JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Fenomena dinasti politik yang dipertontonkan oleh keluarga Presiden Joko Widodo belakangan ini mendapatkan kritik dari banyak pihak.
Namun siapa sangka, ternyata mayoritas masyarakat Indonesia masih bisa menerima praktik dinasti politik tersebut. Lho?
Setidaknya hal itu terlihat dari hasil survei yang digelar oleh Lembaga Survei Populi Center.
Survei dilakukan setelah putra sulung Presiden Joko Widodo Gibran Rakabuming Raka maju menjadi calon wakil presiden untuk Prabowo.
Pencalonan Gibran ini pun memunculkan isu dinasti politik karena Jokowi dianggap tengah menyiapkan sang anak untuk jadi wakil presiden.
Apalagi perjalanan Gibran menjadi cawapres Prabowo melalui Mahkamah Konstitusi yang memutus soal batas usia capres-cawapres 40 tahun dengan tambahan frasa atau pernah menjadi kepala daerah. Saat itu MK masih dipimpin Anwar Usman, paman dari Gibran.
Populi lewat surveinya memperlihatkan hasil bahwa sebanyak 62,1 persen masyarakat masih bisa menerima praktik dinasti politik.
“Terkait persepsi terhadap dinasti politik sebesar 62,1 persen masyarakat menyatakan bisa menerima praktik dinasti politik,” kata peneliti Populi Center Hartanto Rosojati, di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis (9/11/2023).
Kemudian kata Hartanto, masyarakat yang menerima praktik dinasti politik tersebut terbagi menjadi dua kategori yakni bisa menerima sebanyak 15 persen dan biasa saja sebanyak 46,3 persen.
Adapun mereka yang tidak bisa menerima praktik dinasti mencapai 27,4 persen. Kategorinya terbagi kurang bisa diterima 18,9 persen dan sangat tidak bisa diterima 9,2 persen. Sedangkan sisa lainnya 10,5 persen tidak menjawab dan tidak tahu.
Hartanto mengatakan survei ini ingin menangkap bagaimana persepsi masyarakat mengenai dinamika politik usai tiga pasang calon mendaftar ke KPU sebagai peserta Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024.
Juru bicara Anies Baswedan Andi Sinulingga menanggapi soal tingginya masyarakat yang masih menerima praktik dinasti politik yaitu 62,1 persen. Menurut dia, hasil survei butuh perbandingan.
“Ya itu kan hasil surveinya Populi, sebagai produk ilmiah kita hormati itu. Tapi ada produk ilmiah yang mengatakan sebaliknya,” kata dia dalam diskusi hasil survei tersebut.
Dari dinamika yang ada, Andi menilai masyarakat punya pandangan yang bermacam-macam.
“Ada produk ilmiah yag mengatakan bermasalah, masyarakat menolak. Ada produk ilmiah yang mengatakan tidak ada penolakan, menganggap biasa saja,” kata dia.
Andi mengatakan perbedaan sikap di masyarakat soal praktik dinasti politik ini dapat dilihat langsung. Dirinya mengklaim selain sebagai politikus dan pengamat gelombang penolakan dapat dilihat bukan sebatas detai-detail angka.
“Mengamati peristiwa politik sehari-hari kita lihat itu. Bahkan sampai dengan angka-angka yang detail kita simpan dalam kepala kita,” katanya.
Andi menyebutkan, riset yang benar itu bisa kuantitatif atau kualitatif, sehingga hasilnya bisa dijadikan acuan dan pegangan.
Populi menggelar survei nasional ini mulai 29 Oktober hingga 5 November 2023. Adapun sampel respondennya tersebar secara proporsional di 38 provinsi Indonesia, termasuk 4 daerah otonomi baru di Papua.
Survei itu mengambil data dengan melakukan wawancara tatap muka menggunakan aplikasi survei Populi Center terhadap 1.200 responden.
Metode yang digunakan adalah sampling acak bertingkat (multistage random sampling) dengan Margin of Error (Mo) diperkirakan 2,83 persen, dan tingkat kepercayaan 95 persen.