JOGLOSEMARNEWS.COM – “Seseorang yang berprofesi sebagai advokat, dalam menjalankan pekerjaannya harus menang dalam pertarungannya di pengadilan”.
Menurut hemat penulis, pernyataan tersebut tidaklah tepat sebab yang menjadi keutamaan dalam menjalankan profesi advokat adalah memastikan bahwa setiap perkara yang ditanganinya sudah sesuai jalur dalam rangka mewujudkan keadilan bagi para pencari keadilan.
Perlu diketahui, untuk menjadi seorang advokat harus menempuh perjalanan yang panjang dan tidak mudah. Pasalnya, seseorang yang ingin berprofesi sebagai advokat harus melewati beberapa tahapan tertentu.
Pertama, berdasarkan UU Advokat, seorang advokat harus merupakan sarjana hukum yang ditempuh kurang lebih 4 tahun.
Kedua, seorang calon advokat wajib mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang diselenggarakan oleh organisasi advokat resmi di Indonesia.
Ketiga, setelah menjalani pendidikan profesi advokat, maka selanjutnya seorang calon advokat wajib melaksanakan ujian profesi advokat.
Keempat, seorang calon advokat harus melaksanakan magang di kantor-kantor hukum selama sekurang-kurangnya 2 tahun.
Kelima, setelah mengikuti serangkaian tahapan tersebut dan dipastikan sesuai serta memenuhi persyaratan maka barulah seorang calon advokat tersebut bisa dilantik dan disumpah menjadi seorang advokat.
Sebelum menjalankan profesinya, seorang advokat telah disumpah sesuai dengan keyakinan atau agamanya masing-masing. Hal tersebut dilakukan dalam rangka untuk bersungguh-sungguh dalam menjalankan profesinya sebagai penegak hukum dan keadilan.
Bahkan jika dimaknai lebih dalam, seorang advokat tidak hanya bertanggung jawab terhadap pekerjaannya dan kliennya, tetapi juga bertanggung jawab langsung kepada Tuhan karena sudah melaksanakan sumpah tumpang tangan diatas kitab suci.
Jika seorang advokat mengingkari sumpah profesinya, maka sudah barang tentu ia mengingkari Tuhan.
Pekerjaan sebagai advokat tidak mudah sebab bisa dikatakan pekerjaan itu menyangkut nasib para pencari keadilan.
Seorang advokat memang dituntut untuk menguasai seluk beluk hukum dan mengikuti perkembangan dinamika hukum, terlebih permasalahan hukum ke depan semakin kompleks dan rumit, yang mana membutuhkan tingkat keahlian yang luar biasa.
Profesi advokat tidak hanya sekedar mencari penghasilan semata, melainkan di dalamnya terdapat nilai-nilai moral dan tanggung jawab. Oleh karena itu, profesi advokat dikenal sebagai profesi yang mulia atau officium nobile, karena mewajibkan pembelaankepada semua orang tanpa membedakan latar belakang ras, warna kulit, agama, budaya, sosial ekonomi, kaya, miskin, keyakinan politik, gender dan ideologi.
Sebagai Officium Nobile
Secara historis, Advokat termasuk salah satu profesi yang tertua. Dalam perjalanannya, profesi ini dinamai sebagai officium nobile, jabatan yang mulia.
Advokat pun tumbuh dan berkembang di Indonesia dengan dasar memperjuangkan hukum yang adil serta melindungi hak azasi manusia.
Bahkan, profesi Advokat dalam sejarahnya pernah aktif merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan. Demikian seperti yang dilakukan oleh Alisastroamidjojo, Wilopa, Muh Roem, Ko Tjang Sing, Muh Yamin, Iskaq Tjokrohadisuryo, Lukman Wiradinata, Suardi Tasrif, Ani Abbas Manoppo, Yap Thiam Hien dan lain-lain.
Bahwa para pendahulu dalam berkiprah sebagai advokat sudah barang tentu menjaga nama baik profesi advokat dan sudah menjadi kewajiban advokat-advokat muda sekarang untuk meneruskan dan menjaga nama baik profesi advokat.
Penamaan advokat sebagai officium nobile itu terjadi karena aspek “trust” dari (pemberi kuasa atau klien) yang dijalankannya untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya di forum yang telah ditentukan.
Advokat sejatinya adalah bagian dari terselenggarannya hukum di Indonesia, baik dalam arti sistem hukum, pelaksanaan hukum maupun dalam arti pengembangan sistem hukum khususnya di Indonesia.
Terkait segi pengembangan hukum, advokat memiliki peranan penting pada aspek ini. Hal ini dikarenakan advokat mampu membawa perubahan pada segi berhukum dengan tidak terikat secara kaku dengan berbagai peraturan yang mengikatnya.
Pada kalimat sebelumnya sudah dijelaskan bahwa seorang advokat harus memiliki gelar sarjana hukum, yang mana dituntut untuk memahami permasalahan hukum.
Bahwa seorang advokat sejak ia memasuki kelas-kelas hukum, pasti dipaksa untuk mengenal pasal-pasal kemudian dilatih untuk mengkonstruksi isu-isu hukum dikaitkan dengan teori, lalu dibarengi dengan logika- logika hukum untuk membentenginya.
Atas dasar itu, penulis menjadi teringat ketika Satjipto Raharjo mengkritik keras terhadap model pendidikan hukum yang teknikal demikian.
Beliau mengatakan “jika ilmu hukum harus benar-benar ingin disebut sebagai ilmu, maka hukum harus senantiasa siap menghadapi kenyataan yang penuh.
Pengertian yang penuh dalam ilmu hukum tersebut adalah, bahwa hukum berjalan tertatih- tatih di belakang kenyataan.
Dengan begitu, sudah semestinya pendidikan hukum merupakan pendidikan keilmuan yang mencari kebenaran berbasis kenyataan, tidak melulu terjebak dari bunyi peraturan.
Seperti juga Gerry Spence mengkritik pendidikan hukum di Amerika Serikat yang sudah kehilangan semangat untuk mendidik para calon profesional hukum untuk memiliki kepedulian kemanusiaan di atas keprofesionalan.
Mengapa? Karena ketika mahasiswa menyelami hukum di universitas, kemanusiaannya dirampas dan ditumpulkan. Oleh sebab itu dikatakan spence, para advokat harus menjadi manusia terlebih dahulu sebelum menggeluti profesi advokat.
Hal tersebut penting, mengingat tugas seorang advokat tidaklah mudah seperti membalikan telapak tangan, tetapi ia harus memikirkan banyak aspek, baik itu secara keilmuan ataupun rasa kemanusiaan.
Sehingga profesi advokat sebagai officium nobile benar-benar dirasakan oleh para pencari keadilan dan bukan hanya sebagai penghias kata belaka.
Bukan Keranjang Sampah
Mengapa penulis menulis sub judul “profesi advokat bukan keranjang sampah”? Sebab pada realitanya, profesi advokat kerap kali dijadikan pekerjaan sampingan dan pekerjaan terakhir, mengingat profesi advokat tidak ada batas pensiunnya.
Sebagai contoh, ada pensiunan polisi, jaksa, aparatur sipil negara, dosen dan lain sebagainya yang kemudian berprofesi sebagai advokat.
Apakah hal tersebut dilarang? Tentu saja tidak. Tetapi hal yang ingin digaris bawahi penulis adalah proses menjadi advokat di Indonesia ini terlalu mudah.
Mengingat profesi advokat ini adalah pekerjaan mulia dan terhormat, tentu dibutuhkan sumber daya manusia mumpuni untuk menjadi penegak keadilan dan hukum bukan hanya untuk ladang mencari nafkah semata.
Ada beberapa oknum advokat yang penulis jumpai yang mana ia kurang bahkan tidak memiliki keilmuan untuk menjawab persoalan hukum.
Tentu hal tersebut berdampak pada para pencari keadilan atau klien yang ingin mendapatkan keadilan, bahwa mereka butuh pendampingan hukum secara mendalam dan intensif, tetapi advokat yang mendampingi tidak memahami teori maupun praktik, sehingga menimbulkan kerugian terhadap klien yang sudah membayar mahal advokat tersebut.
Penulis berpendapat bahwa proses atau tahapan untuk menjadi advokat tentu harus ditingkatkan dan diperketat, baik dari segi kurikulum pendidikan advokat, ujian profesi dan lain sebagainya.
Dengan pola yang baru, diharapkan bisa lahir advokat-advokat yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni dan integritas sebagai garda terdepan penegak keadilan.
Advokat bukan profesi sembarangan dan profesi abal-abal tetapi advokat adalah profesi mulia, berintegritas, dan bermoral.
Bahwa hukum memerlukan moralitas karena ia adalah alat keadaban manusia. Dari titik inilah kita bisa melakukan refleksi secara proporsional mengenai bagaimana hukum seharusnya bersifat dan bertugas.
Profesi advokat harus diisi oleh orang-orang yang mampu secara intelektual, integritas dan mampu meletakan nuraninya kepada orang yang membutuhkan pertolongan hukum tanpa pandang latar belakang.
Sehingga, profesi advokat menjadi profesi yang disegani oleh masyarakat karena memiliki sifat-sifat yang mulia dalam menjalankan profesinya. [*]
Oleh: Alfendo Yefta Argastya & Nindha Ayu Pramudhita