SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Nasib malang menimpa tiga warga Sragen. Mereka harus kehilangan kesempatan untuk bekerja di Korea Selatan lantaran diduga telah menjadi korban penipuan dari salah satu perusahaan penyalur tenaga kerja indonesia (PJTKI) di wilayah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Tak hanya batal berangkat, ketiganya juga kebingungan lantaran sertifikat tanah dan ijazah untuk mendaftar, juga masih disandera oleh pihak bank.
Sertifikat dan ijazah itu dijadikan agunan oleh pihak PT CCHS untuk mencari pinjaman ke sebuah bank pemerintah di Kabupaten Cirebon. Masing-masing korban dipinjamkan Rp 150 juta sebagai biaya untuk pengurusan keberangkatan.
Meski batal berangkat, ternyata hingga kini uang itu tak kunjung dibayarkan ke bank. Para korban pun kebingungan karena sejak awal uang pinjaman langsung diserahkan dari bank ke PT tanpa melibatkan para peserta.
Tiga warga Sragen itu masing-masing, Rizky Kurniansyah (24) warga Kampung Teguhan RT 7/3, Sragen Tengah, Sragen. Kemudian Yunianto (26) Ngrejeng RT 8/2, Klandungan, Ngrampal, Sragen dan Hari Widodo (33) Gandrung RT 4, Klandungan, Ngrampal, Sragen.
Kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , orangtua Rizky, Yusuf Dwi Wahyono (56) mengungkapkan awalnya putranya ditawari oleh keluarga untuk bekerja sebagai TKI di kapal pelayaran Korea Selatan pada bulan 2018 silam.
Karena dijanjikan gaji besar dan biaya bisa diangsur setelah bekerja, putranya yang lulusan SMK itu pun mengiyakan. Bersamaan itu, ia mendaftar bersama dua orang asal Klandungan, Ngrampal, Sragen.
“Karena yang nawari masih saudara, ya kami percaya saja. Setelah mendaftar, anak saya lalu ikut tes wawancara dan dikarantina. Dinyatakan lolos dan siap diberangkatkan bersama 9 temannya. Waktu itu dijanjikan langsung diterbangkan bulan April 2019. Kebetulan waktu itu ada 3 angkatan, anak saya masuk angkatan ketiga gelombang kedua,” paparnya ditemui di rumahnya, Jumat (20/3/2020).
Setelah mengurus persyaratan surat-surat dan buku laut, putranya kemudian diminta menyerahkan ijazah SMK dan sertifikat untuk agunan pinjaman biaya keberangkatan.
Pengurusan berkas dan persyaratan juga diberesi bulan April 2019 itu. Kala itu, pinjaman untuk tiap peserta dicarikan Rp 150 juta atas kuasa PT tersebut namun peminjamnya tetap dicantumkan nama masing-masing peserta.
Dirinya menyerahkan sertifikat tanah pekarangan milik saudaranya di Tangen sebagai agunan. Semuanya kemudian berjalan tanpa ada kecurigaan.
Sampai akhirnya, pinjaman dari bank cair namun penyerahan uang langsung dilakukan oleh pihak bank ke PT. Peserta hanya diberitahu bahwa uang sudah cair dan ijazah serta agunan diserahkan ke bank.
Persoalan kemudian muncul ketika uang sudah cair, tapi mendadak 9 peserta batal diberangkatkan.
Alasannya, dari pihak agen penampung di Korea mengeluarkan blacklist terhadap PT penyalur asal Cirebon itu lantaran dianggap banyak TKI yang dikirimnya, kabur dari kerjaan.
“Waktu pencairan dananya bulan November 2018 lalu. Dari Sragen ada 5 orang yang ke sana. Karena yang dua peserta itu sudah punya istri didampingi istrinya, saya nggak ikut karena masa pemulihan. Yang berangkat istri saya. Awalnya nggak diberitahu kalau batal, kami tahunya sudah cair uangnya kok nggak berangkat-berangkat. Setelah kami desak terus, akhirnya pihak PT baru mau menjawab kalau batal berangkat karena sudah diblacklist sama pihak Koreanya. Karena banyak anak-anak dari PT itu yang kabur sesampai di Korea,” terangnya.
Persoalan tak hanya berhenti sampai di situ. Setelah batal, rupanya pinjaman di bank untuk 9 peserta itu juga tak kunjung dikembalikan ke bank.
Hal itu membuat para peserta makin kebingungan. Sebab meski tak pernah menerima uang Rp 150 juta, pinjaman itu diajukan atas nama masing-masing peserta.
“Karena pinjaman belum dibayar, otomatis pihak bank menagih terus. Kami yang dirugikan, karena agunan sertifikat dan ijazah anak kami nggak bisa diambil. Waktu kami desak pihak bank, katanya nunggu pinjaman dilunasi. Sementara pihak PT waktu kami tanyakan janjinya seminggu, sebulan akan diselesaikan. Tapi sudah sampai enam bulan lebih belum ada kejelasan,” urai Yusuf.
Pihaknya sangat berharap pihak PT beritikad baik segera menyelesaikan permasalahan dengan bank. Sehingga ijazah dan sertifikat pekarangan para peserta bisa segera diambil.
Jika tidak, maka tidak menutup kemungkinan akan menempuh jalur hukum. Sebab dampak kasus ini, tak hanya merugikan material dari biaya yang dikeluarkan peserta selama proses, namun juga kehilangan kesempatan mendaftar pekerjaan lain karena ijazah masih tersandera di bank.
“Dulu janjinya hanya tes wawancara yang wawancara pakai bahasa Korea dan kalau lulus langsung karantina lalu berangkat. Nggak tahunya batal dan ijazah kami masih ditahan di bank. Saya jadi malu, lalu juga nggak bisa melamar pekerjaan lain karena ijazah belum bisa diambil,” timpal Rizky diamini kedua rekannya, Yunianto dan Hari.
Sementara, Ny Yusuf menambahkan selama proses menjelang janji akan diberangkatkan, putranya sudah banyak mengeluarkan biaya.
“Untuk wira-wiri, ngurus tes medical, paspor, buku laut kalau ditotal hampir Rp 50 juta habis Mas. Sekarang nggak jadi berangkat, malah sertifikat dan ijazah ditahan bank. Siapa nggak kecewa Mas. Apalagi ijazah ini penting, kalau ditahan terus tanpa kepastian, kan sama saja menyandera nasib generasi muda untuk dapat kesempatan bekerja. Anak saya ini kadang kalau teringat itu, langsung kepikiran terus,” tukasnya.
Mereka bertiga berencana akan menempuh jalur hukum dengan melaporkan kasus itu ke kepolisian di Cirebon dalam waktu dekat ini. Wardoyo