JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Tutupnya perusahaan tekstil legendaris, PT Sritex (Tbk), yang diiringi dengan tragedi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 10.669 karyawannya, menjadi petaka di awal tahun 2025 ini.
Sritex dinyatakan pailit setelah salah satu krediturnya melayangkan gugatan yang kemudian dikabulkan oleh pengadilan. Perusahaan tekstil terbesar di Indonesia ini gagal melunasi utangnya yang menumpuk, sementara pendapatan terus anjlok dalam beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan laporan keuangan terbaru, Sritex memiliki utang sebesar 1,597 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 25 triliun (kurs Rp 15.600). Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan aset yang dimiliki perusahaan, yang hanya senilai 617,33 juta dolar AS atau sekitar Rp 9,65 triliun. Dengan kata lain, aset Sritex bahkan tak mencapai setengah dari total utangnya.
Kondisi keuangan perusahaan semakin buruk akibat kinerja penjualan yang merosot. Merujuk pada Laporan Keuangan Konsolidasi Interim per 30 Juni 2024, operasional Sritex mengalami defisit karena beban yang lebih besar dibanding total penjualan. Pada semester I 2024, perusahaan hanya mencatatkan penjualan sebesar 131,73 juta dolar AS, turun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 166,9 juta dolar AS. Di sisi lain, beban penjualannya mencapai 150,24 juta dolar AS, menyebabkan perusahaan rugi 25,73 juta dolar AS atau sekitar Rp 402,66 miliar.
Kerugian Sritex bukan hanya terjadi pada 2024. Pada 2023, perusahaan mencatat kerugian sebesar 174,84 juta dolar AS atau sekitar Rp 2,73 triliun. Bahkan di masa pandemi Covid-19, perusahaan mengalami kerugian lebih besar. Sepanjang 2022, Sritex merugi hingga 391,56 juta dolar AS atau Rp 6,12 triliun. Pada 2021, kerugiannya mencapai 1,06 miliar dolar AS, sementara pada 2020, Sritex sempat mencatatkan laba sebesar 85,33 juta dolar AS.
Seiring meningkatnya kerugian, aset perusahaan terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada 2021, aset Sritex masih tercatat di atas 1 miliar dolar AS, tepatnya 1,23 miliar dolar AS. Namun, jumlah ini menurun drastis menjadi 764,55 juta dolar AS pada 2022, lalu turun lagi menjadi 648 juta dolar AS pada 2023, dan menyusut menjadi 617 juta dolar AS per Juni 2024.
Dengan status pailit, Sritex Group dan anak usahanya kini harus menjual seluruh aset yang tersisa untuk melunasi kewajiban kepada para kreditur. Beberapa entitas yang dinyatakan pailit, di antaranya PT Sritex Sukoharjo, PT Primayudha Mandirijaya Boyolali, PT Sinar Pantja Djaja Semarang, dan PT Bitratex Industries Semarang.
Berdasarkan Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pekerja yang masih bekerja pada perusahaan pailit dapat memutuskan hubungan kerja, dan sebaliknya, kurator juga berwenang melakukan pemberhentian dengan memperhatikan jangka waktu yang ditetapkan.
PHK massal ini tentu membawa dampak besar bagi ribuan pekerja yang kehilangan mata pencaharian. Nasib mereka kini bergantung pada penyelesaian aset dan hak-hak pekerja yang masih harus diperjuangkan di tengah proses kepailitan.