Beranda Daerah Solo RUU Sisdiknas dan Masa Depan Guru, Ini Tanggapan Guru Besar FKIP UMS

RUU Sisdiknas dan Masa Depan Guru, Ini Tanggapan Guru Besar FKIP UMS

Guru Besar FKIP UMS, Sutama. Humas UMS

SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM — Dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas), aturan mengenai tunjangan profesi guru tidak dicantumkan secara eksplisit. Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Dr. Sutama, M.Pd., menilai bahwa tunjangan tersebut seharusnya tetap dicantumkan secara jelas dalam regulasi.

Menurutnya, meskipun kinerja guru perlu dipantau, akuntabilitas tunjangan akan sulit jika tidak dinyatakan secara eksplisit dalam RUU tersebut.

“Jika hanya diberikan tanpa eksplisit, maka akuntabilitasnya sulit. Saya setuju jika dicantumkan eksplisit, namun tetap harus dikalibrasi berdasarkan kinerja guru,” ujarnya saat ditemui di Dekanat FKIP UMS, Kampus 1 UMS, Jum’at, (21/3). (bisa juga dibaca di link web : news.ums.ac.id)

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa sistem pemberian tunjangan seharusnya mempertimbangkan prestasi guru. Namun harus ada mekanisme pemantauan yang jelas agar adil bagi semua guru, baik yang muda maupun yang sudah senior.

“Jika tunjangan diberikan berdasarkan kinerja, itu bagus,” kata Sutama.

Terkait dampak perubahan sistem tunjangan ini terhadap kesejahteraan guru, Sutama menilai kebijakan tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian bagi tenaga pendidik, terutama bagi mereka yang telah lama mengabdi. Bagi yang sudah lama mengajar, tunjangan yang tidak jelas ini dapat membuat mereka kurang fokus dalam mengajar dan mencari pekerjaan lain.

Ia menekankan bahwa jika tunjangan diberikan secara eksplisit dan tetap diawasi, maka kualitas pendidikan akan lebih terjaga. Jika tidak, hanya guru muda yang berprestasi yang akan mendapatkan manfaat, sedangkan guru yang lebih senior akan beralih ke bidang lain, yang pada akhirnya dapat berdampak pada peserta didik.

RUU Sisdiknas Pasal 109 Ayat 1 mengatur bahwa calon guru wajib mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG). Sutama menilai kebijakan ini efektif dalam meningkatkan kualitas guru di Indonesia.

Baca Juga :  Penyebab Daya Beli Turun di Indonesia: Apa Kata Pakar Ekonomi UMS?

“Lulusan FKIP yang masuk PPG seharusnya dijamin oleh pemerintah dan tidak dikenakan biaya. Jika pun ada biaya, maka harus dipastikan bahwa universitas penyelenggara PPG benar-benar berkualitas,” jelasnya.

Ia juga menyoroti pentingnya akreditasi dan rekam jejak universitas penyelenggara PPG. Sebagai contoh, PPG UMS memiliki tingkat kelulusan tinggi, mencapai 97 persen, dengan dosen berkualifikasi tinggi yang mampu memotivasi mahasiswa dan memastikan kompetensi mereka dalam praktik mengajar.

Terkait daya tampung PPG, Sutama menilai masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendidik di seluruh Indonesia. Karena keterbatasan anggaran, yang seharusnya 8.000 kuota PPG hanya terisi separuhnya.

“Pemerintah harus memprioritaskan pendidikan dan tidak melakukan efisiensi anggaran di sektor ini,” tegasnya.

RUU ini juga mengusulkan wajib belajar 13 tahun, termasuk pendidikan pra sekolah. Menurutnya, kebijakan ini baik, namun harus diiringi dengan kesiapan sekolah-sekolah. Setelah pandemi, banyak peserta didik mengalami kesulitan belajar. Wajib belajar harus didukung dengan pemberdayaan guru dan pemberian insentif yang memadai.

Ia menyoroti tantangan utama dalam implementasi kebijakan ini, termasuk kurangnya sosialisasi, rendahnya kesadaran masyarakat, dan kurangnya dukungan dari pemerintah daerah. Di beberapa daerah, masih banyak anak lulusan SD yang lebih memilih bekerja daripada melanjutkan pendidikan.

Pemerintah juga mengusulkan agar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menjadi jenjang tersendiri. Sutama menilai langkah ini baik, asalkan tenaga pendidik diperhatikan. Banyak guru PAUD yang belum berkualifikasi S1 dan kesejahteraan mereka masih minim, dengan gaji rata-rata Rp250 ribu per bulan. Pemerintah harus memperhatikan kesejahteraan mereka agar setidaknya setara dengan Upah Minimum Regional (UMR).

Baca Juga :  Safari Ramadan UMS, Muhammadiyah Adalah yang Nomor Satu

Selain itu, dalam RUU Sisdiknas, pelaksanaan Tridarma Perguruan Tinggi akan lebih fleksibel sesuai visi dan misi masing-masing kampus. Namun, menurut Dosen FKIP UMS itu, fleksibilitas ini dapat berdampak pada kualitas pendidikan tinggi.

“Perguruan tinggi kecil dengan dana terbatas akan kesulitan membiayai penelitian dan pengabdian masyarakat. Tanpa dukungan dana yang cukup, penelitian berkualitas sulit diwujudkan,” ujarnya.

Ia juga menyoroti pentingnya memastikan bahwa anggaran pajak digunakan untuk mendukung pendidikan, termasuk program wajib belajar hingga jenjang S1. Sutama mengungkapkan saat ini masih banyak anak yang putus sekolah, terutama setelah pandemi. Pemerintah perlu mengoptimalkan peran berbagai pihak dalam meningkatkan akses pendidikan.

Terakhir, Sutama menekankan bahwa Pancasila sebagai mata pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah sangat penting. Namun, Ia menyarankan pendidikan agama tidak boleh dihapus karena menjadi dasar moral dan spiritual yang kuat.

“Pancasila harus diajarkan dengan metode yang relevan agar lebih diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,” pungkasnya. Prihatsari