JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Terbitnya Buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) versi Kementerian Kebudayaan memantik kegelisahan di kalangan guru sejarah. Mereka menilai kehadiran buku sejarah resmi negara berpotensi menyempitkan ruang diskusi kritis di kelas serta mendorong penyeragaman tafsir atas masa lalu bangsa.
Guru Sejarah SMAN 11 Bekasi, Prakoso Tio, menyebut penulisan buku sejarah nasional yang diinisiasi pemerintah kali ini memiliki skala besar dan ambisi tinggi. Bahkan, menurutnya, langkah tersebut nyaris tak pernah terjadi sejak era Orde Baru.
“Secara historis, ini baru kedua kalinya negara menulis sejarah nasional secara resmi dan mendistribusikannya ke sekolah,” kata Prakoso dalam diskusi Bedah CP Mapel Sejarah dan Relevansinya dengan Buku Sejarah Indonesia yang Baru, Jumat (19/12/2025).
Ia membandingkan buku tersebut dengan Indonesia dalam Arus Sejarah (IDAS) yang terbit pada awal 2000-an. Berbeda dengan IDAS, buku sejarah nasional versi terbaru ini dibiayai langsung oleh negara dan dirancang sebagai rujukan utama pembelajaran sejarah di sekolah.
Konsekuensinya, kata Prakoso, sangat serius. Label “sejarah resmi” berpotensi membuat narasi di luar buku tersebut dipandang tidak penting, bahkan dianggap keliru.
“Ketika sebuah narasi dilabeli sejarah resmi, cerita-cerita di luar buku itu bisa dianggap tidak penting atau tidak benar,” ujarnya.
Kondisi ini, menurut dia, berisiko menyingkirkan sejarah lokal dan pengalaman masyarakat di daerah. Prakoso mencontohkan peristiwa pemberontakan petani Bekasi pada 1870 yang selama ini ia ajarkan kepada siswa, namun tidak tercantum dalam buku sejarah nasional.
“Kalau tidak masuk buku resmi, lama-lama sejarah lokal dianggap tidak ada,” kata dia.
Selain itu, Prakoso juga menyoroti tujuan penulisan buku sejarah nasional yang disebut ingin membangun narasi Indonesia-sentris dan menghapus bias kolonial. Ia menilai tujuan tersebut sah secara akademik, namun rawan ditarik ke kepentingan politik identitas.
“Dalam sejarah nasional selalu ada cerita yang dihilangkan dan ada yang dimunculkan. Itu bukan soal akademik semata, tapi soal kekuasaan,” ujarnya.
Ia mengutip pandangan sejarawan Asvi Warman Adam yang menyebut penulisan sejarah nasional kerap menjadi arena tarik-menarik antara kepentingan ilmiah dan kepentingan politik. Prakoso juga merujuk buku Erasing History karya Jason Stanley, yang mengulas kecenderungan negara mengatur narasi masa lalu demi legitimasi kekuasaan.
“Negara yang tidak percaya diri biasanya mulai mengurus sejarahnya,” kata Prakoso.
Di tingkat sekolah, situasi ini menempatkan guru sejarah pada posisi yang serba sulit. Di satu sisi, mereka berisiko hanya menjadi penyampai narasi negara. Di sisi lain, mereka memiliki tanggung jawab profesional untuk membangun daya kritis peserta didik.
“Kalau guru hanya mengulang satu versi, itu bukan pendidikan sejarah, tapi indoktrinasi,” ujarnya.
Meski demikian, Prakoso menegaskan guru sejarah sebenarnya memiliki pijakan kuat untuk tetap bersikap kritis. Hal itu tertuang dalam Capaian Pembelajaran (CP) pada Keputusan Kepala BSKAP Nomor 46 Tahun 2025, yang menekankan pembelajaran mendalam, keterampilan berpikir historis, literasi sumber, serta penelitian berbasis inkuiri.
“CP memberi ruang otonomi pedagogis bagi guru,” katanya.
Ia menilai, jika buku sejarah nasional benar-benar masuk ke sekolah, seharusnya diposisikan sebagai salah satu sumber pembelajaran, bukan sebagai kebenaran tunggal. Buku tersebut justru dapat dijadikan bahan diskusi kritis bersama siswa.
“Buku itu justru bisa dibedah bersama siswa: apa yang ditulis, apa yang tidak ditulis, dan kenapa,” ujarnya.
Prakoso juga menekankan pentingnya tetap mengajarkan peristiwa-peristiwa sensitif seperti 1965 dan 1998. Menurutnya, sejarah tidak hanya berisi kisah heroik, tetapi juga tragedi yang membentuk perjalanan bangsa.
“Tujuannya bukan menanamkan kebencian, tapi melatih nalar kritis dan empati,” katanya.
Ia menegaskan, meski negara selalu memiliki kepentingan atas masa lalu, guru sejarah tidak boleh direduksi menjadi sekadar penyampai pesan kekuasaan.
“Kalau sejarah diajarkan hanya satu versi, murid tidak sedang belajar sejarah, mereka sedang diajari untuk patuh,” ujarnya. [*] Disarikan dari sumber berita media daring
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.















