WONOGIRI, JOGLOSEMARNEWS.COM – Berikut ini kami sampaikan sebuah kisah Islami yang menarik. Tentang kesederhanaan dan teladan dari Kyai Abdul Rozaq Fachruddin atau akrab disapa Kyai AR Fachruddin atau Pak AR.
Sosok Allahyarham Kyai Abdur Rozaq Fachruddin (1916-1995) bukan hanya memiliki nama besar. Tetapi juga kebesaran sekaligus kerendahan hati yang luar biasa.
Melansir muhammadiyah.or.id, sebagai tokoh umat yang memimpin Muhammadiyah dari tahun 1968-1990, Kiai AR Fachruddin atau yang biasa dikenal sebagai Pak AR, tidak segan-segan memenuhi undangan umat meski dalam kondisi terbatas.
Kepada para pengundang, Pak AR tidak suka menambah beban bagi mereka yang dia anggap telah memiliki bebannya sendiri. Sehingga seringkali Pak AR bertindak sesuatu di luar dugaan.
Sebagai contoh, terdapat pada kisah “Pak AR Membonceng Sepeda Onthel” dalam buku Pak AR Sang Penyejuk karya Syaifudin Simon terbitan pertama tahun 2018.
Kisah ini terjadi pada bulan Ramadan tahun 1989. Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyarta (UMY) di kampus lapangan Asri menyelenggarakan acara Kuliah Subuh.
Pagi itu giliran Pak AR mengisi Kuliah Subuh. Pukul 3.30 salah seorang panitia sudah siap menjemput Pak AR di Jalan Cik Di Tiro 19 A Yogya. Tetapi malang, sopir yang akan menjemput tidak datang. Kunci mobilnya lupa ditaruh di mana. Tidak ketemu. Panitia pun memutuskan ceramah Pak AR ditunda pada hari lain.
Sebagai salah seorang panitia, mahasiswa UMY bernama Syahrirsyah harus memberitahu Pak AR bahwa kuliah subuh batal. (Karena pada masa itu tidak ada telepon genggam seperti sekarang) Dia pun menggowes sepeda dari kampus Asri ke Cik Di Tiro. Sekitar 30 menit kemudian dia tiba di rumah Pak AR.
Keringat bercucuran di tubuh Syahrirsyah. Dengan napas masih tersengal-sengal, ia mengetuk pintu rumah Pak AR dan mengucapkan salam.
“Assalamualaykum Pak AR”.
“Wa’alaykumussalam warahmatullhi wabarokatuh”, Pak AR langsung menjawab dari dalam rumah.
Ternyata Pak AR sudah lama menunggu jemputan panitia dan siap berangkat. Begitu melihat ada mahasiswa datang, Pak AR langsung berkata, “Ayo mas, kita berangkat”.
Syahrirsyah bingung dan berkata, “Maaf Pak, saya ditugaskan panitia untuk menyampaikan kepada Bapak, bahwa ceramah ditunda di hari lain. Sopir mobil yang akan menjemput Bapak tidak datang. Kunci mobilnya tidak ketemu.”
“Lha, panjenengan ke sini nitih menopo? (anda ke sini naik apa?)” tanya Pak AR.
“Ngangge sepeda, Pak (pakai sepeda pak)” kata Syahrirsyah keder.
“Oh ya sudah, kuliah subuhnya tidak usah diganti di hari lain. Pun monggo, sak niki ke kampus UMY ngangge sepeda njenengan mawon. Kulo mbonceng (Ya sudah, mari sekarang kita ke kampus UMY pakai sepeda anda saja. Saya yang membonceng)” kata Pak AR.
Anak muda tadi tambah bingung, kemudian berkata, “Mohon maaf, Pak. Tidak mungkin saya boncengkan. Jauh, Pak”.
Dalam batin, Syahrirsyah pun berkata, “Pak AR Ketua Umum PP Muhammadiyah, sudah sepuh lagi. Mana mungkin membonceng sepeda dari Cik Di Tiro ke kampus UMY Lapangan Asri. Jauh”
Ketika batinnya bergejolak, Pak AR ngendiko (berkata), “Monggo mas, kita berangkat. Nanti kuliah subuhnya terlambat”.
Akhirnya, anak muda itu tak kuasa menolak permintaan Pak AR. Dalam semriwing (semilir) angin pagi Yogya, Syahrirsyah pun akhirnya berhasil meyakinkan Pak AR agar dia saja yang membonceng menuju kampus UMY.
Anehnya, cerita Syahrirsyah, sepeda onthel yang sangat ringkih itu bisa berjalan cepat seperti sepeda motor. Tubuh Pak AR yang besar terasa ringan. Sambil menggowes sepeda onthel, Syahrirsyah terharu, meneteskan air mata.
Dia tak kuasa membayangkan Ketua Umum PP Muhammadiyah yang membawahi sekian puluh universitas mau dibonceng sepeda butut.
“Ini sesuatu yang tidak biasa. Pak AR bukan orang biasa,” bisik hatinya. Akhirnya, Pak AR sampai ke kampus UMY. Dan kuliah subuh tetap berlangsung sesuai jadwal. Bagi anak muda ini, peristiwa tersebut sangat berkesan dan akan dikenang sepanjang hidupnya. Kerendahan hati Pak AR telah menyentuh nurani terdalam Syahrirsyah. Aris Arianto