SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Jika suatu ketika Anda melintas di gerbang depan kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta atau di area ATM center UNS dan melihat seorang laki-laki tua menjajakan rambutan, mungkin dialah Diarjo.
Melihat dari keriput di wajahnya, ia kelihatan tak lagi muda. Usianya kini sudah menginjak 79 tahun.
Sore itu, ia mengenakan kaos putih serta mengenakan topi bertuliskan BUMN. Ia menawarkan rambutan daganganya kepada mahasiswa yang berada di area ATM center UNS.
“Acenya, Mbak, mangga dipilih yang mana? Boleh dicoba, kalau nggak enak ditukar juga ndak papa,” ujarnya.
Dua setengah tahun sudah Mbah Diharjo, sebutan akrabnya itu berjualan buah di kawasan kampus UNS. Buah yang dijual Mbah Diharjo berbeda-beda. Sekali waktu, ia berjualan rambutan. Lain waktu menawarkan durian, terkadang buah naga, pisang, bahkan buah pir.
Menurut pengakutannya, Mbah Diharjo kulakan buah tersebut dari pasar, atau malah dari tengkulak.
Biasanya ia menjajakan dagangnya di gerbang depan atau ATM center UNS. Namun, ada kalanya Mbah Diharjo diusir oleh Satpam saat sedang berjualan.
Untuk sampai ke kampus UNS, Mbah Diharjo butuh sebuah perjuangan tersendiri. Pasalnya, ia harus dua kali naik angkutan umum pulang pergi Jumantono – Solo.
Pukul enam pagi, ia sudah harus berangkat dengan naik angkot jurusan Jumantono-Karanganyar. Kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan bus jurusan Solo-Tawangmangu.
Pulangnya saat maghrib atau isya, ia menggunakan ojek langgananya.
“Mangke mantuke ngojek, timur UNS niku lak enten pos ojek, niku langganan Rp 30.000, saking UNS teng Jumantono (nanti pulangnya ngojek, timur UNS itu kan ada pos ojek. Itu langganan Rp 30.000, dari UNS ke Jumantono-red),” ujar Mbah Diharjo dengan logat Jawa yang kental.
Berapa banyaknya buah yang dibawa Mbah Diharjo pun tidak pasti. Berjulaan memang tidak pernah ajek. Terkadang laris, namun ada kalanya sepi. Karena itu, tidak selalu dagangan Mbah Diharjo itu selalu habis terjual.
Buah yang belum laku terjual biasanya ia titipkan di pos Satpam dekat KPRI, kemudian keesokan paginya ia jual kembali.
Menurutnya, apa yang dia peroleh dari berjualan itu bukan untuk dirinya saja. Ia sering membagikan dagangnganya kepada Satpam, petugas kebersihan, atau kepada mahasiswa UNS sendiri.
Mbah Diharjo berkisah, sebelum berjualan buah, dirinya bekerja sebagai pemborong bangunan. Pernah pula ia bertani dan berdagang hewan.
Namun karena tenaganya tidak sekuat dulu lagi, ia memutuskan untuk berjualan buah. Pada usianya menjelang kepala delapan ini, Mbah Diharjo telah memiliki lima orang anak.
Anak bungsunya kini tengah belajar di sebuah SMK. Sementara anak sulungnya bekerja di pabrik sebagai manajer. Sedangkan anak-anaknya yang lain ada yang jadi pemborong bangunan maupun teknisi yang khusus menangani lift.
Meskipun anak-anaknya sudah mentas dan punya hasil sendiri, namun Mbah Diharjo tidak mau berpangku tangan begitu saja.
“Lha nggih ketimbang nganggur, mbak. Mendingan tetep makarya (Lha iya, dari pada menganggur, Mbak. Mending tetap bekerja–red),” ujar mbah Diharjo menutup cerita. dwi hastuti