*Catatan : Hendry Ch Bangun
Pada 27 Februari lalu Dewan Pers (DP) mengeluarkan Siaran Pers berjudul “Pendaftaran Tidak Sama dengan Pendataan”, karena banyaknya pemberitaan tentang tidak perlunya pendaftaran perusahaan pers ke Dewan Pers, sehingga “beberapa media beranggapan tidak perlu lagi adanya verifikasi perusahaan media/pers oleh Dewan Pers. Siaran Pers ini bersifat klarifikasi, agar duduk persoalan jelas.
Tetapi banyak rekan pengelola media massa malah dibuat bingung dan bertanya-tanya seperti tercermin di beberapa grup WA. Saya juga termasuk ditanyai pendapat teman dari daerah. Saya jelaskan, prinsipnya verifikasi itu bersifat sukarela, mau diverifikasi bagus, tidak ya tidak apa-apa, yang pasti kedua pilihan ada konsekuensinya. Itu saja. Jadi tidak usah bingung, baca dan teliti saja UU No. 40 1999 tentang Pers, itu sudah cukup.
Namun saya juga ingin mengklarifikasi siaran pers tersebut, supaya ada gambaran, dan syukur kalau bisa meringankan beban pikiran teman-teman di daerah. ***
Ada 5 butir Siaran Pers bernomor No.07/SP/DP/II/2023, yang menurut saya, justru malah sebagian membuat persoalan tidak jelas, karena tidak memahami substansi dari Undang-Undang Pers No.40 tahun 1999 tentang Pers, dan memasukkan tafsir dan opini yang ke luar konteks UU itu sendiri.
Poin satu berbunyi begini:
- UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang saat itu lahir di era reformasi tidak mengenal pendaftaran bagi perusahaan pers. Setiap orang dapat mendirikan perusahaan pers dan menjalankan tugas jurnalistik tanpa harus mendaftar ke lembaga manapun termasuk ke Dewan Pers. Setiap perusahaan pers sepanjang memenuhi syarat berbadan hukum Indonesia dan menjalankan tugas jurnalistik secara teratur, secara legal formal berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, dapat disebut sebagai perusahaan pers, sekalipun belum terdata di Dewan Pers.
Poin ini harusnya singkat saja, ditegaskan bahwa di dalam UU no 40/1999, tidak ada pendaftaran. Kutipan lengkap Pasal 9 ayat (1) “setiap warga negara dan negara berhak mendirikan perusahaan pers”, kemudian ayat (2) “setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.”Terkait Kode Etik Jurnalistik bunyi UU No40/199 Pasal 7 ayat (2) “wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik”.
Siaran Pers itu mencampuradukkan antara kewajiban pers dan wartawan. Soal kewajiban media ada di Pasal 5, yakni ayat (1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah ayat (2) Pers nasional wajib melayani Hak Jawab, ayat (3) Pers wajib melayani Hak Koreksi. Artinya terkait dengan Kode Etik Jurnalistik, yang dituntut dari sebuah media adalah implementasinya.
Legalitas adalah status berbadan hukum Indonesia, titik. Bagaimana media itu menerapkan pelaksanaan KEJ adalah terkait profesionalitas. Jadi, ini dua hal yang berbeda. ***
Poin kedua dituliskan demikian:
- Sesuai pasal 15 ayat 2 huruf (g) UU Pers, tugas Dewan Pers antara lain mendata perusahaan pers. Pendataan oleh Dewan Pers tidak bisa disamakan dengan pendaftaran dan keduanya sangatlah berbeda. Pelaksanaan tugas mendata perusahaan pers, sebagaimana pelaksanaan tugas-tugas lainnya yang dimandatkan oleh UU Pers, ditujukan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Logikanya, poin ini menjelaskan apa perbedaan pendataan dan pendaftaran karena dituliskan “tidak bisa disamakan dan sangatlah berbeda”. Apa tuh bedanya? Malah kemudian dikaitkan dengan pelaksanaan tugas Dewan Pers yakni “untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional”, membuat tafsir yang melebar dan membuat kabur maksudnya. Bingung pembacanya.
Poin ketiga dinyatakan:
- Pendataan pers merupakan stelsel pasif dan mandiri. Artinya perusahaan pers yang berinisiatif untuk mengajukan diri agar diverifikasi (didata) oleh Dewan Pers sesuai aturan yang ada. Ketentuan tentang pendataan perusahaan pers ini tertuang dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan DP/I/2023 tentang Pendataan Perusahaan Pers. Dewan Pers tidak dapat memaksa perusahaan pers untuk didata atau ikut verifikasi media.
Saya kira ada beberapa kekeliruan di sini. Jelas dikatakan di UU Pers fungsi Dewan Pers di Pasal 15 ayat (2) huruf (g), mendata perusahaan pers. Mendata adalah kata kerja aktif, sehingga seharusnya Dewan Pers bersifat aktif melakukan pendataan, bukan menunggu bola alias pasif, soal mau atau tidaknya media didata, itu keputusan independen pengelola media.
Lalu caranya bagaimana, sudah ditetapkan dalam Peraturan Dewan Pers No. 1 tahun 2023, yang dalam opini saya, sudah melampaui kewenangan Dewan Pers dalam menafsirkan fungsi ketujuhnya di Pasal 15 UU n0.40/1999. Kata mandiri juga tidak jelas, mengacu kemana?. Pendataannya? Perusahaan persnya?
Kemudian ada kalimat yang ganjil, “Perusahaan pers yang berinisiatif untuk mengajukan diri agar diverifikasi (didata)”. Dua kata, diverifikasi dan didata, jelas berbeda, tapi dengan masuk dalam kurung artinya dianggap sama. Apalagi di kalimat berikutnya disebutkan Dewan Pers “tidak dapat memaksa perusahaan pers untuk didata atau ikut verifikasi media”, yang artinya kedua kata itu berbeda. Rumusan yang dibuat malah membuat pembacanya bingung. ***
Poin keempat dituliskan:
- Pendataan perusahaan pers bertujuan untuk
-Mewujudkan perusahaan pers yang kredibel dan profesional
-Mewujudkan perusahaan pers yang sehat, mandiri, dan independen
-Mewujudkan perlindungan pada perusahaan pers
-Mengiventarisasi perusahaan pers secara kualitatif dan kuantitatif
Untuk dua tujuan pertama, sebenarnya cukup disebutkan “untuk mewujudkan pers yang profesional” karena istilah “pers profesional” sudah ada di UU No.40/1999, menimbang, poin c. Istilah profesional sudah mencakup pers kredibel, mandiri, dan independen, meski dalam kondisi kehidupan pers saat ini belum tentu “sehat”. Saya juga bertanya dalam hati, apa ya beda “mandiri” dan “independen”.
Tujuan ketiga, maksudnya kalau ada masalah hukum, dengan terdata (bukan terverifikasi), pada media itu diberlakukan UU Pers, bukan UU lain. Tetapi untuk tujuan keempat, khususnya inventarisasi media dari sisi kualitas, apakah Dewan Pers sudah punya alat menilainya, standar menilainya? Apakah nanti cukup dikategorikan dua jenis, berkualitas dan tidak berkualitas? Atau sangat berkualitas, cukup berkualitas, berkualitas, tidak berkualitas? Apakah Dewan Pers siap disomasi karena memberi label media?
Poin kelima dituliskan:
- Pendataan pers dilakukan untuk memastikan bahwa perusahaan pers sungguh-sungguh menjalankan kewajibannya sebagai salah satu unsur yang menopang tegaknya kemerdekaan pers. Perusahaan pers yang tidak bekerja secara profesional, antara lain ditandai dengan tidak memenuhi kewajiban untuk kesejahteraan wartawan, tidak memberikan penghasilan yang layak, atau malah memerintahkan wartawan mencari tambahan penghasilan/iklan.
Hal ini pada akhirnya akan membuat wartawan tidak dapat menjalankan tugas dengan profesional karena penghasilan wartawan tergantung kepada seberapa besar ia meraih iklan atau tambahan penghasilan. Situasi ini tentu tidak mendukung wartawan untuk menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas.
Kalimat di butir terakhir ini terkesan bertele-tele dan membuat kesimpulan yang keliru. Apakah kalau tidak ada pendataan dipastikan bahwa pers tidak menjalankan kewajibannya? Kalau dilihat ke UU No.40/1999 sudah ada apa itu pers profesional yang menopang kemerdekaan pers dapat tegak, yakni yang menjalankan kewajiban-kewajibannya (Pasal 5), menjalankan perannya (Pasal 6), menjalankan Pasal (10), Pasal (12) terkait kesejahteraan karyawan dan wartawan dan pencantuman nama, alamat, dan penanggungjawab. Tidak perlu lagi dibuat penanfsiran ulang, apalagi dari urusan pendataan.
Terkait dengan wartawan tidak profesional karena perusahaan pers tidak memberi penghasilan, tidak dapat disimplifikasi begitu saja. Masih banyak wartawan yang bekerja dengan idealisme, khususnya kalangan muda yang mendirikan perusahaan pers untuk mengontrol kekuasaan, dan menganggap gaji adalah nomer lima.
Soal wartawan ikut membantu “mencari” iklan, bisa dipastikan itu juga terjadi pada media dengan nama besar di ibukota, tetapi mereka sadar harus menjaga “tembok api” antara bisnis dan redaksi. Istilah populernya, mereka hanya mengetuk pintu, dan urusan berikutnya dijalankan petugas iklan.
Apakah memenuhi undangan sebuah perusahaan atau lembaga untuk liputan kinerja atau produk, atau ikut ke luar negeri, ke luar kota, bukan upaya lobi agar di suatu saat nanti mereka memasang iklan di si wartawan? Profesionalisme wartawan justru ditantang di sini agar dia tetap teguh pada prinsip independensi atau serong ke kiri dan ke kanan. ***
Terakhir saya kira, hebohnya urusan istilah pendataan dan pendaftaran ini muncul setelah Dewan Pers mengeluarkan Peraturan Dewan Pers No.1 tahun 2023 tentang Pendataan Perusahaan Pers. Aturan baru itu, saya ulang lagi seperti di tulisan sebelumnya, seperti “membunuh” perusahaan pers yang bermodal kecil atau menengah (UMKM), dan malah kemudian menghambat kemerdekaan pers.
Banyaknya media kecil mencerminkan banyak dan beragamnya kepemilikan media, memperbanyak akses masyarakat khususnya di daerah untuk menyampaikan aspirasi, melakukan kritik, dan ikut berperan dalam diskursus berbagai persoalan bangsa. Mereka meskipun tidak sebanding, mampu memberikan narasi tandingan dari informasi yang disumpalkan media besar ke mulut masyarakat.
Lebih baik peraturan itu dikaji ulang, apalagi waktu demi waktu semakin banyak perusahaan pers yang mati bergelimpangan, termasuk yang diputus kerjasama kemitraan pencitraan pemerintahan daerah karena status terverifikasi media hilang dari dewanpers.or.id.
Hilangnya nama media itu terjadi karena Dewan Pers melakukan audit verifikasi, uji petik, terhadap perusahaan yang tidak melengkapi syarat, tidak mampu memenuhi syarat sesuai dengan aturan baru. Hilanglah langsung nafasnya karena kontrak iklan itu menjadi urat nadi kehidupan media UMKM itu.
Memasuki tahun politik, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga pasti akan memasukkan status terverifikasi agar mendapat kue iklan di Pemilu 2024 nanti. Apa sumbangsih Dewan Pers dalam memberikan “udara segar” dan “nafas” bagi media UMKM? Kok malah seperti tega membunuh media yang sudah berjuang untuk eksis?
Wallahu alam bhisawab.
—-*Penulis adalah mantan anggota Dewan Pers—