JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Penetapan pemenang dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2019 berdasar perolehan suara.
Dasar hukumnya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Terhadap UUD 1945.
Hal itu dikatakan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
Titi menjelaskan, Putusan MK Nomor 52/2014 sudah diakomodir dalam Pasal 3 Ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019.
“Pasal itu berbunyi Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih,” ujar Titi saat dihubungi, Minggu (21/4/2019).
Pada tahun 2014, Perludem mengajukan permohonan uji materi penafsiran Pasal 159 Undang-Undang 42/2008. Dalam pembacaan sidang putusan pada 3 Juli 2014, Ketua MK waktu itu Hamdan Zoelva menyampaikan majelis hakim mengabulkan uji materi itu.
“Mengabulkan untuk seluruhnya Pasal 159 ayat (1) bertentangan sepanjang tidak dimaknai dan tidak berlaku untuk hanya terdiri dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden,” kata Hamdan Zoelva saat membacakan amar putusan.
MK membatalkan adanya penafsiran perolehan suara sebanyak 20 persen di setengah jumlah provinsi yang ada di Indonesia untuk menentukan pemenang pemilu presiden.
Artinya, penetapan pemenang pemilu presiden hanya ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak.
Dalam pendapat MK yang dibacakan hakim konsitusi Muhammad Alim, sebaran suara sebanyak 20 persen di setengah jumlah provinsi di Indonesia dalam Pasal 159 itu berlaku jika ada lebih dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Namun, jika hanya ada dua pasangan, tidak perlu pemilu dua putaran.
Titi dimintai pendapatnya terkait beredarnya pesan berantai yang mencantumkan perlunya tiga persyaratan untuk penetapan calon presiden dalam Pilpres 2019.
Tiga persyaratan yang disebut dalam pesan tersebut yakni suara lebih dari 50 persen, memenangkan suara di 1/2 jumlah provinsi (17 Provinsi) dan di 17 Provinsi lainnya yang kalah minimal suara 20 persen. Menurut Titi hal itu tidak benar.
Titi menegaskan substansi putusan MK Nomor 50/2014 sudah jelas mengatur tentang aturan untuk pemilihan dengan dua pasangan calon.
“Jadi tidak ada lagi polemik,” ungkap dia.