JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Sebagai almamater bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi), Universitas Gadjah Mada (UGM) justru menjadi kampus yang paling vokal dan gencar mengkritisi pemerintahan presiden asal Solo tersebut.
Terhitung, dalam tiga bulan terakhir para sivitas akademika, guru besar, hingga dosen telah melakukan tiga kali aksi mengkritisi pemerintahan Jokowi. Apa saja aksi mereka?
Baliho Alumnus Paling Memalukan
Aksi pertama diprakarsai oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UGM pada 8 Desember 2023. Saat itu, mereka memasang baliho bergambar Jokowi dengan dua sisi wajah terpampang mencolok di area bundaran kampus UGM.
Baliho dengan wajah Jokowi itu terbagi menjadi dua sisi dengan latar belakang berbeda. Pertama menampilkan separo wajah Jokowi berjas hitam memakai mahkota ala raja dengan latar istana negara dengan keterangan masa jabatan ‘2014-2024 ?’.
Gambar kedua wajah Jokowi dengan jaket almamater mengenakan caping berlatar kampus UGM dengan keterangan masa kuliah ‘1980-1985’.
Yang menarik, di tengah baliho itu terpampang kalimat jelas bertulis ‘Penyerahan Nominasi Alumnus UGM Paling Memalukan’ dengan di bawahnya tertulis keterangan ‘Mr. Joko Widodo’.
“Baliho ini kami buat sebagai bentuk kekecewaan pada Jokowi yang selama dua periode memimpin tak berhasil menuntaskan masalah-masalah fundamental bangsa, padahal dia punya banyak waktu,” kata Ketua BEM KM UGM Gielbran Muhammad Noor di sela acara itu.
Gielbran menuturkan di bawah pemerintahan Jokowi, sangat mudah mengkriminalisasi aktivis-aktivitis pro demokrasi yang menyuarakan suara kritis. Dan makin menurunnya indeks demokrasi.
“Rezim Jokowi ini buat kami bukan sekedar rezim Orde Baru tapi Orde Paling Baru,” kata dia.
Petisi Bulaksumur
Pada Rabu (31/1/2024), sivitas akademika UGM yang terdiri dari beberapa guru besar, dosen, dan mahasiswa berkumpul di Balairung UGM. Mereka mengingatkan Jokowi yang sudah keluar jalur melalui Petisi Bulaksumur.
Didampingi sejumlah guru besar dari berbagai fakultas, Profesor Koentjoro membacakan Petisi Bulaksumur dan menyanyikan Himne Gadjah Mada.
“Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari keluarga besar Universitas Gadjah Mada,” kata Profesor Koentjoro di Balairung UGM, Rabu (31/1/2024).
“Pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, keterlibatan sejumlah aparat penegak hukum dalam proses demokrasi perwakilan yang sedang berjalan dan pernyataan kontradiktif Presiden tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik antara netralitas dan keberpihakan merupakan wujud penyimpangan dan ketidakpedulian akan prinsip demokrasi,” kata Koentjoro, lagi.
Kepala Pusat Studi Pancasila UGM yang juga inisiator Petisi Bulaksumur, Agus Wahyudi menyatakan bahwa pernyataan yang disampaikan di Balairung tersebut merupakan hasil dialog dari para profesor, dosen, dan mahasiswa.
Agus pun menyampaikan bahwa catatan-catatan yang dibacakan pada sore hari ini merupakan sebuah catatan yang terakumulasi berkaitan dengan kemunduran demokrasi di Indonesia.
“Kita tidak mengambil jalan untuk memakzulkan, kita tahu presiden bermain politik dengan melanggar batas-batas demokrasi. Pemilu sudah dekat dan publik yang akan menilai,” kata dia.
Kampus Menggugat
Teranyar, pada Selasa (12/3/2024), sivitas akademika UGM, para guru besar, alumni, dan beberapa kampus lainnya menyerukan agar lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif mengembalikan etika dan konstitusi yang telah terkoyak dalam 5 tahun terakhir. Mereka menamai gerakan mereka dengan ‘Kampus Menggugat: Tegakkan Etika dan Konstitusi, Perkuat Demokrasi’.
Sama halnya dengan Petisi Bulaksumur, deklarasi tersebut dilakukan di Balairung. Mereka yang hadir antara lain Wakil Rektor UGM, Ari Sudjito; Guru Besar Fakultas Psikologi UGM, Koentjoro; Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM, Busyro Muqoddas; pakar tata hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar; Rektor UWM, Edy Suandi Hamid; Rektor UII, Fathul Wahid dan puluhan tokoh lainnya.
Dalam deklarasi disebutkan peran perguruan tinggi sebagai benteng etika dan akademisi selaku insan ilmu pengetahuan yang bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa, menjaga keadaban, dan mewujudkan keadilan serta kesejahteraan.
“Inilah momentum kita sebagai warga negara melakukan refleksi dan evaluasi terhadap memburuknya kualitas kelembagaan di Indonesia dan dampaknya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara,” bunyi deklarasi yang dibacakan salah seorang Guru Besar UGM, Wahyudi Kumorotomo.