SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Warga Sragen patut berbangga. Begitu banyak putra-putri kelahiran Bumi Sukowati yang mereguk sukses menjadi orang sukses maupun pejabat tinggi di jajaran pemerintahan bagi regional hingga nasional.
Dari sederet nama putra Sragen yang meraih sukses itu, salah satunya adalah Sekda Pemprov Jateng, Sri Puryono. Pria kelahiran Desa Gawan, Kecamatan Tanon Tahun 1966 itu tak pernah menyangka perjalanan hidupnya bakal berlabuh dengan jabatan tinggi di Pemprov Jateng saat ini.
Ya, perjalanan hidup dan petuah bijak Pak Pur, sapaan akrabnya itu dikupas tuntas dalam acara bedah buku “Birokrat Gaul Taat Asas” yang menggambarkan sosoknya dengan lika-liku yang dilalui.
Menariknya, acara bedah buku itu digelar di SMAN 1 Sragen, yang merupakan bekas sekolahnya semasa SMA.
Acara bedah buku digelar malam ini, Minggu (25/8/2019) dengan dihadiri langsung Sri Puryono, beberapa pejabat teras Pemkab Sragen hingga beberapa teman seangkatannya.
Sejumlah kalangan mulai dari sesepuh Sragen, guru, hingga kalangan mahasiswa juga turut hadir memenuhi aula SMAN 1 Sragen.
Membuka acara, Sri Puryono mengupas sedikit perihal perjalanan hidupnya yang dilahirkan dari keluarga kecil di Desa Gawan, Tanon, Sragen. Dia merupakan anak carik atau Sekdes kala itu yang hidup dengan kesederhanaan.
Ia mengenang masa kecilnya, masa sekolahnya yang tanpa TK dan langsung masuk SD.
“Waktu dulu itu memang nggak ada TK, jadi saya dapat dispensasi langsung masuk kelas 1 SD waktu umur 7 tahun. Lalu saya masuk SMP. Dan itu pertamakali saya bisa sekolah pakai sepatu. Kalau di zaman sekarang, mungkin bahasanya saya itu paling sering dibully karena penampilan saya benar-benar ndeso. Ndeso banget,” paparnya di hadapan hadirin.
Pak Pur kemudian bercerita selepas bangku SMP, ia melanjutkan ke jenjang SMA dan ia diterima di SMAN 1 Sragen.
Dengan blak-blakan, ia mengakui kala itu, ia bukan golongan yang pintar banget.
Justru ia mengenang dari kelas I hingga III, ia selalu ada di kelas IPA yang dihuni anak-anak yang sebagian nakal dan sering berantem.
Selepas SMA, ia diterima di Fakultas Kedokteran UNS namun cadangan ketiga. Dan rejekinya kala itu, yang dipanggil untuk masuk adalah dua cadangan di atasnya sehingga harapannya kuliah kedokteran pupus.
Kemudian ia diterima di UGM fakultas kehutanan.
Pria berwajah flamboyan itu juga mengisahkan perjalanan asmaranya dengan sang istri yang ia sebut Bu Rini juga dimulai ketika sama-sama kuliah di UGM.
“Saya masih ingat waktu itu saya nembak istri saya itu habis magrib di dekat gedung fakultas. Omongan saya masih ingat. Aku seneng mbek kowe. Dia langsung mau dan ternyata juga sudah lama menunggu ditembak. Akhirnya kami jadian,” urainya.
Selepas kuliah dengan predikat lulus tercepat kedua, Sri Puryono kemudian dinas pertama sebagai PNS dari pusat dan ditempatkan bekerja di Dinas Kehutanan Jambi.
Di Jambi, ia pernah mengalami masa kelam ketika tanggal 20 april 1997, perahu arung jeram tim Muspida yang ia tumpangi bersama Bupati dan pejabat lain mengalami kecelakan.
Sebuah banjir bandang menerjang dari atas sehingga dua perahu kala itu terbalik dan semua pejabat tertumpah.
“Ada satu yang meninggal dunia, wartawan Sriwijaya Post. Saya sendiri waktu itu juga hanyut dan bisa minggir karena pertemuan dua sungai. Saya ingat waktu itu bisa bertahan karena bawa permen hexos. Saya coba teriak minta tolong, tapi warga kampung nggak ada yang mau menolong dan takut dikira saya hantu. Akhirnya Magrib saya baru ketemu ditolong Tim SAR,” urainya.
Sri Puryono kemudian menceritakan ia akhirnya bisa pindah ke Jateng tahun 1977 selepas Pilkada di Jambi dan kepala daerahnya menang kala itu.
Pertama kali masuk Jateng, ia menduduki Wakil Kepala Dinas Kehutanan. Sebelum kemudian, Juni 2012, Gubernur Jateng waktu itu, Bibit Waluyo memintanya pindah ke Pemprov dan memberinya jabatan Assisten Ekonomi dan Pembangunan.
“Saya kemudian ditunjuk jadi Plt Sekda Pemprov Jateng pada tanggal 13 Maret 2013 dan jadi Sekda sampai Sekarang. Waktu itu setelah Pak Ganjar menang Pilgub, mulai banyak omongan kalau Puryono itu Sekdane Bibit bukan Ganjar. Sebelum dirasani, saya akhirnya matur Pak Ganjar. Kalau sekiranya saya tidak pas, saya siap untuk diganti. Jawaban Pak Ganjar waktu itu wis Mas teruske wae. Karena bagi saya jabatan itu tidak diminta tapi amanah. Apalagi jabatan Plt itu kan Pejabat Lillahi Taala nyambut gawene kenceng tapi gajine ra koyo asline Sekda,” tuturnya setengah berkelakar.
Setelag Ganjar dilantik, Pemprov kemudian membuka lelang jabatan Sekda. Puryono mengaku saat itu sempat tidak berhasrat mendaftar. Namun kemudian diminta oleh Wagub untuk ikut sehingga akhirnya ia memasukkan lamaran 30 menit sebelum pendaftaran ditutup.
“Alhamdulilah saya seleksi dari yang daftar 47 orang, yang lolos 17, diambil 7 orang, lalu 3 orang dan terakhir satu orang. Yang satu orang terakhir itu saya,” tukasnya.
Di bagian akhir, Sri Puryono menegaskan dalam buku Birokrat Gaul Taat Asas itu, ia hanya ingin menekankan bahwa dalam prinsipnya, jabatan itu tidaklah diminta tapi kepercayaan dan amanah yang diberikan dari yang di atas.
Ia hanya ingin menggambarkan perjalanan dan lika liku yang ia lakoni.
“Pesannya bahwa kalau kita tekun dan dilandasi kedisiplinan dan ketertiban, Insyaallah Gusti Allah tidak sare (tidur). Kalau pun hasilnya tidak sekarang kita nikmati, mungkin besok. Jika tidak besok, paling tidak nanti anak kita. Kalau pun tidak, barangkali di akhirat kita akan menuai hasilnya,” pungkasnya. Wardoyo