JAKARTA – Pembangunan kembali memakan “korban”. Bukan korban jiwa, namun yang menjadi korban adalah kelestarian situs sejarah dan purbakala bukit Siguntang. Karena itu, para sejarawan dan Arkeolog meminta Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan segera menghentikan proyek pembangunan galeri dan taman di atas area situs Bukit Siguntang, Ilir Barat I, Pelembang.
“Ini jelas-jelas telah melanggar Undang-undang Cagar Budaya nomor 11 Tahun 2010,” kata sejarawan Ichwan Azhari, yang surat pernyataannya diterima Tempo, Selasa (14/8/2018).
Surat tersebut ditandatagani bersama dengan Arkeolog dari Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) E. Edwards McKinnon seusai meninjau ke situs Bukit Siguntang di sela-sela Seminar Kesejarahan Sriwijaya dan Poros Maritim di Palembang, 9 Agustus 2018.
“Situs sejarah Bukit Siguntang yang sangat penting bagi sejarah Sriwijaya dan bagi memori kebudayaan Melayu, kami saksikan sendiri telah dirusak oleh dan atas nama kepentingan proyek pembangunan,” kata Ichwan.
Bukit Siguntang atau kadang disebut juga Bukit Seguntang adalah sebuah bukit seluas 16 hektare di ketinggian 29-30 meter dari permukaan laut, terletak sekitar 3 kilometer dari tepian utara Sungai Musi, Kota Palembang, Sumatera Selatan.
Di area situs Siguntang ditemukan beberapa benda purbakala bersifat Buddhis masa Kerajaan Sriwijaya (abad ke-6-13 Masehi) dan makam leluhur orang Palembang. Dari benda-benda purbakala yang ditemukan, menunjukkan bahwa Bukit Siguntang adalah salah satu kawasan pemujaan dan keagamaan kerajaan.
Hal ini terlihat dari arca Buddha bergaya Amarawati (abad ke-2-5 Masehi) yang ditemukan pada 1920-an. Arca berbahan granit setinggi 277 senti meter tersebut disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Di sana juga ditemukan fragmen arca Bodhisatwa, stupa, fragmen prasasti beraksara Pallawa, arca Kuweda, arca Buddha Wairocana.
Dihubungi terpisah, McKinnon mengatakan pembangunan galeri di atas area situs Bukit Siguntang amat ironis, karena pelakunya justru pemerintah.
“Sungguh ironis, situs yang sangat menonjol telah menjadi semacam Disneyland dan telantar pula,” ujar McKinnon.
Saat melakukan peninjauan, ujar McKinnon, dirinya bersama sejarawan lain menyaksikan aktivitas pembangunan galeri dan taman di lahan situs Bukit Siguntang. Arkeolog asing itu memperkirakan perusakan situs Bukit Siguntang telah berlangsung cukup lama.
“Lihat saja, ada batu di pinggir tangga. Itu adalah batu palsu yang berbahan semen saat ini, dibuat tahun 1990an katanya. Padahal dahulu tidak ada,” ujar McKinnon. Di sana juga ada bangunan menyerupai pos yang rusak akibat tertimpa pohon tumbang. “Dan masih dibiarkan begitu saja.”
McKinno menyarankan, bukit itu seharusnya menjadi cagar budaya lokasi asal legenda Sri Tri Buana dan pendirian kerajaan Sriwijaya. “Bukan lapanan piknik,” ucap McKinnon.
Menurut McKinnon, walau pun perlindungan terhadap situs sudah diatur dalam UU 11 2010, namun para pejabat daerah di tingkat I dan II tidak mengerti atau tidak peduli terhadap nilai situs purbakala.
“Di Medan, sebagai contoh, situs Kota Cina dibiarkan untuk perumahan dan di Deli Serdang sebagian situs Benteng Puteri Hijau atau Deli Tua didozer oleh proyek perumahan, walau pun sudah ditentukan sebagai cagar budaya,” ujar McKinnon.
Sejarawan Universitas Sriwijaya, Farida R. Wargadalem, mengatakan dirinya sudah mendengar kalau di atas lahan situs Bukit Siguntang dibangun galeri pada Agustus 2017. “Saya langsung bertanya melalui grup Whats App,” kata Farida.
“Direspon pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Selatan,” ujar Farida. Mereka beralasan, kata Farida, bangunan tersebut hanya untuk galeri dengan mengubah gerbang Bukit Sigutang.
“Saya katakan semoga sudah didahului dengan kajian akademik, karena itu (situs Bukit Siguntag) milik kita yang tersisa. Tapi tak pernah direspon sampai kini,” ucap Farida.
Mengutip pendapat arkeolog Universitas Indonesia Aris Munandar, Farida mengatakan di Bukit Siguntang menempatkan pot bunga saja sudah mengurangi nilai kesejarahan. “Karena memang situs sangat penting asal muasal bangsa Melayu. Di sana ditemukan prasasti Sriwijaya, arca Buddha terbesar dan tertua, struktur bata, manic-manik dan lainnya,” ujar Farida.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan Irene Camelyn Sinaga hingga berita ini ditutunkan belum memberikan komentar tentang masalah yang membelit situs Bukit Siguntang. Pesan melalui Whats App yang dikirim Tempo sejak pekan lalu belum dijawab.