![2709 - berpartai](https://i0.wp.com/joglosemarnews.com/images/2023/09/2709-berpartai.jpg?resize=640%2C295&ssl=1)
SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) mengajak masyarakat yang tergabung dalam partai untuk tidak menganggap partainya paling benar.
Hal itu dilontarkan Direktur Pencegahan BNPT, Prof Irfan Idris, terlebih selama tahun politik dan menjelang Pemilu 2024.
Idris mengakui, BNPT tidak mengurusi segala hal tentang partai. Namun demikian, pihaknya mengajak masyarakat untuk tetap waspada masuknya jaringam radikalisme dan teroris lewat partai.
“Kalau mau berpartai hati-hati. Jangan satu simbol dikatakan paling benar. Karena teroris sudah tidak menggunakan simbol-simbol. Tidak ada kaitannya antara agama dan teroris. Itu dipaksakan,” ujarnya di sela Workshop Nasional ‘Malaysia-Indonesia in Countering Radicalism, Extrimism and Terrorism Through Digital Media’ di Hotel The Sunan Solo, Rabu (27/9/2023).
Idris mengajak masyarakat membanjiri dunia dengan narasi kearifan lokal yang mempersatukan, agar tidak mudah terpancing. Terlebih perkembangan media digital saat ini sangat pesat.
Di sisi lain, Idris menyebutkan ada beberapa pihak yang selalu membuat narasi perpecahan. Termasuk membuat narasi indah namun ternyata menghancurkan.
“Memang ada orang yang setiap hari kerjaannya membuat narasi-narasi yang indah dilihat dan dibaca. Tapi isinya berbahaya, tujuannya menghancurkan. Seolah-olah mempersatukan dan sesuai budaya tapi aslinya tidak,” imbuhnya.
Idris menambahkan, tantangan persatuan saat ini tidak hanya secara nyata namun juga di dunia maya.
“Dulu offline, sekarang online. Tidak mengenal dimensi waktu dan tempat. Kita harus memiliki katalisator persatuan,” tukasnya.
Di sisi lain, Pelaksana Harian (PLH) Kepala Sub-Direktorat Kontra Naratif Direktorat Pencegahan Dentasemen Khusus Anti Teror Kepolisian Republik Indonesia (Densus 88), AKBP Mayndra Eka Wardhana menjelaskan digital media menjadi sarana penyebaran narasi radikalisme, ekstremisme, dan terorisme dengan berbagai tujuan. Mulai dari rekrutmen, propaganda, pemecahan masyarakat, serta dukungan terhadap paham terorisme.
“Identifikasi narasi-narasi semacam ini bisa dilakukan dengan memahami konteks narasi yang disebarkan, menganalisa apakah konten yang disebarkan memiliki potensi destruktif dan mengarah pada ajakan mengesampingkan Pancasila dan melanggar hukum yang berlaku di Indonesia,” bebernya. Prihatsari