JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Ketua Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Koentjoro menepis tudingan bahwa Petisi Bulaksumur sebagai aksi partisan untuk kepentingan elektoral.
Ia menegaskan, Petisi Bulaksumur merupakan bentuk gerakan moral dipicu kekhawatiran dan keprihatinan situasi demokrasi dan politik Indonesia menuju Pemilu 2024.
“Di UGM, ada 250 guru besar yang hadir, tetapi dikatakan partisan. Padahal, tugas guru besar untuk menjaga moralitas dan demokrasi. Kita sebagai Guru Besar UGM salah, jika di UGM ada pelanggaran etik, tetapi malah mendiamkan. Saya marah besar ketika ada yang menyinggung tugas guru besar,” kata guru besar Fakultas Psikologi UGM itu.
Prof Kuntjoro menjelaskana, embrio dari Petisi Bulaksumur berawal dari tindakan Presiden Jokowi yang merupakan alumnus UGM semakin lama semakin membahayakan.
Jokowi mencla-mencle yang dapat dilihat dari keterlibatan putra sulungnya dalam Pilpres 2024 sampai masalah kampanye.
Tindakan yang dilakukan Jokowi itu menurut Prof Kuntjoro cenderung menabrak etika yang memberikan tahta pada keadilan.
“Sikap mencla-mencle ini juga kerap diperbincangkan dosen secara personal. Selain itu, Ketua BEM UGM, Gielbran M. Noor juga telah menganugerahi ‘Alumnus UGM paling Memalukan’ kepada Jokowi,” bebernya.
Lebih jauh Kuntjoro menjelaskan, dorongan Jokowi untuk anaknya, Gibran maju sebagai Cawapres meski regulasinya cacat etika, menjadi pembenar akan sesuatu yang sebenarya salah secara etika.
Dampak selanjutnya, ketika seseorang berbohong maka dia akan terus berbohong untuk menutupi kebohongannya. Hal itu terlihat ketika Jokowi melakukan pembodohan rakyat dengan menunjukkan potongan pasal-pasal pemilu, dan membenarkan dirinya sebagai Presiden untuk berpihak dan berkampanye.
Padahal, tegas Kuntjowo, membaca pasal-pasal tersebut harus komprehensif sehingga tidak salah makna. Tapi yang dilakukan oleh Jokowi hanya memotong-motong pasal itu sesuai dengan tujuannya untuk pembenaran dirinya.
Melihat Jokowi yang tidak kunjung berubah, demikian Kuntjoro, Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM menginisiasi petisi.
Pada 31 Januari 2024, pukul 13.00-15.00 WIB, guru besar dan sivitas akademika UGM menyelenggarakan diskusi di Balai Senat yang dihadiri Ketua PSP, eks Rektor UGM, dan petinggi Wali Amanat.
Terdapat 7 pembicara dengan makna pitulungan yang berarti pertolongan dan 6 penanggap. Mereka memiliki pandangan yang sama terkait rasa adil.
Urgensi dari Petisi Bulaksumur itu, jelas Kuntjoro memiliki dua hal yang utama. Pertama, mengingatkan kepada Jokowi sebagai alumnus UGM agar kembali mewujudkan nilai-nilai dan jati diri UGM.
Kedua, meminta Jokowi untuk segera kembali kepada demokrasi Pancasila. Setelah membacakan, hymne UGM pun dinyanyikan agar mengingatkan untuk kembali ke demokrasi Pancasila.
Prof Kuntjoro bersyukur dan berterima kasih Petisi Bulaksumur mampu menyentuh hati dan menggerakkan kampus-kampus lain di tanah air untuk menggelorakan suara yang sama.
Ia mengatakan, sejujurnya, pihak UGM tidak memberikan pengaruh dan kuasa kepada kampus lain untuk membuat petisi terkait demokrasi saat ini.
Jika terpengaruh, kampus lain juga memiliki kesamaan rasa. Salah satu rasa tersebut adalah etika. “Dorongan kuat kami (para guru besar) untuk menulis ini adalah permasalahan etika yang tidak terperhatikan oleh Jokowi sehingga sangat mengkhawatirkan. Jika Jokowi tidak berubah, cacat etika akan terjadi dalam demokrasi,” ujarnya.