WONOGIRI, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kasus kekerasan terhadap anak khususnya pencabulan marak lagi di Wonogiri. Terbukti ketika jajaran Polres Wonogiri membongkar kasus tersebut belum lama ini.
Bukan hanya satu kasus. Ada sedikitnya tiga kasus berhasil diungkap polisi. Dari ketiganya semua korban merupakan anak berusia antara 11-13 tahun dengan pelaku pria dewasa yang sudah beristri.
Lokasi pencabulan beragam. Ada yang dilakukan di dalam rumah pelalu, namun ada pula tempat kejadian perkara di kamar hotel kelas melati.
Tren kenaikan kasus kekerasan terhadap anak di Wonogiri ini sempat mereda beberapa tahun. Namun belakangan mulai lagi melonjak. Pertanyaannya, bagaimana Pemkab Wonogiri mengambil langkah agar kasus serupa tidak terjadi.
Bupati Wonogiri, Joko Sutopo, baru-baru ini mengatakan kejadian kasus kekerasan anak di Wonogiri ada tren peningkatan. Hal itu berdasarkan laporan yang dia terima dari Dinas Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKB dan P3A) Wonogiri, Satreskrim Polres Wonogiri dan Satpol PP Wonogiri.
Pada 2019 ada 19 kasus kekerasan anak di Wonogiri. Pada 2020 ada 21 kasus. Sedangkan pada 2021, Januari-April sudah ada 16 kasus.
“Kami tidak mau indikasi kenaikan kasus dibiarkan, harus ada penanganan. Saat awal kami menjabat ada 84 kasus setiap tahunnya. Kemudian kami bentuk Satgas Wonogiri sayang anak, melandai ke angka 14-18 kasus per tahun,” ungkap dia.
Jekek mengatakan, saat ini Pemkab membangun kesadaran kolektif dengan para pelaku usaha hotel dan hiburan. Dia akan melihat progres dan perkembangan dari komitmen itu seperti apa. Dua bulan ke depan akan dilakukan evaluasi, hasilnya baik atau tidak.
“Semestinya para pelaku usaha itu, seperti hotel bisa menolak anak di bawah umur. Anak yang datang ke sana bisa diamankan dulu oleh Satpam. Jika ada indikasi bisa diklarifikasi. Apakah melanggar hukum atau tidak,” ujar dia.
Menurut dia, harus ada upaya pencegahan dengan cara membangun sinergitas dan komitmen kepada para pihak yang terlibat. Harus ada langkah persuasif yang dilakukan. Salah satu pihak yang terlibat yakni para pelaku usaha hotel dan hiburan.
“Kami berharap para pelaku usaha hotel dan hiburan mempunyai sistem deteksi dini terhadap para pengunjung. Jika ada anak di bawah umur jangan direspon. Kalau perlu diamankan dan dimintai identitasnya. Kemudian bisa berkoordinasi dengan pemerintah desa setempat. Anak ini siapa, tujuannya apa harus jelas,” kata dia.
Jika hal itu bisa dilakukan oleh para pelaku usaha, menurut dia, ada harapan untuk menekan dan mempersempit ruang gerak pelaku. Jika hanya mengandalkan produk hukum, masyarakat bawah tidak tahu. Mereka tidak tahu ancamannya apa.
Pria yang akrab disapa Jekek menuturkan, melalui pertemuan yang digelar beberapa waktu lalu, para pelaku usaha hotel dan hiburan sepakat dengan Pemkab Wonogiri. Bahkan mereka telah berkomitmen dengan mendeklarasikan diri mendukung upaya pemerintah tersebut. Termasuk siap dicabut izinnya jika melanggar komitmen dengan membolehkan anak di bawah umur masuk kamar hotel.
Pihaknya berharap jangan sampai Pemkab melakukan tindakan tegas. Karena dalam perizinan usaha ada ketentuan mengikat yang harus terjaga.
“Ketika kami melakukan razia dan didapati ada anak di bawah umur sedang check in, izin usaha akan kami bekukan. Itu akan berdampak pada iklim investasi. Kami tidak mau terjadi seperti itu, maka mari bersama bangun iklim dan sistem baru atas data serta fakta yang ada. Jika komitmen dilanggar, bisa kami cabut,” kata dia.
Selain karena pandemi Covid-19, menurut Jekek, meningkatnya kasus kekerasan anak disebabkan karena faktor kemajuan teknologi. Sehingga bisa merubah gaya hidup perilaku sosial.
Dalam kasus ini, menurut Jekek, bukan berarti kejadian kekerasan terjadi di hotel atau tempat hiburan. Kasus seperti itu ada fase atau tahapannya. Jadi tidak langsung terjadi pada kejadian pertama. Namun ada fase pengulangan yang dilakukan sebelum terjadi kasus kekerasan.
“Adanya fase itu berdasarkan data atau berita acara yang kami peroleh dari kepolisian. Mayoritas dari mereka pernah beraktivitas di perhotelan terlebih dahulu. Hal seperti ini menjadi prosedur buruk terhadap komitmen pemda dalam mencegah kasus kekerasan anak,” kata dia. Aris