JOGLOSEMARNEWS.COM — Kebanyakan orang mungkin mengetahui bahwa hanya hutan yang dapat menyerap dan menyimpan karbon yang menyebabkan polusi.
Tetapi mungkin hanya sedikit orang yang mengetahui terdapat potensi penyerapan dan penyimpanan karbon yang lebih besar, yakni ekosistem pesisir, yang meliputi hutan mangrove, tumbuhan laut, dan rawa-rawa, atau yang dikenal sebagai karbon biru.
Karbon biru adalah karbon yang ditangkap dan disimpan di samudra dan ekosistem pesisir, termasuk karbon pantai yang tersimpan di lahan basah pasang surut, seperti hutan yang dipengaruhi pasang surut, bakau, rawa pasang surut dan padang lamun, di dalam tanah, biomassa hidup, dan sumber karbon biomassa yang tidak hidup. Seperti namanya, karbon ini berwarna biru.
Dikutip dari ditjenppi.menlhk.go.id, berdasarkan penelitian, ditemukan fakta bahwa ekosistem pesisir juga merupakan penyerap gas rumah kaca. Ekosistem pantai diyakini menyerap dan menyimpan karbon 100 kali lebih banyak dan lebih permanen dibandingkan dengan hutan di daratan.
Karbon yang diserap oleh ekosistem pesisir tidak kalah besar dibandingkan hutan. Berbeda dengan ekosistem daratan yang cenderung tidak bertambah pada saat tertentu, ekosistem pesisir mampu menyerap dan menyimpan karbon dalam sedimen secara terus-menerus dalam kurun waktu yang lama.
Sekitar 50-99 persen karbon yang diserap oleh ekosistem pantai disimpan dalam tanah di kedalaman 6 meter di bawah permukaan tanah. Karbon yang tersimpan ini dapat tersimpan sampai ribuan tahun. Karena potensi yang besar inilah ekosistem pesisir bisa berperan banyak sebagai solusi adaptasi dan mitigas dampak perubahan iklim.
Namun, mengacu pada jurnal berjudul Estimasi Potensi Penyerapan Karbon Biru oleh Hutan Mangrove yang terbit di laman ejournal.unsrrat.ac.id, ekosistem karbon biru pesisir merupakan salah satu ekosistem yang paling terancam di Bumi dengan sekitar 340.000-980.000 hektare ekosistem ini dihancurkan setiap tahunnya.
Diperkirakan sampai dengan 67 persen dan sedikitnya 35 persen dan 29 persen dari seluruh cakupan global hutan bakau, rawa pasang surut, dan padang lamun, secara berurutan, telah hilang. Jika hal ini berlanjut terus dengan laju yang tetap, sebanyak 30-40 persen rawa pasang surut dan padang lamun dan hampir semua bakau yang tidak dilindungi akan hilang dalam 100 tahun ke depan. Saat terdegradasi atau hilang, ekosistem ini akan menjadi sumber gas karbon dioksida rumah kaca yang besar.
Sama seperti jenis hutan lainnya, nilai dari hutan berbasis air atau lahan basah di mana karbon biru disimpan bergantung pada pengelolaan berskala lanskap. Pengelolaan yang baik akan mempertahankan nilai-nilai keanekaragaman hayati, layanan ekosistem, pembangunan ekonomi, kesejahteraan manusia, dan nilai lain dari hutan tersebut. Tetapi, sementara aspek biofisik dari ekosistem karbon biru mendapatkan perhatian, rincian dari tata kelola dan manajemen mereka relatif belum dijelajahi.