JOGLOSEMARNEWS.COM Daerah Semarang

Curhat Persatuan Waria Semarang Kesal Tak Dapat Bantuan Corona, Terpaksa Jualan Masker Hingga Tempe untuk Menyambung Hidup

Natalia Tika, Gabriel Eel, Silvy Mutiari, dan Naufal Sebastian dalam diskusi online Antara Covid-19 dan Kelompok Rentan, Jumat (24/04/2020). Tribun Jateng/ Ines Ferdiana Puspitasari
   

SEMARANG, JOGLOSEMARNEWS.COM – Pandemi corona atau Covid-19 tak telah berimbas pada kehidupan ekonomi dan sosial. Banyak pekerja yang telah kehilangan pekerjaannya karena PHK atau dirumahkan karena perusahaan tak mampu beroperasi dengan normal.

Apalagi bagi yang memiliki pekerjaan informal dengan penghasilan harian. Tak terkecuali dengan kelompok transgender yang gerak hidupnya kian sempit dengan hadirnya pandemi ini.

Diwakili oleh Silvy Mutiari, Ketua Persatuan Waria Semarang (Perwaris) Satu Hati, dalam diskusi online yang diadakan oleh Lembaga Bantuan Hukum Semarang, ia menjelaskan sedikit kondisi para transpuan yang ada di daerah Semarang.

Dalam diskusi memang bertemakan Antara Covid-19 dan Kelompok Rentan, Jumat (24/04/2020).

“Tentu saja dengan adanya kebijakan dari pemerintah mengenai physical distancing dan juga mau diterapkannya PSSB, sektor ekonomi yang dirasa paling berdampak. Karena dari kami dari komunitas waria kebanyakan memiliki pekerjaan informal.”

“Seperti salon yang saat ini harus tutup karena tidak ada pelanggan masuk, kalau dipaksa buka biaya operasionalnya justru lebih besar.”

“Kemudian untuk entertainer juga tidak ada job yang bisa diambil, yang kemarin sudah deal juga diundur untuk waktu yang belum bisa ditentukan.”

“Begitu pula dengan yang berprofesi sebagai pekerja seks (PS) tidak ada pendapatan juga,” tuturnya.

Dilecehkan Oknum Petugas

Bahkan beberapa waria mendapatkan perlakuan yang lebih represif dari aparat penegak hukum, Satpol PP.

Silvy menyebutkan ada kejadian ada teman waria yang ditangkap Satpol PP ketika mengamen di perempatan pada siang hari.

Tak hanya itu, oknum penegak hukum tersebut tega menggunduli rambut dan memaksa untuk bertelanjang dada.

Baca Juga :  Dampak Banjir Kudus, 141 Warga Masih Tinggal di Posko Pengungsian Sepekan Ini

Setelah itu baru diperbolehkan untuk pulang.

“Kejadiannya baru Sabtu kemarin tanggal 18.”

“Lalu juga kalau keluar malam bagi yang berprofesi sebagai PS juga banyak resikonya.”

“Saat ini banyak sekali preman yang mengambil handphone atau tas berisi uang cash di daerah Kalibanteng.”

“Sehingga benar-benar sulit untuk bekerja di tengah pandemi ini,” lanjutnya.

Sampai berita ini dibuat, Silvy mengatakan belum ada bantuan bagi komunitas waria Semarang dari pemerintah.

Baru ada bantuan dari lembaga swasta yang membagikan bantuan pada Komunitas Waria Semarang.

Sedangkan untuk mengakses bantuan dari pemerintah melalui program prakerja dan lain sebagainya dirasa kurang ramah bagi para waria.

“Sebagian teman waria itu tidak memiliki kartu identitas atau KTP, termasuk yang asli Semarang juga banyak yang tidak punya.”

“Karena itu sulit untuk bisa mengakses bantuan dari pemerintah.”

“Tidak ada KTP, tidak ada bantuan.”

“Padahal masalah kartu identitas ini sudah ada sebelum pandemi Covid-19, karena pemerintah sendiri kurang ramah dengan gender atau ekspresi gender.”

“Sehingga bagi sebagian besar teman waria memang kurang kesadaran untuk mengurus kartu identitas tersebut,” jelas Silvy.

Namun, untuk dapat terus menyambung hidup beberapa waria banting stir dengan berjualan online.

Mulai dari masker hingga tempe dijual untuk mendapatkan penghasilan untuk menyambung hidup.

Ada juga beberapa yang masih berkegiatan dengan pekerjaan informal lainnya walau terbatas.

Kemudian Silvy juga mulai berkomunikasi dengan jejaring komunitas waria di luar Semarang yang memiliki program pendampingan korban terdampak Covid-19.

Baca Juga :  Lakukan Balapan Liar di Ungaran, Puluhan Pemuda Dihukum Menuntun Motor Mereka ke Polres Semarang

Dalam diskusi yang sama, Gabriel Eel, Program Manager Rumah Pelangi Indonesia, mengatakan bahwa sistem pendataan penerima bantuan dari pemerintah harus diperbaharui.

Jangan sampai dengan anggaran bantuan yang begitu besar tidak diberikan pada target yang tepat.

“Pendataan saat ini berdasarkan KK, hal ini tentu membuat kelompok rentan yang tidak memiliki kartu identitas itu menjadi lebih sulit.”

“Karena ada alasan tertentu mereka tidak bisa mengurus kartu identitas.”

“Kebanyakan mereka enggan untuk kembali ke keluarga, seringkali kekerasan yang diterima itu berasal dari keluarga sendiri.”

“Entah itu dalam bentuk fisik maupun psikis,” ucapnya.

Persoalan tersebut, menurut Eel, ditengarai oleh penolakan dan stigma yang dialami oleh transgender.

Semisal diusir dari kediaman orang tua dan terpaksa kabur saat usia masih belia.

Hal-hal semacam itu turut memengaruhi para transgender kesulitan tak memiliki kartu identitas.

Sehingga hal yang terlihat mudah bagi orang lain, akan terasa sulit bagi komunitas rentan ini.

Kepala Bidang Minoritas Kelompok Rentan LBH Semarang, Naufal Sebastian, merasa masalah ini perlu diperhatikan.

Karena dalam kondisi darurat pandemi Covid-19 ini, transgender juga berhak untuk mendapatkan bantuan.

“Dengan adanya kartu identitas memang diperlukan untuk keperluan akuntabilitas, pertanggung jawaban ke mana bantuan itu diberikan.”

“Tetapi bukan jadi penghalang komunitas trandgender untuk mendapatkan bantuan.”

“Mungkin bisa dicari alternatif lain, bisa menggunakan foto atau data yang lain.”

“Karena ini sudah urusan kemanusiaan yang berhak didapatkan orang yang memang membutuhkan,” imbuhnya.

www.tribunnews.com

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com