Beranda Umum Nasional Jejak Kelam Mei 98, Korban Perkosaan Diintimidasi, Diminumi Baygon Lalu Dibunuh

Jejak Kelam Mei 98, Korban Perkosaan Diintimidasi, Diminumi Baygon Lalu Dibunuh

Ita Fatia Nadia (eks Direktur Kalyanamitra) -Edsus 20 tahun reformasi / tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM  –
Jejak sejarah kelam Mei 1998 terkuak kembali setelah puluhan tahun berlalu.
Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan, Ita F. Nadia mengatakan, banyak korban perkosaan pada peristiwa Mei 1998 mendapatkan tekanan untuk bungkam.

Intimidasi tersebut bahkan ada yang berujung pada pembunuhan. Salah satunya, intimidasi tersebut dialami oleh seorang anak perempuan berumur 13 tahun dari Kemayoran, Jakarta.

“Pamannya melaporkan bahwa dia adalah korban,” kata Ita dalam diskusi daring bertema Perkosaan Massal Mei ’98: Kapan Ada Pengadilan?”, Sabtu (16/5/2020).

Begitu laporan anak itu muncul, pihak keluarga mendapatkan tekanan dari berbagai pihak.

Tak tahan dengan tekanan itu, pihak keluarga kemudian memutuskan memberikan racun serangga untuk diminum si anak.

“Dia kemudian meninggal bukan karena perkosaan, tapi karena harus minum Baygon karena keluarganya ditekan,” ujarnya.

Mantan Direktur Kalyanamitra itu mengatakan, korban kedua yang dia dampingi ialah Ita Martadinata Haryono.

Ita adalah siswa kelas 2 SMA, korban kekerasan seksual dalam kaitannya dengan kerusuhan Mei 1998.

Mendapatkan dukungan dari komunitas Budha Indonesia dan internasional, Ita Martadinata berencana menceritakan ulang peristiwa yang dialaminya di sidang PBB. Tapi, menjelang kepergiannya ke PBB, dia dibunuh dengan cara sadis.

Baca Juga :  Kemenaker Tengah Mengkaji Kewajiban Sritex Terhadap Karyawannya, Jika Sampai Terjadi PHK

Menurut Ita, pembunuhan terhadap Ita Martadinata merupakan pesan ancaman kepada korban lainnya yang berani bicara kepada publik.

Setelah peristiwa pembunuhan itu, Ita mengatakan banyak korban memilih diam. Pilihan untuk diam, kata dia, masih bertahan hingga sekarang.

Komunitas Budha yang awalnya memberi dukungan, kata dia, akhirnya juga memilih untuk tak mau membicarakan lagi perihal kerusuhan Mei 1998.

“Kasus Ita Martadinata adalah pembungkaman secara politik dengan cara yang sangat sadis,” katanya.

Intimidasi yang menimpa para korban, untuk Ita menjadi salah satu alasan penuntasan kasus ini belum menunjukan titik terang hingga 22 tahun ini.

Komisi Nasional Perempuan menyebutkan sikap komunitas korban belum berubah hampir satu dekade.

Sikap itu terus menerus terjadi karena negara absen memberikan perlindungan kepada korban.

“Sikap membungkan korban sangat dipengaruhi oleh dinamika politik yang tidak menunjukan keberpihakan pada korban,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriyani.

Baca Juga :  Jelang Pilkada, Mensos Tetap Akan Salurkan Bansos yang Bersumber dari APBN dalam Bentuk Uang, Bukan Barang

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati mengatakan, kasus perkosaan Mei 1998 tak mungkin diadili tanpa komitmen politik yang kuat dari pemerintah.

Komitmen itu, kata dia, sulit didapat selama pelaku yang diduga terlibat dalam rangkaian kekerasan di tahun 1998 masih duduk di pemerintahan.

“Tanpa komitmen politik, tidak mungkin negara mau mengadili dirinya sendiri atau temannya yang menjadi bagian dari negara,” kata dia.

www.tempo.co