Beranda Umum Opini Kalung Ajaib Ala Kementan

Kalung Ajaib Ala Kementan

Ilustrasi melawan virus corona. Pixabay/Ahmad Triyawan

Ajaib ! Rilis kalung (yang diklaim antivirus) oleh Kementerian Pertanian (Kementan) pada memunculkan kehebohan dan kontroversi di masyarakat maupun kalangan medis.

Bagaimana tidak heboh, karena dalam pernyataannya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan, jika dipakai selama kurang lebih 15 menit, kalung ajaib itu dapat membunuh kurang lebih 42 persen virus corona. Dan jika dikenakan sekitar 30 menit bisa mematikan 80 persen virus Corona.

Bahkan, dalam rapat bersama dengan Komisi IV DPR RI, Selasa, 7 Juli 2020, Mentan  telah mengenakan kalung tersebut di lehernya. Aksi sang Menteri itu pun sontak menjadi sorotan dan sempat disentil salah satu anggota DPR saat itu.

Pada satu sisi, mestinya masyarakat cukup terbantu oleh inovasi dari Kementan tersebut. Bayangkan, jika virus yang mematikan dan menimbulkan korban ratusan ribu hingga jutaan orang itu ternyata dapat dibunuh hanya dengan mengenakan kalung.

Bukan tidak mungkin di zaman milenial ini, orang bisa mencegah virus Corona sembari mejeng di mall atau media sosial (Medsos). Apalagi kalau kalung tersebut juga mendapat sentuhan yang artifisial dan fashionable.

Karena itu, bukan hal yang mustahil bila kelak muncul sebuah slogan: Cantik sehat bebas Corona dengan kalung ajaib!

Ajaib? Iya, karena sampai saat ini pun World Health Organization (WHO) belum berhasil menemukan vaksin untuk membunuh virus Corona tersebut.

Atas inovasi itu, mestinya yang terjadi adalah reaksi positif dari masyarakat. Karena inovasi itu akan dapat membantu pemerintah dan masyarakat dalam mengatasi wabah virus Corona.

Tapi mengapa yang terjadi justru reaksi sebaliknya? Kalangan medis menilai, temuan dari para ahli di Kementan itu belum teruji secara ilmiah untuk membunuh virus Corona.

Dalam pandangan medis, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Daeng M Faqih mengatakan, sebelum memproduksi secara massal kalung (yang dalam istilah medis kalung aroma terapi eucalyptus) tersebut, mestinya ada penelitian yang membuktikan bahwa kalung itu bisa berfungsi sebagai antivirus.

Di kalanngan internal Kementan sendiri seolah masih ada keragu-raguan. Kepala Balitbang Kementan, Fadjry Djufri mengakui hasil temuan tersebut memang belum melalui tahapan uji pra klinis dan uji klinis.

Karena itu, menurutnya, kalung tersebut belum dapat diklaim sebagai antivirus Corona, meski secara penelitian laboratorium menunjukkan potensi besar. Pernyataan ini sendiri kurang sinkron dengan ucapan Menteri Pertanian yang mengklaim sebagai antivirus dan siap diproduksi secara massal.

Di luar alasan ilmiah di atas, temuan tersebut sebenarnya juga menimbulkan pertanyaan: Mengapa inovasi tersebut justru muncul dan dikembangkan oleh Kementerian Pertanian, dan bukan oleh Kementerian Kesehatan sebagai lembaga yang kompeten dan bertanggung jawab langsung terhadap kesehatan masyarakat?

Karena itu tak heran kalau sempat muncul usulan dari sementara pihak agar Kementan melakukan kerja sama dengan Balitbang Kemenkes, LBM Eijkman atau perguruan tinggi untuk mengembangkan penelitian tersebut.

Kalau boleh sedikit nakal, kita bisa saja bertanya: Kementerian Pertanian yang merambah wilayah kerja Kementerian Kesehatan, atau Kementerian Kesehatan yang memang kurang responsif dan miskin inovasi dalam menangani kasus wabah virus Corona?

Nyatanya, fakta pemberitaan selama ini cenderung mendukung anggapan tersebut. Salah satu contohnya ketika Presiden Joko Widodo marah-marah dalam sidang kabinet Paripurna, Kamis, 18 Juni 2020. Suasana menjadi ramai ketika sidang kabinet itu ditayangkan akun YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (28/6/2020).

Saat itu, Jokowi menyoroti serapan anggaran penanganan virus Coreona  yang sangat minim, yakni 1,53 persen dari total anggaran Rp 75 triliun.

Dari sisi yang lain lagi, temuan kalung antivirus ala Kementan ini juga menunjukkan kinerja para menteri di Kabinet Indonesia Maju kurang koordinatif, yang dalam istilah Jawanya pating blasur. Para menteri terkesan jalan sendiri-sendiri.

Jika menengok Perpres RI No. 45/2015, di sana disebutkan bahwa tugas utama Kementerian Pertanian adalah menyelenggarakan urusan di bidang pertanian untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.

Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian Pertanian menjalankan fungsi perumusan, penetapan dan pelakanaan kebijakan di bidang pertanian.

Dari sini saja sudah muncul beberapa pertanyaan. Apakah kalung antivirus merupakan tugas pokok Kementerian Pertanian? Mengapa rilis oleh Menteri Pertanian tidak Melibatkan Menteri Kesehatan sebagai wujud keterpaduan visi misi?

Sayangnya, di sisi yang lain Menteri Kesehatan malah tak banyak tampil di permukaan dan kurang berperan di garda depan dalam penanganan virus corona  ini.

Pernyataan-pernyataan strategis di bidang kesehatan yang mestinya penting untuk menenangkan masyarakat, selama ini tak pernah muncul dari Menteri Kesehatan secara langsung. Yang ada hanyalah pengumuman daftar pasien Corona sembuh dan mati oleh sang juru bicara (ini mengingatkan pada suatu zaman ketika Menteri Penerangan rajin membacakan daftar harga cabai setiap hari di televisi).

Jika apa yang dikemukakan Menteri Pertanian bukan sekadar gertak sambal, dan kalung antivirus tersebut benar-benar diproduksi secara massal, bukan tidak mungkin Mentan telah berhasil menciptakan sebuah tren baru.

Bukan hal mustahil kalung antivirus ala Kementan ini akan menjadi sebuah tren baru. Suatu ketika, suasana akan lebih berkembang, karena tren itu bakal membuka peluang baru berupa bisnis asesoris kalung antivirus.

Pengalaman menunjukkan, masyarakat Indonesia sangat mudah terseret oleh arus tren terbaru. Kita masih ingat, ketika bunga gelombang cinta dan jemani sempat booming. Banyak orang ramai-ramai berburu, sampai harganya mencapai ratusan juta. Tren itu bahkan sampai memicu munculnya tren kejahatan baru yakni pencurian gelombang cinta dan jemani. Namun tak berapa lama kemudian, tren itu hilang sendiri ditelan alam.

Beberapa waktu kemudian, masyarakat tiba-tiba dihanyutkan dengan tren akik. Sampai kemudian di hampir seluruh pelosok mengalami demam akik. Ketika itu, akik menjadi ladang rezeki yang baru bagi masyarakat. Banyak bermunculan sentra-sentra pembuatan akik, baik di kota maupun di desa-desa.

Namun ternyata tren akik ini usianya tak lebih lama dari gelombang cinta dan jemani, kemudian pelan-pelan surut dan menghilang dengan sendirinya.

Kini, ketika pandemi virus Corona sedang melanda negeri ini, masyarakat lagi dibuai demam sepeda, yang katanya untuk menjaga kesehatan dan mungkin untuk mengusir stres karena terlalu lama mendekam di rumah.

Demam sepeda ini begitu besarnya, sampai-sampai terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dan persediaan sepeda. Demam sepeda ini sungguh luar biasa dan entah kapan bakal mencapai titik jenuh.

Nanti, ketika kalung antivirus jadi diproduksi secara massal oleh rekanan yang ditunjuk Kementan, bukan hal mustahil bakal terjadi demam kalung antivirus. Di mana-mana orang bakal mengenakan kalung ajaib tersebut atas nama kesehatan dan dengan harapan terbebas dari virus Corona.

Ini jelas akan menjadi ladang bisnis baru yang menggiurkan. Dan bukan tidak mungkin, sudah ada pihak-pihak tertentu yang mengincar ladang bisnis ini untuk main di bawah tanah. Misalnya dengan melakukan produk serupa tapi tak sama. Ini yang perlu diwaspadai.

Dalam rapat dengan para wakil rakyat Selasa, 7 Juli 2020 lalu, DPR memberikan lampu hijau pada Kementan untuk melanjutkan misi dan proyek kalung antivirus tersebut, namun dengan catatan: tidak menggunakan dana APBN. Kementan juga diberi kebebasan untuk menggandeng pihak swasta untuk menangani proyek tersebut.

Entah, catatan kaki dari DPR itu akan mematahkan semangat Mentan untuk melanjutkan proyek kalung antivirus tersebut atau justru melecut Mentan untuk mencari dana lain di luar APBN.

Atau justru, rencana proyek kalung antivirus itu akan layu sebelum berkembang, sebagaimana tren akik dan gelombang cinta di atas yang sudah lama almarhum. Kita tunggu saja, sembari menunggu gebrakan dari Menteri Kesehatan untuk menangani dampak virus Corona. (*)

Hamdani MW
Jurnalis dan Cerpenis

Hamdani MW
Jurnalis dan Cerpenis