SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek Jembatan Barong di Kemukus Sumberlawang, Sragen tahun 2016 dinilai telah berbuat zalim terhadap rekanan pelaksana proyek tersebut. Pasalnya, PPK dalam hal ini pihak DPU-PR Sragen tidak membayar kekurangan senilai Rp 2,4 miliar atas kelanjutan pengerjaan proyek yang telah diselesaikan oleh rekanan pasca penetapan kahar.
Pendapat itu disampaikan oleh saksi ahli pengadaan barang dan jasa, Khalid Mustafa dalam sidang lanjutan gugatan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Sragen, Rabu (25/9/2019). Saksi ahli dari KM dan Partners Jakarta itu dihadirkan pihak rekanan pelaksana proyek, CV Bima Agung Solo, selaku penggugat.
Sidang tadi pagi dipimpin oleh ketua majelis hakim, Sami Anggraini bersama dua hakim anggota. Sidang juga dihadiri oleh Kabag Hukum Setda, Yulianto selaku kuasa hukum dari Pemkab Sragen.
Di hadapan persidangan, Khalid mengungkapkan bahwa dalam kasus proyek Jembatan Barong, pihaknya menilai ada kezaliman dan pelanggaran KUHPerdata yang dilakukan oleh PPK terhadap penyedia jasa atau rekanan kontraktor.
Sebab pekerjaan proyek sudah selesai, sudah diresmikan dan dimanfaatkan sejak tahun 2017, tapi Pemkab dalam hal ini PPK, tidak bersedia membayar kewajibannya.
“Dalam sebuah kontrak, apabila satu pihak sudah melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan yang ada di dalam kontrak, maka PPK dalam hal ini pemerintah tidak boleh berbuat zalim. Ingat, nabi mengatakan bayarlah upah orang suruhanmu sebelum keringatnya kering,” paparnya.
Di hadapan sidang, Khalid juga menyebut sesuai Pasal 122 Perpres No 54/2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, PPK yang melakukan cedera janji terhadap ketentuan yang termuat dalam kontrak, dapat dimintakan ganti rugi.
Besarnya ganti rugi atas keterlambatan pembayaran adalah sebesar bunga terhadap nilai yang belum dibayar berdasarkan suku bunga yang berlaku saat itu menurut ketentuan Bank Indonesia.
“Kalaupun ada penghentian kontrak, ya harus dibayarkan sesuai prestasi yang sudah dikerjakan,” terang Khalid.
Khalid yang pernah menjadi saksi ahli kasus mobil listrik Dahlan Iskan itu menguraikan tak hanya zalim, dalam kasus ini, Pemkab Sragen juga telah melanggar KUHPerdata.
Menurutnya, dalam pasal 1338 KUHPerdata berbunyi bahwa setiap perjanjian yang dibuat sesuai undang-undang maka berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kontrak dibuat oleh dua pihak dengan kedudukan setara dan menjadi undang-undang bagi kedua pihak.
“Justru kalau PPK tidak mau membayar, berarti PPK melanggar peraturan UU yang mereka buat sendiri,” urainya.
Soal pembayaran, Khalid menyampaikan mestinya Pemkab mengikuti ketentuan yang sudah dibuat dalam kontrak. Apabila setelah dibayar, kemudian ada temuan kelebihan bayar, hal itu sudah lain persoalan.
Yang terpenting, menurut dia, intinya Pemkab atau PPK harusnya menunaikan kewajiban pembayaran terlebih dahulu. Setelah itu baru dilakukan pemeriksaan pekerjaan.
Ia juga menyampaikan bahwa kontrak adalah hukum yang berjalan. Kontrak dapat berhenti maupun dapat putus.
Kontrak putus apabila ada kesalahan para pihak, lalu berhenti apabila dua hal yakni pekerjaan selesai atau karena keadaan kahar.
“Jadi alasan kahar itu bukan untuk menolak pembayaran, tapi untuk penghentian kontrak yang akan berpengaruh terhadap pembayaran. Status kahal dalam kasus di Jembatan Barong ini juga sudah ditetapkan oleh pemerintah daerah melalui Sekda atas nama bupati,” tukasnya.
Wanprestasi PPK
Sidang kemudian dilanjutkan dengan menghadirkan dua saksi lain dari pihak warga di sekitar Jembatan Barong yang memberikan kesaksian. Lalu dua orang saksi lagi yang dinilai mengetahui perkembangan dan koordinasi dengan Pemkab.
Kuasa hukum pihak penggugat atau CV Bima Agung, Yoyok Siswoyo mengatakan tetap pada pendirian bahwa ada wan prestasi dari PPK dalam kasus Jembatan Barong.
Ia juga menyampaikan di hadapan sidang, saksi ahli juga sudah menyebut bahwa ada sanksi denda berupa pembayaran bunga bagi pengguna yang wanprestasi.
“Saksi ahli memang kita hadirkan saksi ahli pengadaan yang berkompeten,” tukasnya.
Ia menguraikan gugatan diajukan atas wanprestasi terhadap proyek Jembatan Barong tahap 2 yang sudah selesai dan diresmikan, tapi sampai sekarang kekurangan Rp 2,4 miliar belum dibayarkan kepada rekanan.
Sementara, Direktur CV Bima Agung, Budi Setyawan Lespenda mengatakan akibat kekurangan bayar yang belum terealisasi, dirinya mengalami kerugian hampir Rp 5 miliar.
Kerugian itu terdiri dari kerugian materiil Rp 2,4 miliar yang belum dibayar, kemudian kerugian akibat munculnya denda sekitar Rp 500 juta akibat keterlambatan pembayaran.
Lantas, pengerjaan proyek itu juga banyak material yang hilang hingga crane yang tenggelam.
“Kerugian materiil yang nyata di lapangan sudah Rp 3,5 miliar. Lalu saya juga ditagih denda keterlambatan Rp 735 juta,” tutur Budi.
Terpisah, Kabag Hukum Setda Sragen, Yulianto yang hadir selaku kuasa hukum Pemkab, tidak berkenan memberikan komentar. Saat dimintai tanggapannya atas kesaksian ahli itu, Yuli mengatakan karena sidang belum selesai, maka dirinya belum bisa berkomentar. Wardoyo