JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Pilpres 2024 memang sudah lewat sejak putusan oleh Mahkamah Konstitusi(MK) dan penetapan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Rabu (24/4/2024).
Akan tetapi ada putusan MK yang dinilai menggantung dan masih menyisakan pertanyaan.
Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh Ahli Konstitusi dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Ni’matul Huda.
Dengan keputusan MK tersebut, Ni’matul Huda bahkan mengaku khawatir hukum akan kembali tertinggal oleh perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Dia menjelaskan, hakim konstitusi Arsul Sani sempat menyebut bahwa dalil politisasi bantuan sosial alias bansos sulit untuk dibuktikan.
Saat itu, Arsul menilai, bansos tidak berpengaruh terhadap kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
“Ini enggak bisa diterima. Saya khawatirnya, lagi-lagi, hukum itu selalu ketinggalan mengikuti perkembangan masyarakatnya,” kata Ni’matul dalam acara Eksaminasi Publik atas Putusan MK tentang PHPU Pilpres yang dipantau secara daring pada Sabtu (4/5/2024).
Guru Besar Hukum Tata Negara UII itu menjelaskan, ahli ekonomi saja bisa mendalilkan adanya keterkaitan antara pemberian bansos dengan perolehan suara. Sedangkan hakim MK, kata dia, belum sampai sana.
“Nah sehingga banyak PR (pekerjaan rumah), calon hakim atau hakim terpilih perlu juga diberi semacam pembahasan materi-materi yang terkait dengan mungkin perkembangan terbaru,” ujar Ni’matul.
Dia mencontohkan sistem rekapitulasi suara pemilu alias Sirekap. Menurut Ni’matul, hakim MK juga butuh sedikit pengetahuan mengenai hal-hal seperti itu.
Seperti diketahui, MK telah menolak permohonan secara keseluruhan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. pada 22 April 2024 lalu. Artinya, pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalil yang mereka ajukan.
Kendati demikian, ada tiga hakim konstitusi yang memberikan dissenting opinion alias pendapat berbeda. Ketiganya adalah Arief Hidayat, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih.
Ini menjadi dissenting opinion pertama dalam sejarah perselisihan hasil pemilihan umum atau PHPU pilpres di Mahkamah Konstitusi.
Dalam pendapat mereka, ketiga hakim ini sepakat bahwa MK seharusnya mengabulkan sebagian permohonan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Yakni, dengan melakukan pemungutan suara ulang atau PSU di sejumlah daerah.