
JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang meragukan keberadaan kasus pemerkosaan massal dalam Tragedi Mei 1998 menuai gelombang kritik dari berbagai pihak, mulai dari lembaga negara hingga organisasi masyarakat sipil.
Dalam sebuah pernyataan yang disampaikan pada 17 Juni 2025, Fadli menyatakan bahwa istilah “pemerkosaan massal” perlu dikaji lebih dalam karena menurutnya belum ada bukti hukum yang kuat. Ia menyebut data yang ada hanya berupa angka tanpa keterangan detail terkait nama korban, waktu, lokasi, maupun pelaku.
“Coba bayangkan kalau bangsa kita dicap sebagai bangsa pemerkosa massal,” ujar Fadli, sembari menegaskan bahwa ia tidak menafikan pernah terjadi kekerasan seksual, tetapi istilah “massal” menurutnya berisiko menimbulkan stigma berlebihan.
Pernyataan tersebut langsung ditanggapi keras oleh Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah. Ia menyatakan bahwa hasil penyelidikan lembaganya menegaskan telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam kerusuhan 13–15 Mei 1998. Bentuk pelanggaran itu termasuk pembunuhan, penyiksaan, perampasan kemerdekaan, dan kekerasan seksual terhadap perempuan dari etnis Tionghoa.
“Kami sudah menyampaikan temuan itu dalam laporan resmi. Bahkan Presiden Joko Widodo sendiri telah mengakui pelanggaran HAM berat tersebut pada Januari 2023 lalu,” tegas Anis, merujuk pada pengakuan resmi pemerintah terhadap 12 pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Tragedi Mei 1998.
Lebih lanjut, Anis menyebut bahwa sejak 11 Desember 2023, pemerintah pusat bersama Pemprov DKI Jakarta telah memberikan layanan pemulihan kepada para korban dan keluarga.
Amnesty International Indonesia juga mengecam pernyataan Fadli. Direktur Eksekutifnya, Usman Hamid, menilai pernyataan sang menteri berpotensi sebagai upaya pengaburan sejarah dan penghilangan jejak keterlibatan pihak tertentu.
“Laporan TGPF menyebut nama dua tokoh penting yang kini berada di lingkar kekuasaan. Ini patut dicermati,” ujar Usman, merujuk pada Prabowo Subianto dan Sjafrie Sjamsoeddin yang pernah disebut dalam rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998.
Sementara itu, Komnas Perempuan mencatat sebanyak 168 perempuan menjadi korban kekerasan seksual selama kerusuhan, dengan mayoritas berada di Jakarta dan sekitarnya. Anggota Komnas Perempuan, Dahlia Madani, menyebut hanya 52 kasus yang benar-benar dilaporkan karena banyak korban mengalami trauma berat.
“Tim TGPF menggali keterangan dari berbagai pihak, mulai dari korban, dokter, psikolog, hingga pendamping. Fakta-fakta itu cukup kuat untuk menunjukkan bahwa kekerasan seksual benar-benar terjadi,” ujarnya saat diwawancarai media pada 17 Juni 2025.
Dalam sejumlah laporan investigatif yang telah terbit sejak 1998 hingga kini, kisah pilu para penyintas kekerasan seksual terus diungkap. Salah satunya adalah cerita tentang Mona (nama samaran), seorang gadis Tionghoa yang diperkosa lima pria di rumahnya sendiri. Ia kemudian menyelamatkan diri dan dibantu seorang relawan, Fani Gunadi, hingga akhirnya pindah ke Australia.
Ada juga kisah Mei Ling, korban pemerkosaan di daerah Sunter, Jakarta Utara, yang sejak 2001 dirawat di rumah perawatan karena mengalami trauma berat. Bahkan dalam wawancara dengan wartawan tahun 2023, ia hanya mampu merespons dengan anggukan dan jawaban singkat.
Korban lain, Dini, menyampaikan kisahnya dari Amerika Serikat. Ia menceritakan bagaimana dirinya diculik dan diperkosa oleh tiga pria berambut cepak dalam sebuah taksi saat hendak pulang dari kantor pada pertengahan Mei 1998.
Gelombang kritik terhadap Fadli juga datang dari Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas yang terdiri dari KontraS, LBH Apik, dan berbagai organisasi lain. Mereka menilai Fadli gagal memahami kompleksitas kekerasan seksual dan tidak menunjukkan empati terhadap para korban.
Pernyataan Fadli yang menganggap laporan TGPF kurang valid karena tak menyebut nama-nama secara detail dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap penderitaan korban dan keluarganya.
“Sejarah tidak bisa hanya diukur dari data pengadilan semata. Banyak korban yang memilih diam karena trauma yang mendalam,” demikian salah satu pernyataan dari Koalisi.
Tragedi Mei 1998 hingga kini masih menyisakan luka dan pertanyaan tentang keadilan yang belum tuntas. Ketika negara justru meragukan penderitaan korban, luka itu kian dalam. [*]
Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.