OFFICIA virtutis merupakan sebuah prinsip etika dalam menjalankan sebuah tugas. Secara etis, dalam setiap tugas bernilai kewajiban. Oleh karena itu sering disebut sebagai etika kewajiban. Disebut kewajiban, bukan karena diperintahkan secara hukum melainkan karena adanya niat murni untuk bertindak secara bijaksana. Bahwa perlu diketahui, etika kewajiban beranjak dari adanya sebuah penghormatan terhadap kewajiban itu sendiri.
Dalam konteks ini, diisyaratkan adanya motif atau niat baik dalam menjalankan sebuah tugas. Niat baik yang dimaksud memiliki pengertian mengenai penghormatan terhadap tugas sebagai sesuatu yang sakral, yang menuntut kewajiban penegak hukum untuk menghormati dan menjalankannya sesuai dengan keluhuran tugas itu. Dalam menjalankan tugas memang dibutuhkan kesadaran tentang kesucian tugas itu sendiri, serta niat untuk menghormati dan melaksanakannya. Hal tersebut merupakan hakikat kewajiban.
Perlu dipahami, bahwa kewajiban adalah manifestasi dari niat baik. Semua perbuatan yang tidak didorong oleh kewajiban, sudah barang tentu memiliki kecenderungan subyektif dan mementingkan diri sendiri bahkan mementingkan kelompok tertentu. Oleh karenanya, hukum memerlukan moralitas kendatipun pernyataan demikian oleh kalangan pemikir menjadi perdebatan. Bahwa alasan mengapa hukum memerlukan moralitas karena moralitas sebagai alat keadaban manusia.
Dari titik inilah kita bisa melakukan refleksi secara proporsional mengenai bagaimana hukum seharusnya bertugas dan bersifat begitu juga dengan orang yang menjalankan hukum itu sendiri. Sering kali baik secara sadar ataupun tidak sadar, aparat penegak hukum tidak bisa memaknai peran pentingnya dalam menjalankan hukum dan fungsinya. Pengabaian terhadap moral dan pengabaian terhadap etika dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum, menurut penulis akan berdampak langsung terhadap masyarakat dalam mencari keadilan. Masyarakat sudah dihadapkan oleh prosedur-prosedur hukum acara yang sangat memuakkan hanya untuk memperoleh keadilan kendatipun harus kita sadari bahwa tidak ada keadilan absolute dimuka bumi ini.
Penegak hukum tentunya wajib melakukan penghormatan terhadap sumpah jabatan. Konsekuensi dari sumpah jabatan itu sendiri adalah langsung bertanggung jawab kepada Tuhannya. Fenomena yang terjadi sekarang adalah bahwa mereka menganggap sumpah jabatan hanyalah formalitas semata. Padahal jika dicerna lebih dalam, sumpah jabatan dilakukan dibawah kitab yang sangat suci. Yang mana kitab tersebut berisi ajaran dan perintah mengenai kebaikan. Pengingkaran terhadap sumpah jabatan tersebut sama halnya mengingkari janji yang dibuat dihadapan Tuhan.
Akhir-akhir ini kita bisa melihat para penegak hukum banyak sekali yang mempermainkan Tuhan dengan mengabaikan prinsip officia virtutis. Mereka sama sekali tidak memiliki rasa takut terhadap Tuhannya, apalagi terhadap masyarakat yang benar-benar mengharapkan kebijaksanaan dari para penegak hukum. Sungguh ironi, kita dipertontonkan pertunjukan akrobat-akrobat hukum yang sangat menciderai nurani masyarakat yang diperankan langsung oleh penegak hukum kita yang sepanjang mereka menjabat masih dibawah sumpah jabatannya. Sebagai contoh beberapa waktu lalu kita menyaksikan keanehan dan ketidakwajaran dalam putusan mahkamah konstitusi mengenai gugatan batasan usia calon presiden dan wakil presiden. Kemudian pemeriksaan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi oleh kepolisian dalam dugaan kasus pemerasan dan masih banyak lagi kasus-kasus yang terjadi.
Tanpa harus fanatik berlebihan dalam ajaran hukum kodrat yang mengunggulkan supremasi akal sehat dan moral siapapun sulit menerima teoresasi tentang kehampaan nilai dalam hukum. Sama halnya dengan kita merasa begitu risih dan terusik ketika aparat penegak hukum kita beserta elit lainya secara berbondong-bondong menceburkan dirinya dalam kubangan mafia hukum. Kita sebagai masyarakat teriris melihat keadilan diperdagangkan. Hal tersebut sudah terjadi penghianatan terhadap norma moral tugas.
Menyitir pendapat Profesor Satjipto Raharjo, beliau mengatakan bahwa sejak masuk kelas hukum, orang dipaksa mengenal pasal-pasal hukum, dan kemudian dilatih untuk mengonstruksi isu-isu hukum atas dasar pasal-pasal itu beserta dengan logika-logika dan doktrin yang membentenginya. Tetapi tidak pernah diasah dan dilatih untuk bertanya, untuk apa sekalian pasal-pasal itu ada, apa yang sesungguhnya dipertaruhkan dalam pasal-pasal itu, dan apa yang harus dilakukan manusia sebagai manusia terhadap pasal-pasal tersebut. Bahwa pertanyaan-pertanyaan itu bisa saja dianggap filosofis.
Tapi harus kita sadari sejak awal, bahwa hukum adalah instrumen manusia. Sebagai instrumen, dia bukan tujuan pada dirinya sendiri. Dia melayani manusia sebagai manusia, bukan melayani sekumpulan cacing tanah. Dia malayani manusia yang memiliki nurani dan martabat, bukan melayani rentetan robot yang hampa martabat, yang hampa nilai. Artinya bahwa sejak kita masuk di dalam kelas-kelas hukum, minim sekali kita diperkenalkan mengenai moralitas dan etika. Hal itulah yang membuat aparat penegak hukum kita tidak memahami mengenai pentingnya penyertaan etika dan moral dalam menjalankan tugasnya.
Dalam konteks permasalahan tersebut, masyarakat dibuat bingung tidak tentu arah kemana mereka akan mencari keadilan dan kepastian yang sesungguhnya, melihat aparat penegak hukum kita yang secara nyata tidak bekerja sesuai dengan nuraninya. Kita harus mempercayai siapa lagi mengenai penegakan hukum di Indonesia. Tindakan perilaku mereka dalam menjalankan tugas dan kewajibannya tidak berlandaskan sumpah jabatan dan mengabaikan prinsip officia virtutis.
Bahwa masyarakat dibodohi oleh para penegak hukum serta elit lainnya. Penulis sadar betul, masyarakat memang tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka tidak memiliki instrumen lengkap seperti penguasa yang punya segala kelengkapannya untuk bertindak sewenang-wenang. Kita patut menduga, dengan gampangnya orang mengendalikan dan mempermainkan hukum. bahkan apart penegak hukum tidak malu dan terang-terangan menjadi pelaku yang sangat membabi buta dan agresif, boleh jadi salah satunya karena moral dihempaskan dari relung hukum. Pilar-pilar hukum satu persatu mulai roboh dan luluh lantak. Sehingga membuat masyarakat bertanya kemana lagi harus berlindung dan meminta perlindungan hukum.
Penulis beranggapan bahwa penegakan hukum Indonesia saat ini diposisi sangat mengkhawatirkan karena orang yang menjalankan hukum sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja dan diduga dalam lingkaran mafia. Tentunya hal tersebut sangat tidak diinginkan masyarakat secara umum. Bahwa pada prinsipmya hukum itu dapat berjalan ketika ada yang menggerakan, siapa yang menggerakan hukum? manusia.
Kita membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki integritas dan moralitas yang tinggi dalam menjalankan hukum serta menerapkan prinsip officia virtutis guna memberikan perlidungan hukum terhadap masyarakat dan pada akhirnya masyarakat memperoleh keadilan dan kepastian hukum. “Qou Vadis Penegakan Hukum Indonesia”. [*]
Oleh: Nindha Ayu Pramudhita & Alfendo Yefta Argastya