Beranda Umum Nasional Kontroversi Tambang di Raja Ampat, Menteri ESDM dan Menteri KLH Beda Pandangan

Kontroversi Tambang di Raja Ampat, Menteri ESDM dan Menteri KLH Beda Pandangan

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia (kanan) meninjau tambang PT Gag Nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya, 7 Juni 2025 |  esdm.goid via tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Sejauh ini, masih terdapat perbedaan pandangan antara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) terkait dengan penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Perbedaan ini mencuat setelah Menteri ESDM Bahlil Lahadalia meninjau tambang nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, dan menyatakan bahwa tidak ditemukan persoalan berarti di lapangan. Namun, pandangan berbeda disampaikan Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, yang menilai perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap persetujuan lingkungan perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah tersebut.

Menurut Menteri Faisol dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (8/6/2025), meskipun PT GAG Nikel secara teknis telah memenuhi kaidah pertambangan, terdapat dua aspek penting yang harus dipertimbangkan ulang. Pertama, lokasi kegiatan berada di pulau kecil, yang secara hukum tunduk pada larangan eksploitasi sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kedua, kawasan tersebut merupakan bagian dari ekosistem sensitif Raja Ampat, yang secara ekologis harus dilindungi secara ketat.

KLH juga menyoroti sejumlah perusahaan lain yang dinilai bermasalah. PT Anugerah Surya Pratama (ASP) yang beroperasi di Pulau Manuran, misalnya, ditengarai menyebabkan kerusakan lingkungan akibat jebolnya kolam settling pond yang mengakibatkan sedimentasi di laut. Sementara itu, PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) tercatat melakukan kegiatan di lahan yang melebihi izin penggunaan kawasan hutan yang diberikan. Adapun PT Mulia Raymond Papua (MRP) bahkan disebut melakukan eksplorasi tanpa dokumen persetujuan lingkungan dan hanya bermodal IUP. Kegiatan mereka langsung dihentikan KLH karena belum memiliki dampak signifikan namun dinilai melanggar prosedur.

Di sisi lain, Kementerian ESDM melalui Dirjen Minerba Tri Winarno menegaskan bahwa secara keseluruhan, kegiatan tambang PT GAG Nikel telah mengikuti prosedur dan tidak menimbulkan dampak lingkungan serius. Ia juga menyebut reklamasi yang dilakukan cukup baik dan akan menunggu hasil akhir evaluasi dari tim Inspektur Tambang untuk menentukan langkah selanjutnya.

Baca Juga :  Ditanya Soal Logo Baru PSI, Giring Mengelak, Lemparkan ke Kaesang

Tak hanya itu, ESDM juga merilis testimoni warga lokal yang menyatakan adanya dampak positif dari kehadiran perusahaan tambang. Para nelayan menyebut air laut tetap jernih dan hasil tangkapan tidak berkurang. Bahkan, mereka mengaku mendapat dukungan berupa pembelian hasil tangkapan, bantuan alat pancing, dan BBM dari pihak perusahaan.

Namun, pandangan optimistis itu dibantah oleh berbagai elemen masyarakat sipil. Isu penambangan nikel di Raja Ampat kembali menjadi sorotan tajam ketika sekelompok aktivis lingkungan menggelar aksi bertema Save Raja Ampat saat konferensi Critical Minerals Conference & Expo di Jakarta, Selasa (3/6/2025). Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik, menilai aktivitas tambang di Raja Ampat sebagai bentuk ancaman langsung terhadap keanekaragaman hayati laut dan daratan Papua, serta potensi ekonomi berbasis ekowisata yang telah berjalan selama ini.

Raja Ampat dikenal sebagai kawasan dengan kekayaan hayati laut tertinggi di dunia: menyimpan 75 persen spesies terumbu karang dunia, 1.400 jenis ikan karang, dan 700 jenis moluska. Kawasan ini juga menjadi habitat manta ray raksasa di Selat Dampier dan burung cenderawasih botak (Cicinnurus respublica), satwa endemik yang menjadi magnet utama para pengamat burung internasional.

Menurut Kiki, kerusakan ekosistem akibat tambang akan merusak ekowisata yang telah memberi manfaat nyata bagi warga lokal. Di Distrik Waisai misalnya, penduduk menggantungkan pendapatan dari homestay dan jasa wisata, khususnya dari wisatawan asing pencinta burung. Data tahun 2020 menunjukkan bahwa ekowisata menyumbang sekitar 15 persen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Raja Ampat, mencapai angka Rp 7 miliar per tahun.

Namun semua itu kini terancam. Aktivitas penambangan di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran dinilai berisiko tinggi merusak daya dukung lingkungan kawasan tersebut. Padahal, UU No. 1 Tahun 2014 secara tegas melarang penambangan di pulau-pulau kecil. Apalagi, wilayah yang dimaksud merupakan kawasan konservasi prioritas nasional dan internasional.

Baca Juga :  MPLS Sekolah Rakyat Belum Bisa Serentak di 100 Titik, Ini Sebabnya

Menanggapi hal tersebut, Direktur Pengembangan Usaha PT Antam, I Dewa Wirantaya menyatakan bahwa anak perusahaan mereka, PT GAG Nikel, berkomitmen pada praktik pertambangan yang baik (good mining practice). Ia mengklaim bahwa seluruh prosedur reklamasi, pengelolaan air limpasan, dan teknis operasional telah dilakukan sesuai peraturan yang berlaku.

“Sebagai BUMN, kami bukan hanya entitas bisnis tapi juga agen pembangunan yang bertugas memberikan nilai tambah bagi masyarakat,” ujar Wirantaya.

Hasil evaluasi terakhir menyebutkan terdapat lima perusahaan tambang yang aktif di Raja Ampat: PT GAG Nikel, PT ASP, PT KSM, PT MRP, dan PT Nurham. Dari kelima perusahaan itu, hanya PT GAG Nikel yang saat ini aktif memproduksi dan memegang status Kontrak Karya. Wilayah izin usaha PT GAG Nikel tercatat seluas 13.136 hektare, dan merupakan satu dari 13 perusahaan yang masih diizinkan beroperasi di kawasan hutan berdasarkan Keppres No. 41/2004.

Namun perbedaan pandangan antara dua kementerian ini menimbulkan tanda tanya publik: apakah perlindungan lingkungan benar-benar menjadi prioritas di tengah agenda hilirisasi yang kini menjadi kebijakan andalan pemerintah pusat?

www.tempo.co

 

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.