Beranda Umum Nasional Pengamat: Aturan Ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja Seperti Blangko Kosongan

Pengamat: Aturan Ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja Seperti Blangko Kosongan

Suasana demo penolakan UU Cipta Kerja di Bundaran Kartasura Kamis (8/10/2020). Foto: JSNews/Prabowo

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Aturan ketenagakerjaan dalam Undang-undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dinilai seperti cek kosong. Sebabnya, pasal-pasal ketenagakerjaan tersebut masih memerlukan pendelegasian lebih lanjut ke aturan turunan.

Penilaian itu dilontarkan oleh peneliti lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Rahmah Mutiara.

“Aturan ketenagakerjaan ini seakan blangko kosong saja, tidak ada aturan rigid namun semuanya dilimpahkan kepada peraturan pemerintah,” kata Rahmah dalam diskusi virtual, Jumat (16/10/2020).

Rahmah mengatakan, tanpa aturan rigid, UU Cipta Kerja tak sejalan dengan niat pemerintah menyederhanakan regulasi. Kode Inisiatif memperkirakan perlu ada 19 aturan turunan khusus untuk klaster ketenagakerjaan saja.

Rahmah menjelaskan, ini merujuk pada jumlah frasa “diatur dengan Peraturan Pemerintah” yang ada dalam klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja. Ia mengatakan rujukannya ialah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006.

Dalam putusan itu, Mahkamah menafsirkan makna dari frasa “diatur dengan Peraturan Pemerintah” ialah secara teknis harus diatur dalam peraturan tersendiri.

Baca Juga :  Tolak Kenaikan PPN 12 Persen, PDIP Dituding Lempar Batu Sembunyi Tangan

Materi muatannya tak dapat becampur dengan materi lain yang tak diperintahkan untuk diatur lebih lanjut.

“Dikhawatirkan juga PP yang dibentuk hanya akan memindahkan aturan-aturan yang sebelumnya diatur dalam peraturan menteri atau keputusan menteri padahal faktanya substansi keduanya berbeda,” kata Rahmah.

Selain itu, Kode Inisiatif menilai skema regulasi ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja lebih menitikberatkan pada perjanjian kerja.

Menurut Rahmah, pemerintah justru terlihat melepas tanggung jawab pengaturan hak pekerja menjadi sepenuhnya kesepakatan antara pekerja dan pemberi kerja tanpa adanya standar rigid dalam UU.

Misalnya menyangkut hak cuti besar. Dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, perusahaan wajib memberikan cuti besar kepada pekerja. Namun dalam UU Cipta Kerja, ketentuannya berubah menjadi “Perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”.

Baca Juga :  Akhirnya Eks Menkominfo, Budi Arie Diperiksa Bareskrim Polri

Rahmah mengatakan, pergeseran ini menunjukkan pemerintah seolah enggan memaksa pemberi kerja untuk melakukan pemenuhan hak-hak pekerja secara layak. Aturan ketenagakerjaan juga dianggap multitafsir sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.

“Aturan ketenagakerjaan berpotensi menimbulkan ketimpangan kedudukan antara pekerja dengan pemberi kerja,” ujar Rahmah.

www.tempo.co