Beranda Umum Opini Menteri Pertanian Baru Harus Berani Mengakhiri Ketergantungan Impor Pangan

Menteri Pertanian Baru Harus Berani Mengakhiri Ketergantungan Impor Pangan

Luluk Nur Hamidah. Dok. Pribadi

 

Luluk Nur Hamidah

Anggota Komisi IV FPKB DPR RI
Daerah Pemilihan Jateng IV

Luluk Nur Hamidah. Dok. Pribadi

Perubahan politik di Indonesia dari satu era ke era berikutnya selalu membawa dampak positif, walaupun ada sisi negatifnya. Hal yang paling tampak dari perubahan Orde Lama ke Orde Baru adalah terjadinya penguatan pembangunan dalam negeri. Sisi negatifnya terjadi pelemahan peran besar Indonesia di dunia internasional. Sedangkan dari era Orde Baru ke Era Reformasi adalah, tumbuh suburnya demokrasi namun layunya sektor pertanian.

Era Reformasi saat ini, kehidupan demokrasi berkembang sangat cepat dari mulai maraknya partai politik, Pemilu yang bebas, Pilpres langsung, adanya Pilkada di daerah, dominasi sipil terhadap militer, lahirnya institusi baru seperti KPK dst. Namun dalam sektor pertanian, yang menjadi kebijakkan utama pembangunan Orde Baru dari Pelita ke Pelita malah ditinggalkan. Pertanian diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar.

Akibatnya, kebutuhan pangan rakyat Indonesia bergantung pada impor. Beras sebagai kebutuhan pokok dan prioritas sektor pertanian terus mengalami lonjakan impor dari tahun ke tahun. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2014 awal dari pemerintahan Jokowi, impor beras mencapai 844 ribu ton. Pada tahun 2015, setelah pemerintahan Jokowi sepenuhnya berjalan, naik menjadi 861 ribu ton. Lalu pada 2016 naik menjadi 1,28 juta ton. Namun di tahun 2017 turun drastis menjadi 305 ribu ton. Tapi pada tahun 2018 justru naik drastis mencapai 2,25 juta ton.

Begitupun dengan garam, data BPS mencatat kebutuhan pokok yang sangat penting ini terus mengalami kenaikan impor. Pada tahun 2014 impornya sebesar 2,26 juta ton. Sempat menurun pada tahun 2015 menjadi 1,86 juta ton. Namun kembali naik pada tahun 2016 menjadi 2,14 juta ton. Selanjutnya impor garam terus naik pada tahun 2017 sebesar 2,55 juta ton dan tahun 2018 sebanyak 2,83 juta ton.

Berdasarkan data BPS, impor bahan pangan terbesar periode Januari-November 2018 adalah Gandum 9,2 juta ton, gula 4,6 juta ton, garam 2,5 juta ton, kedelai 2,4 juta ton dan beras 2,2 juta ton. Begitupun dengan komoditas daging, buah dan sayuran yang volume impornya terus mengalami kenaikkan dari tahun ke tahun.

Melihat data BPS tersebut jelas menunjukkan adanya anomali. Indonesia sebagai negara agraris dengan kepulauannya yang banyak, lahan pertanian yang luas dan subur, serta iklim yang menunjang, menjadi pengimpor beras dan komoditas pangan lainnya. Begitupun Indonesia sebagai negara maritim, bahkan merupakan negara dengan luas laut terluas di dunia, justru menjadi pengimpor garam.

Terdapat hal penting untuk diketahui terkait impor yang dilakukan oleh Indonesia. Dikutip dari artikel “Rice Market Monitor” yang dibuat oleh Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 2018, disebutkan bahwa kenaikan impor Indonesia turut menjadi penyumbang yang dominan dalam kenaikan harga komoditas beras internasional sebesar 4%. Lebih lanjut FAO juga menyebutkan bahwa terjadi penurunan impor beras sebesar 5% dari negara-negara di Afrika yang notabene negara miskin. Hal tersebut mengindikasikan bahwa peningkatan impor pangan di Indonesia memiliki pengaruh negatif bagi kondisi pangan global.

Lebih jelasnya, konsekuensi dari permasalahan tersebut adalah negara-negara miskin di Afrika yang tanahnya tidak subur dan tidak memiliki pantai, kesulitan dalam memenuhi ketahanan pangan. Meningkatnya harga impor membuat mereka sulit dalam memenuhi bahan pangan terutama beras. Namun, isu permasalahan impor pangan di Indonesia hanya dihubungkan dengan besarnya devisa yang dikeluarkan pemerintah yang mencapai USD 19 miliar pada tahun 2018. Angka tersebut berkontribusi terhadap defisit neraca perdagangan Indonesia sebesar USD 8,57 miliar pada tahun 2018.

Padahal jauh dari sekedar angka-angka, impor pangan Indonesia telah merenggut hak pangan manusia di negara-negara miskin Afrika. Hal ini dikarenakan negara-negara tersebut tidak mempunyai daya beli untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Sedangkan Indonesia sebagai salah satu negara anggota G-20 dengan kekuatan ekonominya yang besar mampu untuk membeli pangan di pasar dunia dengan berapapun harganya.

Untuk itu masyarakat Indonesia beserta global perlu untuk mendesak agar pemerintah Indonesia memperbaiki kinerja pertaniannya. Apabila Indonesia berusaha melakukan swasembada pangannya maka akan mengurangi permintaan pangan di pasar dunia. Hal tersebut akan membuat harga pangan dunia menjadi lebih murah.

Namun yang lebih diharapkan lagi adalah agar Indonesia dapat menjadi salah satu negara utama eksportir pangan dunia. Dasar mereka adalah Indonesia memiliki potensi alam yang luar biasa. Potensi sumber daya manusia yang handal. Serta kebijakkan luar negeri pemerintah Indonesia yang selalu berusaha membantu negara-negara lemah, baik secara politik maupun ekonomi.

Oleh sebab itu menteri pertanian yang baru harus bekerja keras dalam lima tahun ke depan untuk meniadakan impor pangan. Karena dengan tidak mengimpor pangan maka devisa tidak banyak keluar, neraca perdagangan tidak defisit, nilai tukar dolar stabil, inflasi harga pangan terkendali. Dan bila menjadikan Indonesia negara utama pengekspor pangan dunia maka pangan kita akan bermanfaaat bagi kemanusiaan.