JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Terbukti melakukan perkosaan terhadap santriwati di sebuah pesentren di Beji, Depok, Ustaz Achmad Fadilla Ramadhan alias ustaz Ramadhan dijatuhi vonis 18 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
Vonis tersebut dijatuhkan dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Depok, pada Rabu (1/2/2023).
Dalam persidangan tersebut, Hakim menyatakan terdakwa Achmad Fadilla Ramadhan alias ustaz Ramadhan terbukti secara sah dan meyakinkan berusaha melakukan tindak pidana kekerasan.
“Memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan oleh pendidik sebagaimana dalam dakwaan alternatif pertama,” kata ketua majelis hakim Divo Ardianto.
Selain menjatuhkan hukuman penjara dan denda, majelis hakim juga membebankan terdakwa untuk membayar uang ganti rugi atau restitusi kepada korban berinisial R (10), senilai Rp 30 juta. Jika restitusi tidak dibayar, diganti hukuman penjara tiga bulan kurungan.
Demikian pula dengan hukuman denda, apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan.
Pelaku dinyatakan bersalah melanggar Pasal 81 ayat (1) ayat (3) juncto Pasal 76 D Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.
Atas putusan tersebut, baik jaksa penuntut umum (JPU) maupun terdakwa mengatakan menerima keputusan majelis hakim.
Vonis yang dijatuhkan hakim itu dinilai sesuai dengan tuntutan jaksa, yakni 18 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.
Sementara Kuasa Hukum korban, Megawati mengatakan, pihaknya dan keluarga korban menerima putusan majelis hakim.
“Kami menerima, menurut kami itu keputusan yang sudah adil,” kata Megawati.
Namun ia mengatakan, masih ada tiga pelaku lain yang belum ditahan. Bahkan satu pelaku berinisial D masuk dalam DPO alias buron.
“Juga dengan kedua pelaku lainnya, guru dan kakak kelas yang sudah berstatus tersangka namun belum ditahan,” ucap Megawati.
Kasus pencabulan santriwati di Beji Depok ini mulai terbongkar pada akhir Juni 2022 lalu. Megawati yang telah mendampingi para korban sejak awal kasus itu bergulir, menyebut ada 11 santriwati yang menjadi korban pencabulan.
Saat itu, ia menyebut kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan empat orang tersebut, telah berlangsung setidaknya setahun terakhir. Namun, baru terbongkar akhir Juni 2022.
Menurut Megawati, para korban baru berani menceritakan kekerasan seksual yang mereka alami, saat masa libur ke rumah.
Saat itu, kata dia, dari 11 anak yang menjadi korban, baru 5 santriwati yang berani melaporkan dan telah diperiksa oleh penyidik Polda Metro Jaya.
“Dari 11 yang dilecehkan, yang berani untuk speak up hanya 5 orang, tapi sekarang yang diperiksa baru 3 orang. Karena yang 1 orang lainnya masih di Bandung dalam kondisi sakit,” ujar Mega di Polda Metro Jaya, pada Rabu (29/6/2022).
Menurut dia, modus para pelaku adalah mengajak para korban masuk ke satu ruangan dan di sanalah terjadi kekerasan seksual.
Korban tidak dijanjikan apapun oleh pelaku, hanya mereka diancam untuk tidak memberitahu ke orang tuanya.
“Setiap malam mereka datang ke kamar itu dan dibekap terus dilakukan itu (pelecehan), ada yang di kamar mandi dan ada yang di ruangan kosong. Korban tidak dijanjikan apa-apa, saya mendengar dari korban, hanya begitu saja (disuruh masuk ke ruangan),” jelasnya.
Tetapkan 4 tersangka
Kemudian pada 4 Juli 2022, Polda Metro Jaya menetapkan empat orang tersangka dalam kasus ini. Mereka diduga telah menyetubuhi para santriwati yang masih di bawah umur.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Endra Zulpan kala itu mengatakan, empat tersangka merupakan tiga ustad dan satu orang laki-laki kakak kelas atau biasa disebut sebagai santri senior.
Profil para tersangka
Pimpinan yayasan pondok pesantren, Ahmad Riyadh Muchtar, mengatakan telah dimintai keterangan oleh tim penyidik pada 5 Juli 2022.
Ia mengatakan penyidik Polda Metro memeriksa dokumen legalitas pondok pesantren hingga profil dari empat tersangka.
Riyadh menjelaskan empat tersangka pencabulan santriwati itu adalah satu guru honorer berinisial I dan telah tinggal di luar asrama sejak 7 Januari 2021, R guru honorer yang sudah tidak mengajar pada 6 Desember 2021.
“Ketiga, inisial D adalah guru honorer yang telah meninggalkan pondok dari 26 April 2021. Sementara ada satu santri kakak kelas yang berinisial P yang menjadi terlapor,” ucap Riyadh.
“Kami datangi Polda Metro Jaya pada tanggal 5 Juli 2022, kemudian setelah itu berlangsung dalam pemeriksaan,” kata Riyadh saat konferensi pers di kawasan Tebet, Rabu (6/7/2022).
Selama memimpin pondok pesantren ini, Riyadh mengatakan belum pernah menerima pengaduan permasalahan kekerasan seksual yang dialami para santrinya.
Di kamar para anak didiknya pun kata dia selalu didampingi oleh 2 guru, 1 guru yang sudah berkeluarga, dan 1 yang belum berkeluarga, selain itu juga dilengkapi dengan CCTV.
Untuk pelaku P, kuasa hukumnya menyebut santri senior tersebut masih berusia 15 tahun, sehingga terhitung masih anak dibawah umur.
Pada 10 Agustus 2022, Kuasa hukum P, Bagus Zuhri mengatakan kliennya tidak hadir dalam pemeriksaan karena mereka ingin memastikan status santri itu.
Bagus juga meminta dalam pemeriksaan P perlu pendampingan khusus karena masih di bawah umur, yaitu 15 tahun.
Bagus mengatakan belum bisa membawa P lantaran ingin memastikan posisi P dalam kasus kekerasan seksual ini.
Ia berharap pemeriksaan dilakukan sesuai undang-undang tentang Pidana Anak, yaitu pemeriksaan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum dalam setiap tingkatan harus mendapatkan pendampingan dari lembaga yang berwenang.