SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Sidang lanjutan perkara korupsi Kasda yang dijeratkan untuk terdakwa mantan Bupati Sragen, Agus Fatchur Rahman memasuki babak baru.
Sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Tipikor Semarang itu sudah memasuki tahapan pembacaan nota pembelaan alias pledoi dan replik dari jaksa penuntut.
Data yang dihimpun JOGLOSEMARNEWS.COM , sidang pembacaan pledoi atau pembelaan berlangsung pekan lalu. Dipimpin ketua majelis hakim, Sulistyono, sidang pembacaan pledoi berlangsung dalam suasana hening.
Mantan Bupati yang menjabat di periode 2011-2016 dan sebelumnya menjabat Wabup 2001-2011 itu sempat membacakan sendiri pledoinya yang ditulis sendiri sebanyak 14 lembar.
Agus yang didakwa ikut menerima kasbon Rp 367 juta dan diklaim dari aliran Kasda, kemudian membacakan bergantian dengan kuasa hukumnya dari JAS and partners Jogjakarta.
“Iya pledoi memang sudah dibacakan di sidang kemarin. Yang membacakan Pak Agus sendiri bersama kuasa hukumnya. Intinya beliau membantah dan meminta dibebaskan dari segala dakwaan,” papar Jaksa Penuntut yang juga Kasi Pidsus Kejari Sragen, Agung Riyadi, kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Kamis (7/11/2019).
Dari berkas pembelaan yang diterima JOGLOSEMARNEWS.COM dari kuasa hukum, nota pembelaan sebanyak 14 lembar itu berjudul “Dari Balik Penjara Membaca Realita”.
Dalam 14 lembar itu, Agus membeber sisi perjalanan perjuangan hidup dan kariernya hingga misteri bukti kasbon dari salah satu terpidana Kasda, mantan Sekda Kushardjono, yang konon tak pernah bisa ditunjukkan aslinya.
Dari pembelaan, juga dituliskan bagaimana skenario jebakan dan misteri soal tandatangan palsu kuitansi ratusan juta rupiah terkair aliran korupsi Kasda yang dilakukan oleh terpidana berdasarkan kesaksian mantan sopirnya. (Wardoyo)
Berikut nota pembelaan mantan Bupati Agus secara lengkap yang mengharukan itu!
DARI BALIK JENDELA PENJARA MEMBACA REALITA”
(NOTA PEMBELAAN PRIBADI AGUS FATCHUR RAHMAN)
Majelis Hakim yang mulia,
Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,
Tim Penasehat Hukum,
Dan hadhirin yang saya hormati.
Assalamu ’alaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera dan salam bahagia untuk kita semua,
Pada alenia pertama pledooi pribadi ini, saya panjatkan puji syukur ke hadhirat Allah SWT, yang telah memberikan kesempatan dan kesehatan untuk menikmati etape yang sangat penting dalam 57 tahun kehidupan saya dan diberi waktu melihat kenyataan hidup dari balik jendela kamar saya di penjara.
Peristiwa yang nyaris meruntuhkan kehormatan dan kepercayaan saya terhadap berbagai hal yang telah saya alami sejak masa kecil sampai hari ini di penjara.
Nota pembelaan ini adalah apologia pro libro suo, permohonan maaf sekaligus ucapan terima kasih kepada Majelis Hakim yang mulia, yang terhormat tim Jaksa Penuntut Umum, teman hidupku Wahyuning Harjanti, Dimas, Romi, adik-adik, keluarga, sahabat dan handai taulan media, atas semua simpati dan empati sejak proses penyelidikan, penyidikan sampai persidangan di PN Tipikor ini, maupun ketika saya menjalani hidup di penjara selama empat bulan terakhir.
Sebelum Majelis Hakim yang mulia menjatuhkan vonis, izinkan saya untuk menyampaikan gambaran singkat sebagai pelengkap agar Majelis Hakim yang mulia dan tim jaksa dapat mengenal Agus Fatchur Rahman sebagai orang biasa bukan hanya sebagai tersangka dan terdakwa.
Saya berasal dari keluarga sederhana, anak pertama dari lima bersaudara dengan pekerjaan Bapak Ibu sebagai Pegawai Negeri Sipil. Lahir di Sragen sekolah sejak SD, SMP dan SMA di Sragen, kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta lulus tahun 1986, terus melanjutkan di program Notariat UNDIP Semarang tidak selesai dan pulang ke Sragen sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di instansi vertikal, sejak saat itu saya tidak pernah meninggalkan Sragen dan mengisi waktu bekerja di kantor dan aktif di organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan dan organisasi politik.
Setelah bekerja sebagai PNS Selama 10 tahun, tahun 1997 menjadi anggota DPRD Kabupaten Sragen dan tahun 1998 dengan terbitnya PP No. 12/1998, Saya mengundurkan diri dari PNS dengan pangkat terakhir golongan III/c dan memilih menjadi Politisi sebagai karier hidup.
Pemilu tahun 1999 terpilih kembali sebagai anggota DPRD periode tahun 1999 – 2004 sebagai ketua Fraksi Partai Golkar di DPRD Kabupaten Sragen. Menjadi anggota DPRD pada era reformasi, tentu jauh berbeda seperti bumi dan langit apabila dibandingkan dengan era sebelumnya.
Meski hanya di Kota kecil, saya merasakan semangat zaman yang bergerak dan berubah, tidak hanya di parlemen, di tengah masyarakat pun gejolak kebebasan dan keberanian amat terasa, karena pengaruh dari euphoria reformasi dan demokrasi yang melanda Indonesia.
Tahun 2000, Saya dicalonkan mayoritas anggota DPRD dan terpilih sebagai Wakil Bupati dan sdr. Untung Wiyono sebagai Bupati Sragen dengan perolehan suara 30 suara dari 45 suara anggota DPRD Kabupaten Sragen. Meskipun terpilih dengan suara mayoritas, proses pelantikannya tertunda 6 bulan karena ijazah Untung Wiyono diragukan keabsyahannya oleh Kementerian Dalam Negeri. Akhirnya ibarat akrobat pada tanggal 4 Mei tahun 2001 pasangan terpilih tersebut dilantik oleh Gubernur Jawa Tengah, dengan menyisakan kontroversi ijazah yang dipergunakan oleh Bupati terpilih dan menjadi bahan pergunjingan Pegawai Negeri Sipil maupun masyarakat serta Politisi di Kabupaten Sragen.
Karunia itu disatu sisi membahagiakan, karena sebagai politisi yang miskin secara finansial saya terpilih sebagai Wakil Bupati yang pertama kali dalam sejarah pemerintahan Kabupaten Sragen, tetapi disisi yang lain ternyata berpasangan dengan Sdr. Untung Wiyono adalah langkah awal yang salah dengan ekses berkepanjangan sampai hari ini dan menjerumuskan saya di balik dinding penjara 20 tahun kemudian.
Majelis Hakim yang Mulia,
Jaksa yang terhormat,
Penasehat Hukum dan Hadhirin yang saya hormati
Menjadi Wakil Bupati di tahun – tahun awal masa reformasi dengan ekspektasi masyarakat yang amat tinggi dan keberanian warga dalam menyampaikan aspirasi kelompok dan kepentingan pribadi sangat kuat seperti air bah di musim hujan, dengan permintaan dan permohonan yang berbeda-beda dengan nominal yang berlainan. Keadaan yang berbeda dengan situasi masa orde baru, ketika pejabat publik/pejabat politik adalah figur yang tidak tersentuh warga masyarakatnya. Padahal sumber daya operasional pejabat publik hanya ditopang oleh APBD, yang proses pembahasannya membutuhkan waktu dan perlu persetujuan Gubernur Jawa Tengah dan DRPD Kabupaten. Mempertemukan antara aspirasi masyarakat, ruwetnya proses APBD dan minimnya kondisi finansial pribadi pejabat politik, hanya bisa dilakukan dengan mencari pinjaman, dengan asumsi dalam anggaran Wakil Bupati terdapat pos dana taktis bantuan kepada pihak ketiga rata-rata sebesar Rp 250 juta per tahun anggaran yang berjalan. Kultur birokrasi untuk menjawab problematika itu adalah mencari pinjaman/bon kepada pengelola keuangan, dengan asumsi pinjaman/bon tersebut akan dilunasi dengan pencairan anggaran Pos Wakil Bupati oleh Bendahara Wakil Bupati.
Pinjaman/bon kepada Kusharjono dilakukan untuk menjaga dan menyelamatkan citra jabatan Wakil Bupati di mata masyarakat Sragen. Saya tidak bisa membayangkan apabila permohonan dari masyarakat harus menunggu proses pembahasan APBD yang sering mundur pengesahannya. Pinjaman/bon tersebut dilakukan semata-mata untuk memberikan respon terhadap dinamika yang berkembang di tengah masyarakat dan DPRD bukan untuk menguntungkan diri sendiri dan memperkaya pribadi Agus Fatchur Rahman. Sejak tahun 2001 di awal menjabat sebagai Wakil Bupati, telah berkali-kali mengajukan pinjaman/bon kepada kusharjono dengan model pinjam dan bayar (ngalap nyaur), sesuatu yang biasa terjadi di birokrasi untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan keuangan dan realisasi program satker serta kegiatan pejabat politik. Pelunasan dan proses administrasinya dilaksanakan oleh Bendahara Wakil Bupati, pada waktu pencairan pos anggaran Wakil Bupati yang terpacak di APBD Tahun anggaran saat itu. Sedangkan tulisan saya untuk kepentingan anggota DPRD hanyalah usulan/input kepada Kusharjono, sekali lagi hanya usulan, yang realisasinya diberikan atau tidak kepada DPRD, saya tidak tahu sama sekali dan tidak pernah konfirmasi.
Sungguh sangat aneh dan mengherankan, jika JPU mendakwa dan menuntut bahwa saya sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang ada. Saya yakin semua hadirin dan semua pihak, termasuk JPU jika bertanya kepada hati nuraninya, akan sependapat bahwa “TIDAK MASUK AKAL JIKA SAYA SENGAJA MELANGGAR KETENTUAN UNTUK MENGUNTUNGKAN DIRI SENDIRI/DENGAN SENGAJA MENGUNTUNGKAN PIHAK LAIN YANG BERAKIBAT MERUGIKAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN, TEMPAT SAYA LAHIR, SEKOLAH, TEMPAT MENITI KARIER SEBAGAI POLITISI, DAN MENYUMBANGKAN KEMAMPUAN YANG SAYA MILIKI, BAHKAN TEMPAT SAYA AKAN DIKUBURKAN SELAMA-LAMANYA.”
Saya memberi harga terlalu murah terhadap reputasi dan harga diri pribadi dan keluarga, kalau saya sengaja melakukan hal tercela itu kepada Sragen dan tanah air yang saya cintai. Saya ingat prasasti dengan tulisan besar yang saya buat di halaman Kantor Pemkab Sragen dengan kalima “Sragen milik kita, berikan yang terbaik kepadanya” kalimat yang 15 tahun lamanya saya baca hampir setiap hari dan menjadi kredo hidup saya.
Majelis Hakim yang mulia,
Jaksa yang terhormat
Penasehat Hukum dan Hadhirin yang saya hormati,
Setelah mendengarkan dan membaca tuntutan JPU pada hari Senin tanggal 21 Oktober 2019 kemarin, dalam perjalanan pulang dan di dalam kamar penjara, Saya diam, merenung dan bertanya kepada diri sendiri, mengingat kembali perjalanan karier saya sejak menjadi anggota DPRD tahun 1997, Wakil Bupati tahun 2001 – 2006 dan tahun 2006 – 2011, serta Bupati Sragen tahun 2011 – 2016, juga mengingat kembali kepingan mozaik dari peristiwa-peristiwa yang Saya alami selama ini. Meniti karier dari bawah mencapai titik tertinggi di Sragen dan terjerembab di titik nadzir. Halaman-halaman tuntutan itu sebagian besar isinya proses pinjaman di BPR Joko Tingkir dan seolah-olah saya mengetahui peristiwa tersebut sejak dari konsep sampai dengan realisasi yang diperankan oleh oknum pejabat Pemerintah Kabupaten Sragen (Untung Wiyono, Kusharjono, Sri Wahyuni dan Adi Dwijantoro). Persepsi yang dibangun adalah saya mengetahui proses pinjaman di BPR Joko Tingkir dan sengaja menikmati hasil pinjaman dengan menuliskan kas bon kepada Kusharjono selaku Kepala DPPKAD dan Sekda Kabupaten Sragen sejumlah Rp. 376.500.000,- serta memerintahkan pencairan bilyet deposito pada rapat tanggal 1 Juni 2011. Hal itulah yang menyebabkan saya berada disini sekarang. Dalam pleidooi pribadi saya akan menanggapi sebagai berikut :
Fotocopi kasbon yang ditunjukkan oleh JPU memang mirip dengan tulisan dan tanda tangan saya, persoalan menjadi rumit ketika kasbon otentik tidak ada lagi, sesuai keterangan Kusharjono disita oleh Kejati Jateng tanpa bukti tanda terima dan berita acara penyitaan. Padahal keberadaan kasbon asli tersebut menjadi bukti dan parameter pinjaman Saya kepada Kusharjono sudah lunas atau belum. Kalau kasbon asli masih dipegang Kusharjono artinya belum dibayar Bendahara, sebaliknya bila kasbon asli sudah tidak ada logikanya sudah lunas terbayar oleh Bendahara Wakil Bupati. Sesuai dengan keterangan Saksi Fauzan selaku Bendahara Wakil Bupati yang menyatakan sesuai SOP Bendahara Kasbon asli bila telah terbayarkan maka akan di sobek dan di buang. Modus ini menjadi tradisi yang biasa dalam transaksi pinjaman yang paling sederhana. Sepanjang tahun 2003 – 2010 sebagai Sekda, Kusharjono tidak pernah menagih pinjaman/mengingatkan seandainya pinjaman saya belum dibayar oleh Bendahara Wakil Bupati. Seolah-olah menyiapkan bom waktu dan jebakan yang akan dipergunakan di waktu yang lain. Sedangakan mengenai uang Setoran pengembalian sebesar Rp 365.000.000,- sedari awal telah Saya sadari akan menjadi polemik di kemudian hari. Apakah dinilai sebagai iktikad baik ataukah menjadi pengakuan suatu kesalahan. Berangkat dari saran dan masukan termasuk Wakil Jaksa Agung, akhirnya Saya melaksanakan dengan harapan hal itu merupakan iktikad baik sepenuhnya untuk menyelesaikan masalah. Akan tetapi hari ini firasat itu benar adanya, bahwa Jaksa menganggap uang setoran itu adalah bentuk pengakuan kesalahan yang telah Saya perbuat. Sungguh jauh panggang daripada Api.
Sebelum terjadinya kredit bermasalah di BPR Joko Tingkir tersebut, sejak tahun 2001, saya sudah sering pinjam/kasbon kepada Kusharjono sebagai Kepala DPPKAD dengan cara ngalap nyaur, dengan garansi bahwa di tahun berjalan pos Wakil Bupati terpacak di APBD Kabupaten Sragen, cukup untuk melunasi pinjaman. Pertanyaannya dari mana Kusharjono bisa memberi uang pinjaman pada tahun 2001, 2002 dan 2003 sebelum terjadi pinjaman di BPR Joko Tingkir? Kebiasaan terus berjalan sampai dengan tanda terima saya tertanggal 31 Oktober 2005 Rp.200 juta, dan 5 lembar kasbon fotocopy yang lain dipakai sebagai alat bukti. Saya sebagai Wakil Bupati sama sekali tidak mengetahui terjadinya kredit dengan jaminan deposito kas daerah yang akhirnya menyeret saya di persidangan di PN Tipikor sekarang. Majelis Hakim yang mulia, dalam kesempatan ini. Sekali lagi saya sampaikan bahwa pada saat pinjaman/kasbon/usulan kepada Kusharjono, saya tidak tahu sumbernya dari Pinjaman di BPR Joko Tingkir. Hal ini terjadi, karena pinjaman ilegal tersebut adalah aktivitas yang sangat rahasia diantara Untung Wiyono, Kusharjono dan Sri Wahyuni. Rahasia yang tertutup rapat dari siapapun, termasuk dari pemeriksaan BPK dan BPKP. Meskipun saya adalah Wakil Bupati dan berpasangan dengan Untung Wiyono dalam 2 periode, tetapi secara politis, saya adalah rival politik yang dianggap membahayakan oleh Untung Wiyono, apabila mengetahui terjadinya pinjaman ilegal tersebut.
Terhadap kasbon/tulisan saya ke Kusharjono yang berkaitan dengan DPRD, adalah sekedar usulan kepada yang bersangkutan, selanjutnya apakah uang itu diberikan ke anggota DPRD atau tidak tersampaikan, saya tidak mengetahuinya. Terbukti di fakta persidangan, saksi mantan anggota DPRD, tidak pernah menerima uang dari Wakil Bupati. Selanjutnya terhadap tanda terima dari Kusharjono Rp. 200 juta tertanggal 31 Oktober 2005, adalah pinjaman yang akan dikembalikan dengan pos Wakil Bupati di tahun anggaran 2006. Hal ini dilakukan untuk memberi bantuan sosial kemasyarakatan menjelang Pilkada langsung bulan Maret 2006, yang akan saya ikuti ketika berpasangan dengan Sdr. Untung Wiyono.
Majelis Hakim yang Mulia, poin 1, 2 dan 3 tersebut akan terbukti secara faktual, bila ada tulisan otentik/aslinya.
Apabila dicermati fotocopi tulisan/tanda tangan yang ditunjukkan oleh JPU dan Kusharjono dapat dipilahkan sebagai berikut :
Saya menuliskan idiom “BON” hanya pada tulisan tertanggal 22 Desember 2003 sebesar Rp. 60.000.000,- dan tulisan tertanggal 16 Maret 2004 sebesar Rp. 50.000.000,-.
Tiga tulisan tertanggal 31 Oktober 2003, 23 Juli 2005 dan 16 September 2005 adalah usulan untuk disampaikan kepada anggota DPRD sejumlah Rp. 66.500.000,- selanjutnya terhadap realisasinya menjadi tanggungjawab Kusharjono dan terbukti di persidangan tidak ada saksi mantan anggota DPRD yang menerima uang dari saya.
Sedangkan tulisan tertanggal 31 Oktober 2005 adalah tanda terima dari uang yang diberikan Kusharjono kepada saya.
Dengan data tersebut di atas, Kusharjono dan JPU tampak menyederhanakan masalah, dengan menyamaratakan tulisan-tulisan yang berbeda maksud dan tujuannya menjadi pengertian yang berkonotasi sama dan dipaksakan untuk menjadi alat bukti di persidangan, meskipun hanya berupa fotocopi. Majelis hakim yang mulia, Saya ingin mengutip pendapat Dr. M. Arif Setiawan, S.H., M.H. bahwa fotocopi tidak dipergunakan untuk pembuktian dan tidak lazim dipakai sebagai barang bukti. Sejak proses penyelidikan, penyidikan dan persidangan saya merasakan keheranan ketika berkali-kali fotocopi tulisan/tanda tangan itu ditunjukkan kepada para saksi. Dalam hati saya bertanya dimanakah keberadaan bukti otentiknya? apakah cukup dijawab dengan keterangan Kusharjono, dengan mengatakan bukti disita Kejati Jawa Tengah tanpa ada Surat Penyitaan dan berita acaranya?
Kejanggalan tersebut telah membuat saya berfikir dan bertanya, siapa sebetulnya sponsor utama “KASUS” ini? dan apa motifnya? Politik atau uang atau hanya dendam pribadi karena saya dianggap menjadi batu sandungan oknum tertentu untuk melanggengkan kekuasaan di Sragen? sejak awal kasus yang dilaporkan di Kejari Sragen oleh LSM Pusaka Nusantara pada pertengahan tahun 2018 dan terburu-burunya Kejari menetapkan sebagai tersangka, hanya 120 hari sebelum pelaksanaan pemilu bulan April 2019, yang saya ikut berkompetisi dalam event tersebut, Saya mencium aroma politik yang amat kental untuk menjegal Agus Fatchur Rahman karena dinilai sebagai kompetitor potensial. Saya yakin masyarakat Sragen faham dengan siapa saya berhadapan, mendengar saya sudah berbulan bulan di penjara dan disidangkan. Saya membayangkan senyum dan tawanya para sponsor utama itu yang terpuaskan birahi kekuasaannya, sekaligus saya mengerti betapa dilematisnya para pejabat Kejaksaan yang baru, hanya melanjutkan proses setengah jalan dari pejabat sebelumnya dengan tujuan untuk menjebloskan saya di penjara. Saya ingat ketika saya masuk melewati pintu penjara tanggal 14 Juni 2019, siang itu tiba-tiba hujan deras, semoga menjadi tanda bahwa alam ikut bersedih dengan nasib saya yang didzolimi para pengabdi uang dan kekuasaan.
Point rapat 1 Juni 2011 dalam tuntutan JPU adalah sebuah rapat eksotis yang dipakai untuk menyeret saya sebagai aktor kunci pencairan jaminan di BPR Joko Tingkir, perspektif ini bukan yang pertama kali, karena di dalam peradilan terhadap Untung Wiyono beberapa tahun yang lalu di Pengadilan Negeri Tipikor Semarang sudah diungkapkan untuk mengalihkan tanggungjawab Untung Wiyono, dan didalam putusan kasasi MA terhadap yang bersangkutan, jelas terbaca bahwa Agus Fatchur Rahman tidak berperan apapun dalam proses pencairan terhadap jaminan dari kredit macet yang dilakukan Untung Wiyono dan Kusharjono maupun Adi Dwijantoro, sebagaimana disebutkan di Putusan Kasasi an. Untung Wiyono halaman 89 alenia 3 & 4 = bahwa pendapat Majelis Hakim membebaskan terdakwa Untung Wiyono, dapat mengalihkan pertanggungjawaban pidana terdakwa dan pertanggungjawaban uang pengganti yang harus dikembalikan oleh terdakwa (Untung Wiyono).
Majelis Hakim yang mulia, rapat 1 Juni 2011 adalah rapat biasa dari stakeholder pemerintahan Kabupaten Sragen untuk membuka dan mengkaji problem daerah, yang selama bertahun tahun menjadi misteri dan menjadi beban pemerintah Kabupaten Sragen.
Rapat tersebut dilaksanakan setelah 1 bulan Saya dilantik menjadi Bupati. Kesepakatan rapat adalah menyelamatkan BPR Joko Tingkir sebagai asset Pemerintah Kabupaten Sragen dari Bank beku operasi sesuai saran dari Bank Indonesia Cabang Surakarta.
Di dalam rapat tersebut, saya tidak memerintahkan pencairan jaminan kredit, tetapi memerintahkan penandatanganan bilyet deposito dengan catatan langkah selanjutnya menunggu hasil konsultasi ke Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, BPK, Gubernur Jateng dan Bank Indonesia cabang Surakarta.
Berkaitan dengan surat dinas dari Kepala DPPKAD (Sri Wahyuni) isinya bertentangan dengan materi rapat, dari perintah tanda tangan dengan tindak lanjut menunggu hasil konsultasi menjadi perintah tanda tangan untuk mencairkan jaminan.
Narasi saya secara intuitif memberi disposisi dengan kata-kata sebagai berikut : “UNTUK LAKSANAKAN KEPUTUSAN RAPAT”. Saya menyakini materi surat tersebut sengaja dibuat untuk mengalihkan dan merubah substansi rapat. Ketidaklaziman dalam kultur birokrasi pemerintahan sebuah notulen rapat dibuat laporan kepada Bupati dengan nota dinas.
Majelis Hakim yang mulia,
Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,
Hadhirin yang Saya hormati,
Ijinkan saya memberikan gambaran sekilas tentang saksi yang dihadirkan oleh JPU, untuk memperkaya wacana kita semua, saksi Untung Wiyono Bupati Sragen periode 2001 – 2006 dan 2006 – 2011, adalah pengguna ijazah palsu sebagaimana keputusan PN Semarang dengan hukuman percobaan 1 tahun. Pergunjingan selama bertahun tahun tentang ijazah itu akhirnya terjawab dengan jelas, tegas dan berkekuatan hukum tetap.
Sedangkan terhadap Kusharjono mantan Sekda, di depan persidangan ini, sopirnya yang bernama Sugeng Prawoto menceritakan tentang tulisan dan tanda tangan yang bersangkutan yang dipalsukan oleh Kusharjono, dengan nominal ratusan juta rupiah.
Saya membayangkan betapa dahsyatnya perilaku kedua oknum yang berwatak “PEMALSU” ini, ketika memegang policy kekuasaan dan keuangan. Naudzu billahi min dzalik !
Saya memohon kepada Majelis Hakim yang Mulia, untuk dapat mempertimbangkan uraian tersebut di atas dan bertanya, siapa yang telah merugikan keuangan Negara? siapa yang lebih potensial untuk melakukan penyalahgunaan wewenang? dan yang paling penting dimana letak niat jahat atau mens rea saya ?
Saya dalam 10 tahun di Pemerintah Kabupaten Sragen, berada di lingkungan yang buruk dan busuk dengan karakter tokoh utamanya yang menghalalkan segala cara. Saya ingat kata Budha “di negeri buta, orang yang bermata satu adalah dosa tak berampun.” Saya adalah orang yang bermata satu dan sakit trachoma dan saya adalah pendosa menurut para penjahat dan harus mendekam di bui.
Majelis Hakim yang mulia,
Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,
Tanpa bermaksud takabur, izinkanlah saya menyampaikan beberapa keberhasilan saya sebagai Bupati Sragen periode tahun 2011 – 2016, waktu yang amat singkat untuk merubah keadaan sebagai berikut :
Membangun rumah orang miskin dengan program RTLH sebanyak 10.000 unit rumah layak huni.
Menerima penghargaan 200 buah dalam event nasional dan internasional.
Salah satu warga yang ditulis aktivitasnya dalam buku “70 Narasi Kebajikan Anak Bangsa” yang diterbitkan DPP Partai Nasdem dan Fraksi Partai Nasdem DPR RI.
Mempersiapkan penataan asset, sehingga Pemerintah Kabupaten Sragen pertama kalinya mendapat predikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari BPK RI pada tahun 2016.
Membuat Kantor Penanggulangan Kemiskinan dan menjadi Kantor Pelayanan Publik terbaik di Indonesia serta menjadi Pemenang kedua se-benua Asia Pasific dalam kompetisi United Nation Public Service Award di Medellin Columbia tahun 2015.
Di awal jabatan defisit keuangan daerah minus Rp 72 milyar, di akhir jabatan sebagai Bupati tahun 2016 surplus Rp. 7 milyar.
Memberi gaji bulanan Rp. 250.000,- untuk 6.000 RT dan RW se Kabupaten Sragen.
Beasiswa kepada ratusan mahasiswa dari keluarga miskin Sragen di Perguruan Tinggi Negeri di Seluruh Indonesia.
Keberhasilan tersebut tentu bukan hasil kerja individual yang saya lakukan tetapi karena sinergi yang saya kembangkan dengan stakeholder dan masyarakat Kabupaten Sragen. Dengan segala kerendahan hati, yang mulia Majelis Hakim berkenan untuk menjadikan prestasi yang saya capai tersebut di atas, dijadikan pertimbangan yang mulia dalam mengeluarkan keputusan untuk kasus ini.
Majelis Hakim yang mulia,
Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,
Sahabat yang hadir dan keluarga yang membuat saya ikhlas di penjara,
Sebelum menutup pleidooi ini, saya ingin mengutip quote Franklin Delano Roosevelt =
“In politics, nothing happens by accident. If it happens, you can bet it was planned” (Dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan, jika itu terjadi, anda bisa bertaruh bahwa itu direncanakan untuk itu).
Pada bulan-bulan terakhir tahun 2018, sebagai ketua Partai Golkar Kabupaten Sragen di tengah persiapan Pemilu dengan mengkonsolidasikan jaringan dan menggalang simpati masyarakat Kabupaten Sragen, tiba-tiba saya diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 5 Desember 2018.
Penetapan itu memadamkan mimpi saya untuk menjadi politisi di DPR RI, sebagai wakil masyarakat Sragen yang dalam 11 kali pemilu sejak zaman Orla, Orba dan reformasi, tidak pernah terwakili suaranya, meskipun semua aktivitas sudah saya berhentikan, perolehan saya di pemilu mencapai angka 57.000 suara suara yang bagus untuk pencapaian calon anggota legislatif dengan predikat sebagai tersangka.
Selanjutnya saya ditahan di Lapas Sragen sejak tanggal 14 Juni 2019 untuk kasus yang lemah, dipaksakan dan peristiwanya terjadi 16 tahun yang lalu ini.
Sebagai penutup, saya yakin dan percaya di dalam hati yang mulia Majelis Hakim tidak melihat sebersitpun niat jahat saya dalam jabatan sebagai Wakil Bupati dan Bupati selama 15 tahun, sebagaimana terungkap dalam fakta persidangan maupun nota pembelaan yang saya bacakan ini.
Saya yakin pengadilan ini adalah tempat mencari keadilan, bukan tempat suburnya ketidakadilan, penghukuman atau sekedar menjadi alat untuk melegalkan balas dendam dan pesanan politik, yang dibungkus narasi UU anti korupsi.
Maka saya mohon sudilah Majelis Hakim yang mulia menolak pembuktian yang dilakukan oleh JPU, sehingga dakwaan tidak terbukti secara syah dan menyakinkan, serta yang Mulia berkenan membebaskan saya dari semua dakwaan dan tuntutan JPU.
Demikian pembelaan dari saya, untuk perhatian dan kebijaksanaan yang mulia, saya dan keluarga mengucapkan terima kasih dan mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kepada JPU, saya ucapkan terima kasih, karena penahanan di Penjara memperkaya khazanah hidup saya, untuk tim Pengacara, maturnuwun atas advice dan pembelaannya, kepada Dik Ning, Romi, Dimas dan Simbok di rumah Kuwung, adik-adik, keluarga serta kawan-kawan saya mohon maaf karena telah meninggalkan rumah berbulan bulan untuk etape perjalanan hidup yang luar biasa ini.
Doa saya, semoga Allah SWT senantiasa memberikan berkah, rahmat, taufik dan hidayah Nya kepada kita semua, Aamiin ya rabbal ‘alamin….
Kepada lawan politik dan siapapun yang merekayasa peristiwa yang saya alami ini, semoga Tuhan mengampuni perbuatan kalian.
Di ujung tulisan ini, saya ingin sampaikan kredo hidup yang saya warisi dari keluarga untuk bekal hidup, sebagai berikut :
Berjuang adalah berkorban
Berkorban adalah terkorban
Terkorban adalah menderita
Menderita adalah asam garamnya kehidupan.
Marwah perjuangan inilah, yang membuat langit di atas penjara, tempat saya ditahan, menjadi angkasa yang indah bagi hidup saya.
Untuk dik Ning, Romi, Dimas, adik-adik, keluarga dan teman-teman, jangan pernah merasa malu dan jangan pernah merasa takut, terus semangat dan never retreat!!.
Wassalamu ‘alaikum, Wr Wb.
WISMA BOUGENVILLE
BLOK B KAMAR II
LAPAS SRAGEN
25 Oktober 2019
Hormat Saya,
(Sumber: Kuasa Hukum/*)