Beranda Umum Nasional Dinilai Memberangus Independensi Pers, AMSI, AJI, IJTI, PWI dan Dewan Pers Serempak...

Dinilai Memberangus Independensi Pers, AMSI, AJI, IJTI, PWI dan Dewan Pers Serempak Tolak RUU Penyiaran

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu (tengah), bersama Wakil Ketua Dewan Pers Muhammad Agung Dharmajaya (kiri) dan Anggota Dewan Pers Arif Zulkifli (kanan) saat memberikan keterangan pers soal RUU Penyiaran di Gedung Dewan Pers, Selasa (14/5/2024). Dewan Pers bersama konstituen menolak beberapa aturan baru dalam draf Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang tengah dibahas Badan Legislasi DPR | tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Setelah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pengkerdilan Mahkamah Konsitusi (MK), kini giliran independensi dan kekuatan Pers bakal dipereteli oleh penguasa.

Ketiganya dilakukan secara regulatif dengan melakkuan revisi Undang-undang. MK melalui revisi UU KPK, MK melalui revisi UU MK yang sekarang lagi ramai menuai prokontra.

Dan terkini, lembaga Pers bakal digerogoti dan dilemahkan melalui revisi Undang-undang No. 32/2022 tentang penyiaran yang sekarang juga lagi ramai menuai penolakan.

Revisi Undang-undang Penyiaran yang sedang berjalan ini ditakutkan bakal mengancam kebebasan per hingga ruang digital.

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengungkapkan jika RUU Penyiaran nanti diberlakukan, maka tidak akan ada independensi pers. Pers pun menjadi tidak profesional. Dia juga mengritik penyusunan RUU tersebut yang tidak sejak awal melibatkan Dewan Pers dalam proses pembuatannya.

Senada, anggota Dewan Pers, Yadi Hendriana, mengutarakan upaya menggembosi  kemerdekaan pers sudah lima kali dilakukan oleh pemerintah maupun legislatif.

Hal itu antara lain tecermin melalui isi UU Pemilu, peraturan Komisi Pemilihan Umum, pasal dalam  UU Cipta Kerja, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dan terakhir RUU Penyiaran.

Yadi menilai, RUU Penyiaran ini jelas-jelas secara frontal mengekang kemerdekaan pers.

Penolakan serupa juga banyak diserukan oleh komunitas pers lainnya, di antaranya:

 

AMSI

Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wahyu Dyatmika menegaskan, jika DPR atau pemerintah tetap ngotot untuk memberlakukan RUU tersebut, maka akan berhadapan dengan masyarakat pers.

“Kalau DPR tidak mengindahkan aspirasi ini, maka Senayan akan berhadapan dengan komunitas pers,” kata Wahyu di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (14/5/2024).

“Saya kira penegasan saja bahwa hari ini seluruh konstituen Dewan Pers satu frekuensi dengan para Komisioner Dewan Pers, menegaskan penolakan terhadap Revisi UU Penyiaran,” kata dia.

Baca Juga :  Meski Dipotong 35,72 Persen, ATR/BPN Eksis dengan Pinjaman Bank Dunia

 

PWI

Suara penolakan juga datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang disampaikan oleh Kamsul Hasan. Menurut dia, RUU Penyiaran itu jelas-jelas bertentangan dengan UU Pers. Lebih lanjut, Kamsul menyoroti Komisi Penyiran Indonesia yang bisa menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran, berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS)yang dibuat oleh KPI.

“P3SPS dibuat oleh KPI sendiri, tidak melibatkan kami. Dibuat oleh KPI sendiri, kemudian diawasi oleh KPI, sanksinya secara administratif dijatuhkan oleh KPI,” ujar dia di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (14/5/2024).

 

Hal ini, menurut dia, merupakan salah satu alasan penolakan PWI terhadap revisi UU Penyiaran. Kamsul mewakli PWI berharap karya jurnalistik penyiaran bisa diselesaikan berdasarkan Undang-Undang pers.

“Jadi tidak berdasarkan dengan apa yang ada di draf revisi UU Penyiaran,” ujarnya.

 

IJTI

Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Herik Kurniawan, minta agar draf RUU itu dicabut karena akan merugikan publik secara luas dan kembali disusun sejak awal dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan.

 

AJI

Aliansi Jurnalis Independen (AJI), melalui ketua umumnya, Nani Afrida, berpendapat jurnalisme investigatif merupakan strata tertinggi dari karya jurnalistik sehingga jika dilarang, maka akan menghilangkan kualitas jurnalistik.

Penolakan juga disampaikan oleh Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), dan semua konstituen Dewan Pers.

Sebelumnya, dalam draf revisi UU Penyiaran yang dilansir melalui laman DPR RI per Maret 2024, terdapat Pasal 50B ayat 2 yang mencantumkan berbagai larangan, termasuk:

Baca Juga :  Sinyal Reshuffle Menguat, Kementerian Ekonomi Diprediksi jadi “Sasaran Tembak”

 

  1. Isi siaran dan konten siaran soal narkotika, psikotropika, zat adiktif, alkohol, dan perjudian

 

  1. Isi siaran dan konten siaran terkait rokok

 

  1. Penayangan eksklusif jurnalistik investigasi

 

  1. Penayangan suatu profesi atau tokoh yang memiliki perilaku atau gaya hidup negatif yang berpotensi ditiru oleh masyarakat

 

  1. Penayangan aksi kekerasan dan/atau korban kekerasan

 

  1. Penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung unsur mistik

 

  1. Penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender

 

  1. Penayangan isi siaran dan konten siaran pengobatan supranatural

 

  1. Penayangan rekayasa negatif informasi dan hiburan melalui lembaga penyiaran dan penyelenggara platform digital penyiaran

 

  1. Menyampaikan isi siaran dan konten siaran yang secara subjektif menyangkut kepentingan politik yang berhubungan dengan pemilik dan/atau pengelola lembaga penyiaran dan penyelenggara platform digital penyiaran

 

  1. Penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.

    www.tempo.co