Pemandangan di belakang panggung Wayang Orang Sriwedari. Melongok di beberapa sudut, tampak para pemain sedang sibuk masing-masing. Ada yang merias wajahnya dengan bedak atau lipstik, ada yang meluluri badannya dan menyisir rambutnya. Di depan sebuah cermin, seorang pemain bertubuh besar sedang melukis alisnya dengan tebal. Kali ini peran yang dimainkannya adalah menjadi Bima , salah satu Pandawa bertubuh kekar dan paling kuat di antara kelima Pandawa tersebut. Coretan alis yang tebal, ditambah eyes shadow dan lipstik merah muda tanpa ragu , seolah mengesankan lakon Bima yang super tegas, kuat pendirian menyatu dengannya.
Tak jauh darinya, tampak seorang pemain sedang menggunakan jarik yang menjadi jatahnya malam itu. Wajahnya penuh celemongan warna putih, identik sebagai lakon yang biasanya masuk Goro-goro atau lawakan. Ah ternyata ia menjadi Bagong.
Beranjak di sebelahnya, seorang “buto” sudah siap dengan setiap riasan wajah maupun kostumnya. Ia hanya tinggal menunggu adegan yang menuntutnya segera keluar panggung. Seto, pemain Wayang Orang tersebut, mendapat peran dari sang sutradara menjadi tokoh antagonis malam itu, seorang buto yang akan menghadang dan melakukan penculikan di tengah hutan.
“Hari ini jadi buto, kemarin jadi Gatotkaca. Dapat yang jahat atau yang baik sama saja, namanya kan hanya peran,”ujarnya sambil tertawa, dengan dandanan yang menyeramkan.
Santai, penuh tawa dan canda namun tetap profesional. Gambaran yang jelas ketika mengobok-obok belakang layar pementasan Wayang Orang Sriwedari tersebut. Hal ini diakui Koordinator Wayang Orang Sriwedari, Agus Prasetyo tak lepas dari kebiasaan setiap hari para pemain dan kru Wayang Orang Sriwedari yang terlibat.
Ya, pentas dan manggung adalah sebuah kewajiban bagi para pemain wayang orang tersebut, sebab beberapa di antara mereka menyandang status Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kota Surakarta. Pemerintah kota Surakarta pun cukup bijaksana mengikat para seniman tersebut melalui status PNS, salah satunya demi tetap lestarinya kebudayaan berusia ratusan tahun tersebut.
“Kami di sini memiliki 85 kru, mulai dari pemain wayang orang, wiyaga, lighting, kru panggung, kebersihan dan lainnya. Dari jumlah itu ada 65 persen kontrak dan sekitar 35 persen PNS. Paling muda 25 tahun, dan tertua 58 tahun, “jelasnya.
Dengan jam kerja sesuai pegawai umumnya, imbuh Agus, maka mereka bekerja setiap hari Senin-Sabtu, pukul 17.00WIB-23.00WIB. Namun ketika latihan atau gladi resik, maka mereka akan datang lebih siang.
Dalam setiap bulan, sutradara sudah melakukan pembagian peran kepada setiap pemain Wayang Orang. Dan, karena pentas menjadi keseharian mereka, maka tidak ada naskah baku yang biasanya dibaca para pemain atau seniman sebelum pentas.
“Lakonnya kan sudah hapal, itu-itu saja, jadi hanya dituntut kemampuan seniman tersebut untuk improvisasi dalam membawakan perannya. Dialog, tembang, semua kreativitas personal seniman, non naskah,”terangnya. Kiki Dian