan kerdil musim tanam ini.

Tak hanya di desanya, serangan kerdil juga merata di wilayah Sambungmacan hingga Gondang. Ia mencontohkan, dari sawahnya seluas 1 patok yang barusaja dipanen, biasanya bisa dapat 2,5 ton, kali ini hanya dapat 13 zak atau separuhnya.

Baca Juga :  Detik-detik Akhir Kampanye Pilkada 2024 Kyai NU di Sragen Pilih Dukung Bowo - Suwardi Ini Alasannya

Ia merinci untuk lahan satu patok atau luasan 3300 sampai 4000 m2, biaya pengolahan, tanam, pupuk hingga panen bisa mencapai Rp 12 juta.

Ketua Poktan Banyurip, Hari Cahyono saat menunjukkan panenan 3 patok sawahnya yang terserang kerdil merosot tajam. Foto/Wardoyo

Jika panenan normal, biasanya bisa dapat hasil Rp 20 juta. Sementara dengan kondisi hasil merosot saat ini, hasil panen yang tidak parah hanya dapat maksimal Rp 10 juta. Sedangkan yang parah, diprediksi paling banter hanya dapat Rp 2 sampai 3 juta saja.

“Itupun sawahnya nggak beli atau nyewa. Kalau nyewa lebih nangis lagi. Lha sewa sawahnya saja satu musim per patok sudah Rp 3 juta. Lahan sebelah itu bengkok Pak Bayan yang disewa warga, ini malah paling-paling cuma dapat 3 zak satu patok. Paling Rp 2 juta kalau dijual, apa nggak nangis yang garap Mas,” ucapnya.

Atas kondisi itu, Hari meminta agar dinas terkait bisa turun ke lapangan untuk melakukan pengecekan dan mencari sumber pemicu serangan kerdil.

Kemudian segera mencarikan solusi untuk mencegah terjadinya serangan serupa. Sementara untuk menurunkan kerugian petani, ia sepakat meminta pemerintah menstabilkan harga gabah minimal di angka Rp 5000.

“Semua petani merasakan sakit dengan kejadian ini. Harusnya kalau ada kejadian ini dari dinas terjun langsung ke lapangan bukan hanya bersuara di kantornya. Selama ini kita terbebani untuk meningkatkan produksi gabah di kabupaten Sragen tapi kalau ada masalah nggak pernah ada solusi dan bantuan, gimana kita mau meningkatkan produksi,” ujarnya.

Ada 3 Pemicu

Plt Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Distan Ketapang) Kabupaten Sragen, Tatag Prabawanto menyampaikan pihaknya bersama tim Lembaga Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP) Solo dan laboratorium Palur sudah melakukan pengecekan beberapa titik areal yang ditemukan kasus padi ngebrok atau kerdil.

Di antaranya di Desa Bedoro Sambungmacan, di Gringging dan Tunggul Gondang. Hasilnya, kasus itu terjadi hanya spot-spot kecil saja dan tidak merata di wilayah tersebut.

Tatag yang juga Sekda Sragen menjelaskan dari hasil pengecekan dan pemeriksaan di lab, disimpulkan bahwa kasus ngebrok itu dipicu oleh 3 faktor.

Yang pertama, pemicunya adalah temuan kondisi PH (keasaman tanah) di areal ngebrok jauh di bawah ambang batas normal.

“Hasil uji lab, tanah yang padinya ngebrok itu PH-nya sangat rendah hanya 4,5 sama 4,6. Seperti di wilayah Tunggul, PH tanah di sawah yang ngebrok ternyata hanya 4,6. Padahal standar minimal untuk tanaman padi PH tanah minimal 6 dan 6,2 sampai 6,4,” urainya.

Baca Juga :  Dukung Program Presiden Prabowo, Kapolres Sragen AKBP Petrus Parningotan Silalahi Hadiri Peluncuran Gugus Tugas Pendukung Ketahanan Pangan di Kecamatan Ngrampal
Tatag Prabawanto. Foto/Wardoyo

Ia menjelaskan minimnya PH itu diakibatkan oleh kesalahan saat pengolahan tanah. Dari hasil pencermatan, pengolahan tanah di lokasi ngebrok itu diduga hanya diolah pakai luku biasa dengan kedalaman kurang dari 10 cm.

Padahal untuk memaksimalkan struktur tanah, pengolahan mestinya dengan traktor dan kedalaman tanah yang dibalik minimal selutut.

Faktor pemicu kedua adalah kondisi tanah yang bantat karena terlalu kebanyakan penggunaan pupuk kimia terutama Urea.

Untuk menghindari kondisi itu, petani disarankan mengurangi pupuk kimia atau Urea dengan menggantinya memakai pupuk kompos atau kandang.

“Lalu untuk meningkatkan PH tanah, bisa menggunakan kapur dolomit atau serbuk peningkat PH. Kami sudah mengajukan bantuan serbuk itu. Kemarin dari Lab Palur hanya diberi untuk 250 hektare. Kami mengajukan tambahan agar bisa diberi untuk kuota 800 sampai 1000 hektare,” jelasnya.

Faktor pemicu ketiga adalah pemilihan benih padi yang kurang memperhatikan kualitas. Dari hasil pengecekan di lapangan, kasus padi ngebrok di Tunggul, ternyata diketahui menggunakan benih padi turunan ke-8.

Dengan kondisi itu, otomatis berpengaruh pada tingkat pertumbuhan. Ia menyarankan petani untuk menggunakan benih yang terbaru dan tidak benih keturunan.

“Kalaupun pakai keturunan jangan lebih dari 5 generasi. Petani bisa menggunakan benih IP400 yang kemarin sudah didroping dinas dan itu bisa 4 kali panen dalam setahun,” pungkasnya. Wardoyo