JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Sejumlah tokoh nasional dan aktivis kembali menyoroti masalah nepotisme yang telah menggerogoti ruh demokrasi di tanah air.
Demikian yang terungkap dalam acara Refleksi Akhir Tahun dan Mimbar Bebas yang digelar Aliansi Mahasiswa UIN Jakarta di halaman Senat Mahasiswa UIN Jakarta, Kamis (28/12/2023).
Salah satu tokoh yang juga aktivis dan ekonom, Faisal Basri juga tampak hadir dan menyampaikan orasi di depan ratusan mahasiswa yang hadir.
Ada pula tokoh perempuan ahli tata negara, Bivitri Susanti, yang hadir bersama Ray Rangkuti, alumni UIN Jakarta sekaligus pengamat politik, Nong Darul Mahmada, aktivis perempuan juga alumni UIN Jakarta.
Aktivis dan direktur eksekutif Internasional NGO Forum on Indonesia Development (INFID), Iwan Misthohizzaman, juga tampak hadir bersama mahasiswa.
Sejumlah tokoh nasional tersebut menyampaikan keprihatinan dan kekecewaannya terhadap perjalanan demokrasi di Indonesia yang disebut sedang mengalami kemunduran serius.
Titik kritis demokrasi di Indonesia itu berawaldari upaya intervensi lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi (MK) oleh kekuasaan eksekutif demi kepentingan politik memajukan anak presiden, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto.
Menurut mereka Intervensi kekuasaan kepada MK yang terbukti cacat etika itu bukan hanya merusak tatanan hukum, juga mengancam kelangsungan demokrasi di Indonesia.
Disebutkan oleh para tokoh, kekuasaan eksekutif yang sangat dominan dan upaya untuk melanggengkan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, dinilai menyerupai praktek politik rezim orde baru.
Faisal Basri mengatakan Presiden Jokowi dinilai sudah melampaui batas dan membahayakan negara karena praktik nepotisme dengan mencalonkan anaknya menjadi calon wakil presiden bersama Prabowo Subianto.
Partai pengusung Prabowo-Gibran dinilai Faisal berperan penting dalam menghancurkan demokrasi di Indonesia.
“Kita harus meyakinkan rakyat bahwa kita ini berada di gerbang bencana. Mari kita pastikan kegagalan dan kebobrokan pemerintahan Jokowi itu tidak boleh diwariskan untuk dilanjutkan,” kata Faisal.
Sementara itu, aktivis INVID Iwan Misthohizzaman menyoroti pentingnya konsolidasi kembali gerakan civil society untuk mengawal demokrasi agar krisis tidak berkelanjutan.
Lemahnya gerakan civil society untuk menjadi penyeimbang kekuasaan dapat mempercepat kematian demokrasi.
Padahal, menurut pria yang akrab disebut Iwan ini, secara historis gerakan civil society di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam melawan dominasi kekuasaan
Iwan menyebut mahasiswa adalah motor utama dalam gerakan civil society itu.
“Kita harus mengambil sikap untuk menolak semua hal yang membuat kemunduran untuk negeri ini, karena sejarah hanya mencatat tokoh, bukan penonton atau pengekor. Maka buatlah nama kalian menjadi sejarah yang baik di negara ini,” kata Iwan.
Hal senada disampaikan oleh pengamat politik Ray Rangkuti yang melihat netralitas pemilu sudah tidak dapat diharapkan lagi karena Presiden dinilai telah terlampau jauh menghegemoni hampir semua kekuatan politik.
Menurut Ray, kondisi ini akan semakin parah ketika pasangan calon yang didukung oleh presiden memenangkan pemilu. Hal ini akan menyengsarakan rakyat.
“Tidak ada nepotisme yang dibuat untuk kepentingan negara, nepotisme hanya bertujuan untuk memakmurkan keluarganya, dan dinasti politik itu tidak akan mensejahterakan rakyat tapi justru akan menyengsarakan rakyat,” ujarnya.
Sementara itu, Bivitri Susanti mempersoalkan masa depan supremasi hukum di Indonesia.
Menurutnya, penguasa yang abai akan etika akan membuat kesalahan besar dalam penegakan hukum.
“Jika hukumnya tidak adil apakah masih bisa disebut ada supremasi hukum,” ujarnya.