Beranda Edukasi Pendidikan KPAI Sebut  Selama Pandemi Covid-19 Angka Putus Sekolah Meningkat, Ini 5 Penyebabnya

KPAI Sebut  Selama Pandemi Covid-19 Angka Putus Sekolah Meningkat, Ini 5 Penyebabnya

Komisioner KPAI, Retno Listyarti, dalam diskusi PR Pendidikan di Hari Anak di Jakarta, 20 Juli 2019 / tempo.co
Komisioner KPAI, Retno Listyarti, dalam diskusi PR Pendidikan di Hari Anak di Jakarta, 20 Juli 2019 / tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM –  Selama pandemi Covid-19, sejak Januari 2021, terjadi peningkatan angka putus sekolah yang cukup signifikan. Hal itu  diungkapkan oleh anggota  Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti.

Retno  melihat, ada lima alasan yang menyebabkan anak putus sekolah.

Kelima penyebab meningkatnya angka putus sekolah itu disebabkan karena menikah, bekerja, menunggak iuran SPP, kecanduan game online dan meninggal.

Adapun wilayah pantauan adalah Kota Bandung, Kota Cimahi, Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma dan Provinsi DKI Jakarta.

Pemantauan dilakukan dengan pengawasan langsung untuk Kota Bandung dan Cimahi, dan wawancara secara online dengan guru dan Kepala Sekolah jaringan guru Federasi Serikat guru Indonesia (FSGI).

“Pemantauan dilakukan pada Februari 2021,” kata Retno melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (6/3/2021).

Menurut dia, pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama setahun ini semestinya disikapi pemerintah daerah dalam memetakan permasalahan pendidikan di wilayahnya. Sehingga, kata dia, tidak ada lagi peserta didik yang putus sekolah.

“Namun faktanya, KPAI justru menemukan data-data lapangan yang menunjukkan angka putus sekolah cukup tinggi, terutama menimpa anak-anak yang berasal dari keluarga miskin,” ungkap Retno.

Adapun berdasarkan hasil pantauan KPAI selama Januari-Februari 2021 saja sudah menunjukkan angka putus sekolah yang memprihatinkan. Uraian datanya sebagai berikut :

Pertama, Siswa putus sekolah karena menikah

Jumlah siswa yang berhenti sekolah karena menikah jumlahnya mencapai 33 peserta didik dari kabupaten Seluma, Kota Bengkulu dan Kabupaten Bima. Rata-rata siswa yang menikah berada di kelas XII, yang beberapa bulan lagi ujian kelulusan sekolah.

Karena masih PJJ, maka mayoritas yang sudah menikah tanpa sepengetahuan pihak sekolah. Wali kelas atau guru Bimbingan Konseling (BK) baru mengetahui setelah dilakukan home visit karena tidak pernah lagi ikut PJJ.

Baca juga: KPAI Temukan Pengasuhan Anak yang Bermasalah Hambat PJJ

Angka 33 di awal tahun 2021 merupakan angka yang cukup tinggi. Pada tahun 2020 dari hasil pengawasan penyiapan sekolah tatap muka diperoleh data angka putus sekolah mencapai 119 kasus, yang wilayahnya meliputi Kabupaten Bima, Sumbawa Barat, Dompu, Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Utara, kota Mataram, Kota Bengkulu, Seluma, Wonogiri, Jepara, dan kabupaten Bandung.

Kedua, siswa putus sekolah karena bekerja

Sejumlah siswa SMK dan SMP terpaksa bekerja karena orangtua terdampak secara ekonomi selama pandemi sehingga anak harus membantu ekonomi keluarga. Ada satu siswa SMPN di Cimahi bekerja sebagai tukang bangunan demi membantu ekonomi keluarganya.

Ada satu siswa lainnya di Jakarta yang bekerja di percetakan membantu usaha orangtuanya karena sudah tidak memiliki karyawan sejak pandemi dan sepinya orderan cetakan.

Ketiga, siswa putus sekolah karena menunggak SPP selama berbulan-bulan

Kasus menunggaknya iuran SPP yang mengadu ke KPAI jumlahnya cukup tinggi, terhitung mulai Maret 2020 hingga Februari 2021 ada 34 kasus. Dari 34 kasus tersebut, tiga di antaranya berasal dari sekolah yang sama.

Hampir 90 persen kasus berasal dari sekolah swasta dan 75 persen kasus berada dari jenjang SMA/SMK. Penunggak sekolah terjadi karena dampak pandemi di mana ekonomi keluarga dari anak-anak tersebut terdampak secara signifikan, memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit, sehingga bayar SPP yang dikorbankan. Rata-rata yang mengadu sudah tidak membayar SPP 6-11 bulan, factor ekonomi keluarga yang terpuruk selama pandemic menjadi penyebab utama.

Pihak sekolah swasta yang juga turut terdampak dari penunggakan tersebut, umumnya melayangkan surat tagihan kepada orangtua siswa dan memberikan syarat harus membayar dengan mengangsur. Namun, karena memang tidak ada uang untuk membayar sama sekali, maka banyak orangtua memutuskan mengeluarkan anaknya dari sekolah.

Bahkan ada pengaduan dari Pekanbaru yang ketiga anaknya di sekolah swasta yang sama sudah tidak dapat mengakses pembelajaran daring. Sudah dikeluarkan dari grup whatsApp kelasnya dan salah satu anak akan ujian kelulusan sebentar lagi.

Kasus ini dalam proses penanganan oleh KPAI, pihak sekolah dan Dinas Pendidikan kota Pekanbaru sudah dimintai klarifikasi. Tahapan selanjutnya adalah mediasi demi pemenuhan hak atas pendidikan ketiga anak tersebut.

Beberapa sekolah memang melakukan penahanan ijasah anak yang lulus tahun 2020 lalu karena belum melunasi pembayaran SPP, ada juga yang tidak dikeluarkan tetapi tidak diberi akses PJJ dan bahkan Try Out (TO) karena sang anak akan ujian kelulusan sebentar lagi, dan yang parah sekolahnya mengeluarkan anak tersebut. Kasus-kasus ini berasal dari berbagai wilayah seperti Jakarta, Bandar Lampung, Makasar, Denpasar, Pekanbaru, kota Tangerang Selatan, Cirebon, dan lainnya.

Keempat, Kecanduan game online

Saat pengawasan di kota Cimahi, KPAI mendapatkan data bahwa ada 2 anak kelas 7 SMP yang berhenti sekolah karena kecanduan game online, satu diantaranya berhenti sementara (cuti) selama 1 tahun untuk proses pemulihan secara psikologi.

Kisah dari para guru di beberapa daerah juga menunjukkan fakta yang mengejutkan, bahwa anak-anak yang pagi hari tidak muncul di PJJ online ternyata masih tidur karena main game online hingga menjelang subuh.

PJJ secara online yang mensyaratkan alat daring dan kuota internet ternyata berdampak pada anak-anak kecanduan “game online”. Bisa saja hal ini dikarena pengawasan orangtua yang lemah dan dapat juga karena upaya anak mengalihkan kejenuhan selama pandemic yang mengharuskannya berada di rumah saja.

Tidak adanya pengalihan aktivitas dari menggunakan gadget ke aktivitas lain yang dapat dilakukan bersama-sama anggota keluarga lainnya. Kemungkinan besar, anak-anak yang mengalami kecanduan gam online selama BDR (Belajar Dari rumah) jumlah meningkat selama pandemic. Jika di rata-rata di setiap kabupaten/kota ada minimal 2 kasus saja, maka total di seluruh Indonesia bisa jadi ada seribuan anak atau lebih mengalami kecanduan gae online.

Kelima, Siswa Meninggal Dunia

Hasil pemantauan kasus siswa putus sekolah karena meninggal  terjadi di salah satu SMAN di Kabupaten Bima karena terseret arus ketika bencana banjir Januari lalu, dan satu lagi berasal dari salah satu SMK Swasta di Jakarta yang meninggal karena kecelakaan motor. Jadi secara data KPAI, ada 2 siswa yang meninggal pada semester genap tahun ajaran 2020/2021.

www.tempo.co