Beranda Daerah Sukoharjo Mengenang Kejayaan Sritex (1): Dari Pasar Klewer ke Panggung Dunia,...

Mengenang Kejayaan Sritex (1): Dari Pasar Klewer ke Panggung Dunia, Hingga Menuju Antiklimaks

Aktivitas buruh di lingkungan pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis (24/10/2024) | tribunnews

Sebagai perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, Sritex pernah menjadi simbol kejayaan industri manufaktur Indonesia. Namun, dihantam krisis dan perubahan ekonomi global, Sritex akhirnya harus merelakan akhir perjalanannya, meninggalkan jejak perjuangan yang panjang. Dalam rangka mengenang kejayaannya, Joglosemarnews menyajikan tulisan berseri yang mengupas kebesaran Sritex.

PT SRI REJEKI ISMAN (Sritex) atau PT Sritex Tbk kini tinggal kenangan. Per 1 Maret 2025, perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara itu resmi menghentikan operasinya setelah 58 tahun berkiprah.

Berakhirnya perjalanan Sritex meninggalkan duka mendalam, terutama bagi puluhan ribu karyawan yang terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Seperti roda kehidupan, Sritex yang bermula dari langkah kecil dan tumbuh menjadi raksasa industri tekstil, kini harus menutup lembaran terakhirnya.

Nama Sritex tentu tak bisa dipisahkan dari sosok almarhum H. Lukminto, sang pendiri yang membawa perusahaan ini mencapai kejayaan. Lahir di Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur, pada 1 Juni 1946, Lukminto memulai usahanya dari nol. Tahun 1966, ia merintis bisnis tekstil sebagai pedagang kecil di Pasar Klewer, Solo. Ia menjual kain secara eceran hingga akhirnya memiliki kios tetap. Dari sanalah cikal bakal Sritex mulai tumbuh.

Dalam perjalanannya, Lukminto terus mengembangkan usahanya. Berkat kerja keras dan kegigihannya, ia berhasil mendirikan pabrik tekstil sederhana di Baturono 81 A, Solo, pada tahun 1968. Seiring waktu, bisnisnya semakin maju. Pada era 1980-an, bersama kakaknya, ia membangun pabrik tekstil yang lebih besar di Desa Jetis, Sukoharjo, dengan nama PT Sri Rejeki Isman (Sritex).

Baca Juga :  Disnaker Sukoharjo Siap Fasilitasi Penyaluran Karyawan Sritex Yang Di-PHK ke  Perusahaan Lain

Pabrik yang awalnya berdiri di lahan seluas 10 hektare terus berkembang hingga mencapai 100 hektare, dengan investasi mencapai ratusan miliar rupiah. Kemajuan pesat ini mengantarkan Sritex diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 3 Maret 1992, bersamaan dengan 275 pabrik industri lainnya di Surakarta, Jawa Tengah. Momen tersebut menjadi tonggak penting dalam perjalanan Sritex.

Dengan lebih dari 20.000 karyawan, Sritex tidak hanya memenuhi kebutuhan tekstil dalam negeri, tetapi juga menjadi pemasok seragam militer untuk lebih dari 25 negara, termasuk Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan Prancis. Keberhasilan ini menjadikan Sritex sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di dunia.

Lukminto sendiri tidak pernah bercita-cita menjadi pengusaha. Sejak kecil, ia dan kakaknya terbiasa berdagang makanan kecil seperti kacang goreng, permen, dan rokok. Kedua orang tuanya selalu menanamkan pentingnya kerja keras dan kemandirian.

“Jadi orang miskin itu tidak enak, selalu jadi cemoohan dan hinaan orang,” kenangnya.

Sebagai warga negara keturunan, ia menyadari bahwa nasibnya bergantung pada usaha dan keuletannya sendiri. Kesadaran ini membuatnya bertekad untuk sukses di bidang bisnis.

Baca Juga :  Ditutup Permanen, Mantan Karyawan Sritex Berbondong-Bondong Urus BPJS Ketenagakerjaan

“Kami tak bisa jadi ABRI, kami tak boleh jadi pegawai negeri. Padahal kami lahir dan mencintai negeri ini seperti saudara-saudara kami lainnya di Nusantara. Tapi itulah kenyataan,” katanya.

Dorongan kuat untuk mengubah nasib membuat Lukminto tumbuh menjadi sosok yang gigih dan pantang menyerah. Prinsipnya sederhana: kerja keras tanpa batas dan tidak mudah puas dengan pencapaian yang sudah diraih. Dari seorang pedagang kecil di Pasar Klewer, ia berhasil membangun kerajaan bisnis tekstil yang mendunia. Sritex menjadi warisan besar yang dikenang dalam sejarah industri tekstil Indonesia. Suhamdani | Dokumentasi Joglosemar