SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Umat Islam memiliki tiga kota suci, yakni Makkah Al Mukarramah, Madinah Al Munawwarah, dan Baitul Maqdis di Palestina, untuk tujuan perjalanan jauh yang dianjurkan oleh Nabi Saw bukan tempat tujuan perjalanam yang lain.
Jika kita punya kesempatan untuk mengunjungi ketiga kota suci itu, perhatikan toleransi para jamaah. Sangat tinggi sekali.
Saat kita berada di tengah-tengah para jamaah di masjid, beragam perbedaan mudah sekali ditemukan. Ada yang sholat bersedekap dan ada pula yang tidak.
Ada yang memasukkan kaki kiri di bawah kaki kanan (tawaruk) ada yang tidak (iftiras) saat tahiyat akhir. Ada yang menuding jari dan ada pula yang tidak saat tahiyat dan lain sebagainya.
Namun, tidak ada satu pun jamaah yang menegur, menyalahkan, apalagi menghujat.
Semua jamaah fokus ke fiqh ibadah yang diyakininya tanpa mengoreksi ibadah orang lain.
Menurut Abdullah Afandi, Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI) 2019, fenomena ini hanya di tingkat furu’iyah atau cabang.
Tidak terjadi di tingkat pokok atau dasarnya, syariat sama adapun fikih berbeda beda bahkan pada tingkat praktis bisa sangat bervariasi.
“Pada zaman Nabi Muhammad, perbedaan itu biasa terjadi. Nabi tidak marah dan membolehkan perbedaan seperti itu” terang pengawas Pendidikan Agama Islam di Kementerian Agama Sragen ini seperti ditulis Johan Wahyudi dari Mekah kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Sabtu (3/8/2019).
Sayangnya, ada fenomena munculnya sikap intoleran atas perbedaan di tanah air. Fenomena yang meletakkan fiqh sentris atau faham sempit yang menyalahkan faham lain mereka cenderung bersikap eklusif.
Lelaki yang sudah enam kali berhaji yang jadi TPIHI Kloter 8 SOC Solo ini menjelaskan, kita harus menghargai perbedaan. Contohnya di Tanah Suci ini. Tak ada satu pun jamaah yang berani mengklaim pahamnya yang paling benar.
“Saya berterima kasih atas toleransi di kloter saya. Tidak ada masalah yang terkait ibadah. Ini mungkin disebabkan oleh para jamaah yang sudah mengikuti bimbingan di KBIH masing-masing. Cuma ada satu masalah yang pernah saya ketahui” jelas penyuka sate kelahiran 4 Desember 1966 di Sragen.
Abdullah menceritakan suatu ketika ada seorang jamaah yang ikut thowaf bersama temannya. Namun, ia lupa sudah berapa kali keliling Ka’bah. Akhirnya, saya panggil orang yang diikuti itu dan minta ketegasannya.
Ternyata jamaah yang diikuti itu menghitung dengan gelang sehingga bisa dipastikan hitungannya benar.
“Saya pun minta agar jamaah yang mengikuti itu tidak perlu thowaf lagi karena dasarnya sudah kuat,” tuturnya. (*)