Oleh: Begog D Winarso*
Wacana amandemen konstitusi (UUD 1945) selalu menjadi topik pembicaraan, tepatya obrolan, publik di berbagai kesempatan. Mereka kebanyakan sepakat UUD 1945 diamendemen, namun dibatasi hanya pada wewenang MPR menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Tidak diperlebar pada hal lain, seperti perpanjangan masa jabatan presiden.
“Kalau itu nanti yang dilakukan masa jabatan DPR dan DPD juga ikut diperpanjang. Pemilu 2024 pun ditunda,” ujar seorang aktivis antikorupsi dalam obrolan di warung bakmi langganan saya, Kamis (9/9) malam.
Kata dia lagi, “Pak Presiden Jokowi sejak awal menolak masa jabatan presiden diperpanjang. Kalau perubahannya terbatas hanya pada PPHN, Pak Jokowi kan oke-oke wae. Ini artinya, Pak Jokowi tak ingin amendemen melebar ke mana-mana.”
Gagasan amendemen konstitusi dilontarkan secara resmi oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam Sidang Tahunan MPR serta Sidang Bersama DPR dan DPD. Ia mengemukakan perlunya perubahan terbatas UUD 1945, khususnya untuk menambah wewenang MPR menetapkan PPHN.
Rumor yang berkembang banyak orang yang sekarang intens bekerja untuk meloloskan rencana perubahan konstitusi bukan hanya menambah pasal PPHN. Tapi juga memasukkan pasal memperpanjang masa jabatan presiden, masa jabatan DPR, dan masa jabatan DPD hingga tahun 2027. Mereka itu kita duga adalah elite dan kelompok yang selama Jokowi menjadi presiden (dua periode) diuntungkan. Mereka ingin mempertahankan status quo karena sudah merasa nyaman dengan jabatan yang disandang. Pun golongan pengusaha kakap yang selama ini menangguk banyak laba.
Mereka (yang berstatus pejabat) rajin ngobyek memburu proyek apa saja untuk dirinya, keluarga dan kelompoknya. Berkembang pula rumor bahwa mereka rela patungan dana untuk kepentingan lobi-lobi politik ke MPR demi meloloskan amendemen yang bahasannya ditambah memperpanjang jabatan presiden, DPR, dan DPD. Alasan yang diusung di antaranya adalah pandemi Covid-19 dan masih banyak proyek pembangunan yang belum kelar serta masih dalam perencanaan.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir tampaknya tanggap dengan kondisi tersebut. Ia menilai bahwa kebangsaan saat ini seperti terjebak dalam polarisai ekstrem. Terkait gagasan amendemen UUD 1945 ia mengingatkan semestinya dipikirkan dengan hikmah kebijaksanaan yang berjiwa kenegaraan otentik. Jangan sampai ada kepentingan jangka pendek yang memperberat kehidupan bangsa, menyalahi spirit reformasi 1998, serta lebih krusial lagi bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945, yang dirancang bangun dan ditetapkan oleh pendiri bangsa kita 76 tahun silam.
Elite dan kelompok yang menghendaki perubahan konstitusi selain PPHN, tapi juga merubah masa jabatan presiden, DPR dan DPD mirip sikap atau jiwa Kurawa yang angkara murka: serakah, bengis dan tamak. Mereka yang berjiwa begitu selalu memiliki keinginan serba singkat atau instan. Sangat ingin sugih bondho, sangat ingin disegani/dihormati, sangat ingin bahagia, dan sangat ingin menang sendiri. Maunya jagat diemperi atau kaya segalanya meski itu diperoleh dengan cara menabrak hukum.
Mereka tak peduli dengan nasib rakyat yang saat ini sedang kesulitan ekonomi dan diserang Covid-19 yang entah kapan pagebluk ini berakhir. Dalam benaknya harta kekayaan dan jabatan adalah segala-galanya. Mereka khawatir segala kenikmatan yang dirasakan selama ini diusik oleh siapa/pihak manapun. Karena itu, mereka melakukan berbagai cara untuk melanggengkan apa yang dimiliki saat ini.
Siapakah mereka itu? Publik banyak yang paham dan tahu. Harta kekayaan mereka berlimpah ruah. Kekayaan berupa uang disimpan di beberapa bank dengan atasnama orang lain – saudara atau sahabat serta asisten rumah tangganya. Begitu juga hektaran tanah pekarangan, bahkan perkebunan dan tambang. Modus ini demi amannya aset-aset miliknya. Sedia payung sebelum hujan. Mereka ingin sugih tujuh turunan.
Sobat saya, seorang pengusaha di Jakarta, punya cerita menarik. Kata dia, dirinya punya kenalan seorang komisaris di sebuah BUMN. Sang komisaris itu dulunya “bukan siapa-siapa”, kini kaya raya. Selain rumahnya di daerah asal dibangun mewah, ia memiliki apartemen bernilai miliaran rupiah di Jakarta. Juga beberapa bidang tanah di daerah asal serta simpanan uang di bank. Sebagai komisaris ia mengaku take home pay yang resmi per bulan hanya antara Rp 100 juta hingga Rp 150 juta.
“Karena aku sudah akrab, dia sempat keceplosan ngomong begini, ‘penghasilannya terbanyak dari main proyek dengan sejumlah pengusaha Jakarta maupun daerah’. Proyeknya berasal dari BUMN tempatnya bekerja,” tutur sobat tadi.
Jika cerita itu benar adanya, komisaris dimaksud bisa jadi termasuk kelompok yang ingin masa jabatan presiden, DPR dan DPD diperpanjang hingga 2027. Ia telanjur merasa kepenak dan nikmat dengan jabatan komisaris serta punya jaringan luas: elite pemerintahan dan politisi.
Itu baru jabatan tingkat komisaris. Kita pastikan mereka yang punya jabatan lebih atasnya lagi obyekannya macam-macam sehingga harta kekayaannya berlimpah. Mereka juga punya aset di luar negeri. Namun, harta kekayaan yang dimiliki tidak seluruhnya dilaporkan ke KPK lewat apa yang disebut LHKPN (laporan harta kekayaan penyelenggara negara). Mereka sengaja menyembunyikannya karena sebagian besar kekayaannya bisa jadi diperoleh dari hasil KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menyebutkan, dari 2018 hingga 2020, KPK memeriksa LHKPN milik 1.665 penyelenggara negara. Hasilnya, 95 persen dinyatakan tidak akurat. “Banyak harta yang tidak dilaporkan, seperti tanah, bangunan, rekening bank, maupun investasi lain,” katanya, Selasa (7/9).
Mari kita tunggu saja. Apakah nanti amendemen UUD 1945 juga memperpanjang masa jabatan presiden, DPR dan DPD atau hanya PPHN?
Yang tidak terbantahkan jika betul MPR mau tinggal pencet remote dan amendemen bergulir mulus. Sebab, dengan masuknya PAN kekuatan koalisi parpol pendukung pemerintah kian kokoh. Mereka menguasi 82 persen suara DPR atau sebanyak 471 anggota. Agar mencapai tiga perempat anggota MPR untuk menyetujui dan mengesahkan amendemen, hanya membutuhkan empat suara tambahan.
Itu pekerjaan tidak sulit alias gampang. Empat suara tergolong kecil dan bisa dibeli. Doltinuku.
Menurut anggota DPD A Teras Narang, politik itu sangat cair. Dukungan dalam sebuah keputusan politik besar seperti amendemen tidak selalu tegak lurus seperti yang dikira. Hal ini mengingat bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD yang tentu saja punya marwah serta kedaulatannya sendiri sebagai wakil rakyat.
“Jadi, bukan tidak mungkin ada anggota partai yang tak bersepakat, atau sebaliknya bukan tak mungkin anggota DPD justru bersepakat untuk mendorong amendemen,” tutur Teras Narang.
Apakah hal itu merupakan lampu hijau dari pihak DPD yang sepakat adanya amendemen? Karena itu, kita dorong dan dukung semua elemen bangsa yang anti status quo untuk mengawal dengan bijak gagasan amendemen. Yang saat ini harus kita pertanyakan, perubahan UUD 1945 itu untuk kepentingan siapa? Di antara elite politik jangan sampai ada konflik kepentingan yang menjadikan perubahan konstitusi hanya untuk memperpanjang masa jabatan. Pikiran memperpanjang kekuasaan lembaga kepresidenan, kekuasaan DPR dan kekuasaan DPD adalah bentuk konflik di dalam tubuh elite politik.
Bagi orang yang tidak bermoral dan tak punya rasa empati pada rakyat kecil, takhta atau jabatan dan harta kekayaan adalah nafsu utamanya. Namun, mereka selalu beretorika bahwa ia mengabdi tulus kepada bangsa dan negara. (*)
–*Penulis adalah Wartawan Senior dan Ahli Dewan Pers—