JOGLOSEMARNEWS.COM Umum Nasional

Kalangan Akademisi Minta Pemerintah Bersikap Adil Terhadap Petani Tembakau

Istimewa
   

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Kalangan akademisi menilai, rencana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) pada 2022 menjadi bukti Pemerintah kurang berpihak pada petani dan buruh.

Penilaian itu terungkap dalam diskusi Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) bertema Cukai & Eksistensi IHT, Bagaimana Suara Akademisi secara daring, Kamis (23/9/2021) malam.

Ketiga akademisi dari perguruan tinggi ternama tanah air itu adalah sosiolog UGM AB Widyanta, ekonom UI Eugenia Mardanugraha dan antropolog Universitas Hasanuddin, Yahya.

Dalam pandangan Eugenia, di masa pandemi ini negara memang membutuhkan penerimaan untuk mendukung berbagai program pemulihan ekonomi nasional.

Namun, pemerintah semestinya tidak hanya fokus pada penerimaan saja. Sebab, kenaikan cukai berapapun besarannya tidak akan membantu untuk menutupi defisit akibat resesi ekonomi yang disebabkan pandemi.

“Fokusnya jangan pada kenaikan cukai. Cukai naik atau tidak, pemerintah tetap akan merasakan defisit. Kenaikan cukai rokok seharusnya tidak hanya soal penerimaan saja, tapi utamanya soal implikasi pada pekerja dan petani harus diperhatikan,” ujarnya, seperti dikutip dalam rilisnya ke Joglosemarnews.

Eugenia mengingatkan, dari sebegitu besarnya penerimaan cukai yang didapat negara, harusnya manfaatnya dapat dikembalikan kepada petani, buruh, pekerja, hingga konsumen.

Baca Juga :  Jokowi Dikabarkan Telepon Hakim MK Tanyakan Hasil Putusan Sengketa Pilpres, Ini Penjelasan MK

Oleh sebab itu, sudah seharusnya pemerintah bertanggung jawab merealisasikan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT).

Sehingga, menurut Eugenia, ada jaminan bahwa petani sejahtera dari cukai, karena pemerintah sudah merasakan penerimaan besar. Sudah saatnya petani dan buruh merasakan kesejahteraan dari cukainya.

“Masak, dari target penerimaan negara dari cukai sebesar Rp 203,9 triliun pada 2022, tidak bisa dikembalikan kepada petani, buruh, dan konsumen?” tegasnya.

Jika diteropong dari sudut pandang sosiologi, Widyanta menuturkan bahwa berapa pun besaran CHT yang diterapkan, pemerintah selalu abai terhadap perjuangan para petani tembakau.

Petani tembakau adalah pihak yang terpinggirkan, yang pemenuhan hak-haknya tidak pernah dipertimbangkan.

“Mau petani komoditas makanan, termasuk petani tembakau, tidak pernah disentuh oleh pemerintah,” papar Widyanta.

Karena itu, ia meminta Pemerintah melihat potensi, bukan hanya melihat keuntungan untuk menutup defisit ekonomi. Petani juga butuh didampingi dalam manajemen pertanian, misalnya dari sisi grading dan penjualan.

Tak hanya petani, AB Widyanta juga menyoroti dampak kenaikan CHT pada kondisi buruh pabrik (sektor formal maupun informal), terutama yang berkaitan dengan sigaret kretek tangan (SKT).

Jika CHT dinaikkan dan produksi rokok semakin menurun, maka para pekerja di sektor padat karya seperti SKT yang mayoritas perempuan akan terdampak langsung dengan pengurangan jam kerja hingga pengurangan upah.

Baca Juga :  Nusron Wahid Beberkan Sejumlah Parpol di Luar 02 yang Potensial Bergabung dengan Pemerintahan Prabowo-Gibran

“Nah, mereka ini seharusnya perlu diberdayakan, ditingkatkan kualitasnya agar bisa mandiri dan sejahtera,” imbuhnya.

Sementara itu, dari sisi antropologi, antropolog Yahya melihat bahwa selama pandemi saat ini, Pemerintah menerapkan kebijakan yang tendensius pada sektor kesehatan saja dan tidak membuat kebijakan yang berimbang.

Ia mencontohkan, kebijakan soal rokok selalu dikaitkan dengan kesehatan, baik itu CHT maupun regulasi lain.

“Ini tendensius sekali. Padahal seharusnya kebijakan itu berimbang, lihat dampak ke semua sektor,” jelas Yahya.

Ia meminta, Pemerintah harus fair dalam menelurkan sebuah kebijakan, termasuk dalam hal industri rokok.

“Industri dengan 6 juta orang yang terlibat di dalamnya mau di kemanakan?” tukasnya.

Di tengah pandemi yang masih berlangsung, Yahya berpandangan bahwa seharusnya pemerintah dapat lebih bijak dengan memprioritaskan hak-hak ekonomi masyarakat.

Mulai dari petani tembakau, buruh rokok hingga pedagang yang sedang berjuang untuk bisa kembali bangkit dan mandiri secara ekonomi.

“Terutama di sisi petani tembakau ya, pemerintah seharusnya membantu petani melestarikan tembakau karena itu adalah cultural heritage. Sudah mandarah daging di petani,” tutupnya. Suhamdani

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com