Beranda Daerah Klaten Indah Darmastuti, Sosok di Balik Difalitera, Benang Merah Sastra dan Kaum Difabel...

Indah Darmastuti, Sosok di Balik Difalitera, Benang Merah Sastra dan Kaum Difabel  

Sastrawan Indah Darmastuti dan beberapa karyanya | Foto: Syahla Ayu Yasinta

KLATEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Di tengah gemuruh kehidupan modern yang serba cepat, ada sosok inspiratif yang tak henti-hentinya memperjuangkan aksesibilitas sastra bagi kaum disabilitas.

Indah Darmastuti, seorang sastrawan Solo yang lahir pada 12 Maret 1973, telah menciptakan jalan baru dalam dunia literasi dengan mendirikan Difalitera, sebuah platform audiobook yang diperuntukkan khusus bagi teman-teman difabel.

Perjalanan Indah dalam membangun Difalitera dimulai dari sebuah permintaan sederhana. Mahasiswa dari Universitas Sebelas Maret (UNS) meminta izin kepada Indah untuk mengubah karya-karya sastranya menjadi bentuk audio.

engan hangat, Indah menyambut ide tersebut, dan sejak saat itu, produksi sastra suara pun dimulai. Dibantu oleh beberapa relawan, terutama setelah para mahasiswa tersebut lulus dan mulai bekerja, Indah mulai merealisasikan mimpi untuk membuat sastra lebih inklusif.

Indah tidak hanya melibatkan teman-teman penulis dalam proyek ini, tetapi juga mengajak difabel daksa untuk berpartisipasi. Ia melatih mereka menjadi narator, sehingga mereka tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga berperan aktif dalam proses penciptaan karya sastra audio.

Bagi Indah, karya sastra memiliki nilai lebih ketika dibacakan dengan emosi dan nuansa, yang sulit dihadirkan oleh aplikasi pembaca layar yang cenderung monoton.

Sastrawan Indah Darmastuti menunjukkan ruang kerjanya | Foto: Syahla Ayu Yasinta

“Sekarang ini kan sudah ada aplikasi pembaca layar yang bisa membaca karya sastra, tetapi karya sastra kalau dibaca mesin, tentu kurang nyaman karena tidak ada emosi di dalamnya,” jelas Indah kepada Joglosemarnews, pada Selasa (13/8/2024).

Namun, seperti kebanyakan usaha besar lainnya, perjalanan Indah tidaklah mudah. Awalnya, dia hanya mengandalkan ponselnya untuk merekam audio. Namun, hasil rekaman yang dihasilkan jauh dari kata memuaskan.

“Aku sudah memikirkan, oh ini dibaca, rekam. Jadi sebenarnya, aku sederhana aja, baca, rekam handphone, kirim. Tapi, sudah aku coba kok jelek banget dan kayak main-main, kayak enggak serius aja,” ungkapnya dengan sedikit tawa mengenang masa-masa awal yang penuh tantangan itu.

Beruntung, Indah kemudian mendapat akses untuk meminjam studio rekaman di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Namun, penggunaan studio tersebut hanya bisa dilakukan di malam hari ketika tidak ada aktivitas dosen atau mahasiswa. Dengan semangat yang tak kenal lelah, Indah memanfaatkan waktu malam untuk merekam karya-karyanya.

Difalitera, yang awalnya hanya sebuah ide sederhana, kini terus berkembang menjadi platform yang menyajikan berbagai karya sastra dalam bentuk audio, yang bisa diakses melalui situs web difalitera.org.

Meski begitu, Indah mengaku belum berpikir untuk mengembangkan Difalitera menjadi aplikasi karena tantangan dalam menjaga konsistensi penyediaan karya yang berkualitas.

Indah tetap berpegang teguh pada harapannya agar semakin banyak sastrawan yang mau meluangkan waktu untuk bertemu dan berkolaborasi dengan teman-teman difabel netra.

“Harapanku adalah kita bisa bersama-sama untuk meluangkan atau menciptakan ruang perjumpaan yang lebih banyak lagi dengan teman-teman netra. Karena dengan banyaknya perjumpaan, kita nanti lama-lama akan saling memahami, dari situ mungkin akan terbuka dari teman-teman netra itu juga akan berkolaborasi bahkan bisa menulis menjadi sastrawan juga,” ujarnya penuh harap.

Dengan kehadiran Indah Darmastuti dan Difalitera, sastra kini tidak lagi eksklusif bagi yang mampu membaca dengan mata, tetapi juga bagi mereka yang membaca dengan hati. Sebuah jembatan telah dibangun, menghubungkan dunia sastra dengan komunitas disabilitas, membuka jalan bagi inklusivitas dan kolaborasi yang lebih luas di masa depan. Syahla Ayu Yasinta