SRAGEN- Belasan peserta seleksi calon perangkat desa (Perdes) di Desa Kecik, Tanon menggeruduk balai desa setempat, Rabu (8/8/2018) siang. Mereka memprotes hasil seleksi Perdes yang dinilai sarat kejanggalan.
Panitia juga didesak untuk menunda pelantikan lantaran proses seleksi dan penilaian dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dianggap tidak adil dan transparan.
Para peserta yang menggeruduk itu adalah mereka yang gagal terpilih dalam seleksi. Di Desa Kecik, seleksi diikuti oleh 15 pelamar di empat formasi. Seleksi dan ujian digelar dengan menggandeng LPPM UMS.
Salah satu peserta yang melamar Kasie Pemerintahan, Ita Nur Akhsani mempertanyakan standar penilaian ujian tertulis oleh LPPM. Sebab calon yang terpilih justru yang secara kemampuan akademis terlihat paling rendah diantara tiga pelamar lain termasuk dirinya.
Ia menyebutkan calon terpilih di formasinya mendapat nilai ujian tertulis 45.00 dan komputer dasar 10.34. Padahal saat ujian komputer dasar word dan excel, ia yang duduk di belakang calon terpilih saat ujian, mengetahui bahwa yang bersangkutan hanya bisa menyelesaikan buat kop surat saja.
“Sementara saya mengerjakan word dan excel sampai selesai, kenapa nilainya lebih tinggi dia. Ini nggak masuk nalar sama sekali. Saya tahu karena dia duduknya di depan saya dan waktu mengumpulkan hasil ujian praktik word dan excel yang dicetak, juga bareng sama saya. Jadi saya tahu kalau memang dia enggak jadi, ” paparnya.
Ita yang lulusan sarjana mengakui sebelum ujian berlangsung, memang sempat beredar kabar soal bayaran uang dan nama-nama yang dikondisikan bakal jadi. Namun ia mengaku tak peduli dan hanya berfikir positif saja.
“Kami sejak awal niatnya Bismillah ingin ikut ujian dan berbuat yang terbaik untuk kemajuan Desa Kecik, ternyata hasilnya malah begini, ” ujarnya kesal.
Senada, pelamar di formasi Kasi Keuangan, Nita Timur Rahayu mempertanyakan mekanisme ujian oleh LPPM UMS yang tidak menggunakan sistem CAT, seperti LPPM yang digandeng desa lain. Menurutnya dengan teknis ujian yang diminta membawa laptop sendiri dan tidak CAT, maka sangat memungkinkan terjadi kecurangan dalam hal penilaian.
“Ternyata selisih nilainya sangat mencolok sekali. Saya yang merasa mengerjakan soal dengan baik nilainya hanya 21, yang jadi nilainya bisa 45. Lalu komputer word dan excel saya bisa selesai semua nilainya hanya dapat 8,92. Apalagi sebelumnya sudah ada suara kalau nama-nama yang jadi sudah beredar dan sudah disiapin dananya. Kami hanya minta keadilan. Kecurangan ini harus diusut sampai tuntas dan siapa yang bermain serta terlibat, harus diadili dan bertanggungjawab,” tegasnya.
Calon lain di Kasi Pelayanan, Mardiyaningsih juga menuding ada indikasi kuat permainan nilai. Sebab dirinya yang bisa mengerjakan komputer juga hanya dapat nilai 2.87, sedangkan yang ujian komputernya nggak selesai bisa dapat nilai lebih tinggi.
“Masa ada calon yang waktu ngerjakan ditinggal keluar dan merokok, malah nilainya paling tinggi. Semua peserta lain juga tahu wong dia sempat keluar dan waktu ditanya katanya mau keluar ngrokok dulu, ” ujarnya kesal.
Sementara, calon di Kaur Perencanaan, Joko Kusyanto juga mengendus sejak awal sudah melihat gelagat kecurangan di penjaringan Desa Kecik. Diantaranya malam sebelum ujian seleksi, calon yang dikabarkan bakal jadi, sudah dikumpulkan oleh oknum Kades koordinator di Hotel Sunan Solo.
Ia juga mengklaim ada nuansa suap karena ada kerabat calon terpilih sempat berkoar sudah nyiapi uang Rp 200 sampai Rp 250 juta. Lantas kecurigaan yang paling mencolok, dari calon yang lolos hampir semuanya mendapat nilai nyaris seragam yakni antara 45 hingga 47, terpaut sangat jauh dari peserta lain.
“Ada calon yang waktu tes ditinggal ngrokok malah jadi, lalu calon lainnya yang suka ngepil juga malah nilainya paling tinggi dan lulus. Calon kayak gitu kok bisa jadi, mau jadi apa nanti Desa Kecik. Saya tidak jadi tidak masalah, tapi Ada juga calon yang tidak ngerjakan bisa dapat nilai 10, kami yang mati-matian sampai koplak hanya dapat nilai sedikit. Makanya tuntutan kami jangan dilantik dulu sebelum kejanggalan diusut tuntas. Kami hanya ingin keadilan,” tandasnya.
Semula mereka ngotot ingin menemui Kades Kecik, Paniyo. Namun Kades tidak sedang di kantor. Mereka ditemui Sekdes Sriyono dan panitia penjaringan. Ia mengaku panitia desa hanya menjalankan mekanisme sesuai dengan peraturan bupati No 10/2018 dan time shedule yang ditetapkan Pemkab.
“Kami baru terima hasil ujian dari LPPM UMS tanggal 7 Agustus kemarin pukul 17.00 WIB sore. Tanggal 8 Agustus hari ini diranking dan diumumkan. Bahkan hasil ujian baru dibuka tadi pagi. Kami panitia hanya menerima berkas, meneliti dan mengadakan kerjasama. Soal penilaian komputer dan ujian tertulis kami tidak tahu karena yang menangani langsung LPPM UMS,” tegasnya di hadapan peserta.
Soal indikasi kecurangan, praktik uang dan penilaian yang dianggap janggal, Sriyono mengaku tidak tahu menahu. Kemudian soal tuntutan penundaan pelantikan, hal itu juga di luar kewenangan panitia karena yang berwenang melantik adalah Kades.
“Tapi kalau mereka ingin mengklarifikasi ke LPPM UMS, kami dari panitia siap untuk untuk mendampingi, ” tegasnya. Aksi menggeruduk itu juga mendapat pengamanan dari Babhinkamtibmas dan Babinsa. Bahkan, Camat Tanon Suratman juga tiba di lokasi ketika aksi hampir bubar. Wardoyo