SEMARANG, JOGLOSEMARNEWS.COM —-Pilkada 2024 masih akan banyak diwarnai politik uang atau money politics. Potensi pemilih transaksional diprediksi masih akan terjadi seperti pelaksanaan Pilpres dan Pileg lalu.
Popularitas dan kapabilitas calon pemimpin di daerah tak lagi berbanding lurus dengan elektabilitas, tapi justru elektabilitas akan sangat dipengaruhi oleh ”isi tas” atau kekuatan logistik kontestan.
Hasil survei juga memperlihatkan, mayoritas masyarakat menganggap wajar money politics dibanding yang menolaknya. Mereka yang menolak politik uang pada Pilpres dan Pileg 2024 menurun dibanding Pemilu 2019.
Hasil survei juga menyebutkan, mereka yang memilih karena iming-iming uang juga meningkat pada Pemilu 2024, angkanya kisaran 35 persen dibanding Pemilu 2019, yang angkanya kisaran 28 persen. Pada Pilkada serentak diperkirakan iming-iming uang juga mash marak.
Hal itu menjadi perhatian serius semua pihak. Maka, dibutuhkan pendidikan politik yang masif di semua lini. Kampanye anti politik uang juga harus diperluas dan diperkuat. Kemudian penegakan hukum tidak boleh lemah, harus tegas.
Demikian benang merah yang bisa diambil dalam acara Sosialisasi & Pendidikan Pemilih Pilkada 2024 ”Mewujudkan Pilkada Berkeadaban dan Substantif” di Lobby Gedung PW Muhammadiyah Jateng, Jalan Singosari Raya Semarang, Jumat 8 November 2024.
Forum diskusi yang digagas Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jateng dan KPU Jateng itu menghadirkan nara sumber pengamat politik dari Unnes dan surveyor Dr Cahyo Seftyono, anggota LHKP PWM Jateng Anas Syahirul Alim, dan Ketua LKHP Muhammadiyah Jateng Dr AP Drs Jayusman Arief, serta dimoderatori Muhammad Sabbardi.
Selain diikuti perwakilan organisasi otonom Muhammadiyah, tampak politisi PAN yang juga mantan wakil ketua DPRD Surakarta Umar Hasyim, dan mantan legislator DPRD Jateng dari PKS Agung Budi Margono.
Menurut Anas Syahirul, secara sosiologis perilaku pemilih kita terbagi ke dalam tiga kelompok yakni ideologis militan, rasional dan transaksional. sedangkan yang swing voters adalah rasional. Tapi khusus tahun 2024, perilaku pemilih yang paling tebal adalah transaksional.
“Kelompok ideologis militan inibukan berarti tak mau iming-iming uang, uang tetap diterima tapi milihnya sesuai keyakinan dia. Kalau yang transaksional, jumlahnya makin tebal di Pemilu 2024 ini,” ungkap Anas yang juga Komisioner KPID Jateng ini.
Itu sebabnya, dia sering mendengar analisa yang menyebut Dapil Neraka. “Rupanya bukanya hanya ketatnya pertempuran antarkontestan melainkan juga bersaing dengan jumlah isi tas. Maka guyonannya, Dapil neraka jahanam,” gurau Anas.
Dikatakannya, meskipun sudah banyak kampanye anti politik uang, penindakan hingga fatwa haram terhadap politik uang, tetapi vote buying dalam Pemilu 2024 masih terus berlangsung.
”Pengalaman saya meliput di lapangan sejak 1999, dulu popularitas sebanding dengan elektabilitas, tapi sekarang elektabilitas tergantung isi tas. Sehingga terkesan tak usah kampanye atau meningkatkan kualitas diri, yang penting menyebar isi tas. Kondisi ini tak boleh dibiarkan,” kata Anas yang juga Ketua PWI Surakarta ini.
Narasumber lain, Cahyo Seftyono menyoroti hasil survei tiga lembaga kredibel yang sudah merilis surveinya terkait Pilgub Jateng, serta menelaah relasi elit dengan publik, dan bagaimana tingkat kesukaan masyarakat Jateng terhadap para kontestan.
Menurut dia, dari tiga lembaga survei yang sudah merilis yaitu SMRC, Litbang Kompas, dan LSI Denny JA, belum ada kontestan yang dominan. Dia juga meyakini bahwa Pilkada 2024 memiliki kompleksitas tinggi.
“Belum tentu orang PDIP memilih kader yang diusung PDIP, dan orang Gerindra belum tentu memilih kontestan yang diusung Pak Prabowo. Di tingkat pusat, kelihatannya PDIP dan PKS tak bisa disatukan. Tapi di tingkat lokal, koalisi PDIP – PKS itu banyak. Jadi sangat kompleks,” katanya.
Berdasarkan survei yang dilakukannya, kecenderungan pemilih Jateng pada kontestan bukan pada sosok yang pintar, peduli atau dicitrakan jujur dan religius, namun pada kemampuan memimpin secara personal. ”Bagi masyarakat Jateng pemimpin pintar itu nomor dua, sikap peduli nomor empat,” katanya.
Sementara itu, Jayusman Arief selaku Ketua LHKP PWM Jateng mengajak warga Muhammadiyah untuk berpartisipasi aktif dalam Pilkada. Jangan sampai golput dan netral yang diartikan tidak bergerak sama sekali.
”Kami setuju, karena Pilkada sering memunculkan sisi gelap, maka edukasi politik harus terus digencarkan. Diskusi seperti ini adalah salah satu contoh untuk memberikan pendidikan politik sebagai bagian dari ibadah ghairu mahdhah,” katanya.
Warga Muhammadiyah harus mengambil peran dalam menolak politik uang dan turut berpartisipasi aktif dalam Pilkada, sehingga tak ada istilah golput apalagi netral.
Di bagian lain, Agung Budi Margono memberi perspektif berbeda terkait Pilkada. Menurutnya, untuk terpilih ketika maju dalam Pilkada setidaknya ditentukan dua hal yakni turun tangan dan garis tangan. Turun tangan adalah mau menemui konstituen dan menurunkan tangannya dengan memberi sesuatu. Sedangkan garis tangan itu adalah takdir dari Allah.
“Bisa jadi isi tas sudah banyak kalau garis tangannya tidak jadi ya tidak jadi. Saya lima kali maju dewan, empat kali jadi, tapi terakhir 2024 di DPR RI gagal. Dan suara yang yang diraih banyak bisa menentukan jadinya seseorang. Teman saya, orang Cilacap, suaranya banyak saya, tapi dia jadi, sedangkan saya tidak. Itulah garis tangan,” tegasnya. (Ali)