Cerpen Andri Saptono
Hari lahir ibuku istimewa. Ia lahir satu menit setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan Soekarno. Tentang keistimewaan Ibuku itu, selain hari ulang tahunnya yang selalu ia rayakan bersamaan dengan hari kemerdekaan negeri ini, sejak kecil Ibu mempunyai bakat yang bisa dikatakan luar biasa bagi warga desa kami. Setidaknya begitulah pengakuan beberapa warga yang telah menggunakan jasa ibu.
Ya, Ibuku seorang peramal. Keahlian Ibu adalah meramal nasib orang. Beberapa orang yang pernah dating—dan sering sekali kembali lagi tentu- akan bertanya pada Ibu, hari baik apa yang akan digunakan untuk anaknya menikah, atau arah dan tempat mana yang baik untuk mendirikan took. Lain kali mereka akan bertanya, bagaimanakah cara agar bisa membuat suami tetap lengket dan tidak akan jajan di Warung Bulak Adem yang ada di ujung desa—sebuah komplek pelacuran yang sengaja dilegalkan oleh pemerintah daerah kami.
Tentu ramalan Ibuku memang tidak selalu tepat untuk menjadi kenyataan.
“Aku hanya melihat apa yang bisa kulihat,” katanya menjawab para pelanggannya. “Takdir orang itu tak bisa dirubah. Aku tak bisa mendahului takdir Tuhan.”
Suatu kali ada seorang pelacur yang datang ke rumah. Seperti kuketahui, mereka biasa datang menggunakan jasa Ibuku agar pemasukan mereka lancar. Atau agar mereka tetap menjadi sang bunga mawar lokalisasi. Namun kali ini, Ibu tidak biasanya menyuruhku menyuguhkan air minum buat seorang perempuan lokalisasi. Ya, hal ini agak janggal. Sebelumnya Ibu tidak pernah menyuruhku berurusan dengan para pelanggannya. Tapi, aku hanya manut. Lagi pula aku sedang tak ada kesibukan. Pekerjaanku sendiri di ladang sebagai petani cabai sudah bisa kutinggal dan hanya menunggu panen.
“Lilik, kuperkenalkan pada tamu istimewa Ibu.”
Aku merasa heran, maksudku, tidak biasa sekali Ibu mengenalkanku pada pelanggannya. Perempuan itu tersenyum simpul. Pupil matanya melebar. Mungkin ia agak terkejut juga dengan tajamnya pujian dari Ibuku. Ya, aku tak heran dengan kepandaian Ibuku yang satu ini. Ibuku tak hanya pandai memuji tapi juga pandai mensugesti para pelanggannya –yang karena dari hal itulah kami bisa makan setiap harinya.
“Lilik,” kataku memperkenalkan diri sambil menjabat tangan perempuan itu.
“Maharani.”
Ia tersenyum manis. Ada lesung pipinya yang menarik.
Aku sejujurnya tak tahu maksud Ibu memperkenalkanku dengan salah satu pelanggannya. Sampai ketika perempuan itu pergi, Ibu mengajakku bicara. Dan Ibuku nyata berbinar ketika berbicara padaku kali ini.
“Ia akan menjadi istrimu kelak, Lik. Gadis itulah yang akan membuatmu bahagia.”
Aku mencibir. Aku tahu sebenarnya Ibu tak punya kekuatan meramal dan melihat masa depan, atau untuk memutuskan hal-hal seperti ini untukku. Yang pasti kuketahui semua kejadian yang terjadi adalah karena kecerdasan Ibu menganalisis setiap hal yang dikeluhkan para pasiennya. Bisa dianalogikan Ibu seperti manajer yang menganalisis suatu persoalan dan berusaha memberi solusi ketimbang menjadi seorang peramal yang mampu melihat masa depan. Tidak, Ibuku adalah orang biasa. Ia tak punya kekuatan gaib seperti itu. Sebenarnya para penduduk itu sendiri yang menginginkan diramal. Mereka, orang-orang yang datang pada Ibu, hanya ingin tahu apa yang ingin mereka dengar. Dan orang seperti Ibuku adalah jawaban bagi kebingungan mereka.
Tapi, Ibuku kali ini berkata untukku bahwa perempuan yang baru saja pulang dari rumah itu, yang tak lain adalah seorang pelacur dari Warung Bulak Adem adalah calon istriku yang kelak akan melahirkan anak-anakku.
Apa kata dunia jika aku menikah dengan seorang pelacur?
“Ibu tidak sedang bercanda kan?”
“Ibu tidak sedang bercanda, Lik. Dengarlah dulu Ibu,” kata Ibu terdengar seperti perintah. “Ibu berani bertaruh bahwa dia akan menjadi istri yang baik untukmu.”
“Ya, dan Ibu berniat menjodohkanku dengan pelacur,” protesku tak senang.
“Kau jangan bicara lagi. Kata-katamu akan mengacaukan semuanya,” potong Ibu, suaranya meninggi pertanda ia tak senang jika dibantah.
Tapi aku juga tak bisa memungkiri lagi kalau Ibu telah keterlaluan padaku. Aku tidak akan begitu jengah pada Ibuku dengan kekuatan sok meramalnya yang sebenarnya tak pernah dimilikinya itu sampai saat sekarang ini. Namun untuk yang ini, aku tak bisa menerima.
Namun beberapa kali kulihat dia makin sering datang ke rumah. Ibuku menyambutnya dengan wajah gembira. Kurasakan memang ada yang berbeda dengan kegembiraan Ibu ketika bersamanya. Bahkan lama kelamaan tanpa aku inginkan, aku mulai mengenal lebih jauh dirinya. Walaupun aku masih dapat mencium aroma pemlintiran berlebihan yang dibuat Ibuku tentangnya.
Maharani asalnya Trenggalek. Ia dijual suaminya ke Warung Bulak Adem seharga satu sepeda bebek. Setelah itu ia aktif di tempat lokalisasi itu. Tapi, kata Ibuku, perempuan ini berbeda, Istimewa.
“Apakah Ibu tak punya pilihan lain untukku?” aku berusaha untuk menyadarkan Ibu dari keegoisannya itu.
“Ibu sudah bertaruh banyak untuk ini, Lilik.”
Aku tertawa sompel.
“Aku tahu kau tak percaya kali ini. Tapi kelak kau akan berterimakasih untuk ini.”
“Bagaimana kalau aku menolak, Bu?”
“Ibu tak ingin kau menolak pilihan Ibu kali ini. Kau juga tak berhak menolak. Demi Ibumu ini, Lik. Ibu sudah bertaruh banyak. Aku yakin dia akan membuatmu bahagia.”
Mungkin Ibuku yang akan bahagia. Tapi dalam hatiku sendiri, aku tak yakin bisa bahagia dengan mengawini seorang pelacur.
***
Masa panen lombok di ladangku sebentar lagi akan kulalui. Satu petak lahan yang kutanami lombok itu akan menjadi hal yang sangat berharga karena harga jual lombok yang sedang naik tinggi. Untuk panen ini aku juga dibantu oleh beberapa orang pekerja yang kurekrut dari desa.
Saat panen itupun tiba. Ibu sendiri tak bisa membantu karena saat itu jumlah tamunya sedang banyak-banyaknya. Sendirian aku mengurus pengepakan Lombok sekaligus menjualnya ke kota. Selama seminggu biasanya aku tak akan pulang. Tapi di pasar, aku sempat dengar berita dari rumah.
“Ibumu pandai juga memilih rewang, Lik. Itu Maharani dari Warung Bulak Adem yang sekarang membantu Ibumu,” kata mereka setengah menyindir. Aku hanya bisa mengerenyitkan dahi. Aku tidak mengira secepat itu Ibuku akan memutuskan.
Selanjutnya setelah penjualan lombok rampung aku pulang. Tak lupa juga kuselesaikan upah para pekerja yang membantuku menjual lombok. Aku beruntung hasil kali ini cukup lumayan. Mungkin nanti aku bisa membeli satu diesel untuk menarik air dari sungai untuk menyirami tanaman.
Ketika aku pulang, aku disambut Ibuku dengan pelukan kegembiraan. Dan tidak hanya itu saja. Maharani ternyata masih di rumahku dan ikut menyambutku dengan senyum manisnya.
“Ibu banyak sekali membuat perubahan,” sindirku.
Di rumahku, selain bertambah anggota satu, ternyata kondisi rumah sudah banyak berubah. Semua dinding sudah dicat baru. Jendela di depan juga diganti. Pohon-pohon di depan rumah sudah dirapikan. Aku kira dengan perubahan sebanyak ini Ibu menghabiskan dana yang tidak sedikit.
Ya, sebenarnya aku punya rencana selain membeli diesel tapi juga untuk membeli sawah garapan lain lagi yang juga akan kutanami lombok. Tapi kukira, dengan perubahan yang terjadi sebanyak ini, Ibu pasti telah mengambil sebagian uang yang telah kusimpan di bank.
Tapi hal itu juga tak berarti apa-apa untukku walau jujur aku agak kecewa Ibu melakukannya tanpa bicara lebih dulu.
Malam itu hari pertama aku pulang, Ibu datang mengetuk pintu kamarku.
“Kita bicara di ruang tamu saja.”
Aku mengikuti Ibu ke ruang tamu. Kami bicara berdua. Maharani tak terlihat. Mungkin sudah istirahat di kamarnya sendiri, di kamar tamu rumah kami.
“Aku tahu kamu kaget dengan apa yang Ibu lakukan.”
Aku masih tak menjawab. Sebenarnya dalam hati aku berharap Ibu akan memberikan alasan yang lebih tepat selain yang kupikirkan.
“Rumah ini sudah lama tak diperbaharui. Ibu terpaksa mengambil sedikit tabunganmu. Tapi semua kulakukan, karena Ibu akan punya hajat. Tentu Ibu malu kalau banyak orang datang tapi rumah ini masih terbengkelai begini.”
“Maksud Ibu punya hajat apa?”
“Aku akan menikahkanmu dengan Maharani…”
Inilah yang kutakutkan. Tapi aku tak tahu bagaimana cara menolak Ibu karena Ibu sudah memutuskan untukku.
“Jadi ini adalah alasan Ibu memboroskan uang untuk menghias rumah dengan cat yang baru dan mengganti jendela di depan itu….” aku hanya bisa marah tanpa tahu apalagi yang bisa kuperbuat.
“Seperti yang kukatakan, pilihan Ibu tidak berubah. Gadis ini yang terbaik di antara semua gadis yang ada di kampung ini yang nanti akan mendampingimu.”
Dalam hati aku tak yakin. Bukankah ada Aisyah anak Pak Kyai yang manis itu. Atau si Lisa, anak guru sejarah di desa kami yang sudah semester akhir dan nanti lulus jadi guru. Atau Marni anak Yu Senik pemilik toko kelontong di pasar yang kaya. Mengapa Ibu harus memilih perempuan lacur yang pasti akan membuat cemar keturunan?
Tapi aku juga tak bisa melakukan apa-apa, bukan karena aku bodoh, atau tak laku dengan gadis-gadis yang kusebutkan tadi. Tapi, ketika kau tengah berhadapan dengan takdir, kau memang tak bisa menolak bahkan sekadar untuk memilih.
Pernikahan itu akhirnya dilaksanakan. Aku menikah sebagaimana orang lain menikah. Namun malamnya, Maharani membuat sebuah pengakuan padaku.
“Aku tahu kau mungkin memandang rendah padaku.”
Aku diam saja, tapi menebak-nebak arah mana ia bicara.
“Satu hal yang pasti, aku belum pernah disetubuhi oleh lelaki manapun di lokalisasi itu, kecuali suamiku sendiri.”
Tiba-tiba aku tertawa. Ya, tertawa. Apakah aku akan percaya dengan bualan semacam itu.
“Oh ya, benarkah? Lantas, apa yang kau lakukan di komplek Bulak Adem itu?”
“Semua orang takut padaku.”
Aku kini tertawa makin keras. Dia kira apakah aku anak kecil yang akan mudah percaya pada bualannya.
“Aku tahu kau tidak akan percaya, Mas. Tapi, kau bisa membuktikan itu semua padaku. Jika aku bohong, kau tidak perlu repot-repot minta menceraikanku. Besok pagi, aku akan pergi dari rumah ini.”
Sebuah kesepakatan yang aneh saat malam pengantinku. Anehnya lagi, kuladeni kesepakatan itu tanpa merasakan bahwa yang kulakukan juga aneh.
Sungguh, keanehan terjadi malam itu. Entah mengapa Maharani pelacur itu masih perawan ketika pertama kali kusetubuhi. Selaput daranya berdarah seperti baru pertama kali robek.
Hal ini tentu membuatku terkejut. Walaupun dalam hatiku terselip perasaan senang tak terkira. Tetapi, aku harus mendapat penjelasan yang masuk akal tentang hal ini, pikirku.
Esok, setelah bangun, aku segera mencari Ibu. Aku ingin memberitahukan hal itu padanya dan mungkin ia punya penjelasan akan kejadian ini, walaupun aku juga tak yakin.
Aku menjumpai Ibu sedang duduk di depan jendela menghadap ke arah sinar matahari pagi yang cerah bersinar. Ibuku tersenyum padaku. Namun seketika aku terkesiap dan mundur ke belakang. Untuk sedetik mulutku gagu. Ibu hanya tersenyum sambil pandangannya beralih ke arah matahari lagi.
“Aku sudah melakukan apa yang bisa kulakukan untukmu. Aku tak menyesal telah melakukan ini, Lik,” katanya.
Ada yang aneh dengan bola mata Ibu. Keseluruhan mata hitam Ibu berwarna merah pekat. Bola matanya terbakar. Persis seperti nyala gerhana.
“Aku tak mengerti, Bu.”
“Kau menikmati malam pertamamu, bukan?”
Aku terhenyak. Bagaimana Ibu tahu. Apakah ini berarti…
Ibuku menjelaskan semuanya. Keinginan terakhirnya telah tercapai. Sekarang pupil matanya telah hancur. Ia mempertaruhkan matanya sendiri menjadi buta, memberikan kebahagiaan untukku. Semua hal yang dilihatnya di masa depan yang ia katakan padaku katanya akan menjadi kenyataan. Bahwa aku akan bahagia dengan istriku yang sekarang.
Saat itu aku masih tak percaya dengan hal yang dikatakan Ibu. Namun sekarang, sepuluh tahun setelah itu—setelah Ibu meninggal, aku merasa sebagian perkataannya memang benar terjadi, walaupun aku juga tak percaya Ibu punya kekuatan gaib bisa melihat masa depan.
Aku sekarang telah mempunyai enam anak yang montok dan sehat. Istriku kurasakan bertambah cantik setiap harinya, dan membuatku bertambah mencintainya dengan cara yang ajaib, yang tak akan bisa kujelaskan dengan satu kalimat panjang sekalipun. Dan beberapa gadis di desaku yang dulu amat menarik dan menonjol di desaku yang kukira aku akan memilih salah satunya, beberapa memilih jalan takdir yang berbeda. Si Lusi hamil sebelum menikah dan sekarang punya anak tanpa diketahui suaminya. Si Aisyah, ternyata ia gadis bermasalah. Sedangkan Marni, anak Yu Senik, kabar terakhirnya akan bercerai karena tak puas dengan si suami yang bangkrut dan jadi kere.
Yang terhebat dari penjelasan semua itu adalah ketika istriku menceritakan sejak awal bagaimana dia tak bisa disentuh oleh para lelaki hidung belang yang mengincarnya di Bulak Adem.
Namun, entah mengapa aku masih tak percaya dengan cerita ajaib-ajaib seperti itu. Bahkan dengan kemampuan ibuku yang meramal dan mempertaruhkan matanya untuk bisa melihat masa depan. Namun, hanya satu yang kusyukuri bahwa kenyataan tak pernah tepat seperti yang kita bayangkan.
Andri Saptono, karyanya dimuat di berbagai media, baik cetak maupun online. Aktif di Kamar Kata di Karanganyar dan mengelola Buletin Literasi Kemuning.
Bisa dihubungi via Email : andri_saptono@yahoo.co.id atau via web : atmokanjeng.wordpress.com