YOGYAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Industri pertembakauan di Indonesia memiliki sejarah panjang dan mempunyai peran strategis untuk membantu perekonomian nasional.
Demikian strategisnya peran industri tembakau, sehingga pemerintah di era mana pun selalu menjadikan tembakau melalui produk olahannya, sebagai sumber keuangan negara dan penyerap tenaga kerja yang sangat signifikan.
Demikian diungkapkan oleh peneliti senior di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Suhardi Suryadi dalam diskusi publik Potret Kebijakan Ekonomi Politik di Sektor Pertembakauan yang digelar Aliansi Mahasiswa Pascasarjana (Asmara) UGM secara virtual Rabu (8/9/2021) malam.
Namun menurut Suhardi, selama ini pemerintah tidak cukup memberikan dukungan agar sektor ini berkembang dan lestari. Terutama menyangkut kepentingan orang banyak yang sebenarnya berperan kunci, di antaranya petani dan buruh.
Melihat kondisi itulah, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), AB Widyanta mengingatkan agar pemerintah mengambil kebijakan yang komprehensif terkait dengan pertembakauan.
Sebab, Industri Hasil Tembakau (IHT) bukan saja menjadi penyumbang utama pendapatan negara. Namun sejak dulu diketahui menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat serta menjadi tumpuan hidup puluhan juta orang.
Abe, sapaan akrabnya mengatakan, pembicaraan mengenai cukai rokok mestinya harus dipahami tidak hanya menyangkut industri rokok atau pabrikan saja. Sebab, komoditas yang satu ini menyangkut juga nasib jutaan petani, buruh pabrik hingga pedagang dan pekerjanya.
Abe mencontohkan, sebagai warga asli Gunungkidul yang juga memiliki tetangga petani tembakau, dia mengaku sangat memahami kegelisahan petani tembakau. Sebagai komoditas yang bernilai, mestinya petani tembakau menyambut senang saat musim panen.
“Tapi yang terjadi di negara kita ini? Ketika musim panen hampir tiba, petani malah dibuat gelisah,” ujarnya.
Kegelisahan itu selalu muncul, seiring dengan kebijakan yang berubah-ubah dan tidak melindungi petani. Demikian pula, harganya juga tidak pernah bisa standar, tidak ada patokan yang pasti.
“Tahun ini, tetangga saya Pak Karno dan Pak Tugiran, bahkan memilih tidak memanen tembakau mereka. Karena tiba-tiba ada ketentuan, daun tembakau harus direnteng. Lha untuk merenteng daun tembakau, mereka harus menambah biaya sekitar satu juta rupiah. Bayangkan,” kata Abe.
Padahal, tembakau ketika sudah melalui proses pengolahan di pabrik, mampu menyumbang pajak besar ke negara. Petani, buruh serta pekerja, kata Abe, mestinya juga ikut merasakan manisnya bertani tembakau. Setidaknya, petani tidak sampai merugi.
“Petani tembakau itu menghadapi risiko besar. Selain tata niaga yang tidak berpihak, mereka juga harus waspada dengan cuaca. Lebih repot lagi, kalau tidak terserap pasar, daun tembakau tidak bisa diapa-apakan. Untuk pakan ternak juga tidak bisa. Ini kan berbeda dengan komoditi pertanian lainnya,” katanya.
Terkait kondisi tersebut, menurut Abe, pemerintah seharusnya hadir dan berperan nyata melindungi kepentingan petani dan buruh serta pekerja yang terkait IHT. Kebijakan pemerintah harus mampu membawa aspirasi semua yang terlibat dalam IHT, tidak terkecuali petani dan buruh.
Semua pihak perlu diajak berembug saat menyusun rencana kebijakan. Dengan demikian lahir kebijakan yang adil bagi semua.
“Tapi kita harus diakui, selama ini kondisinya jauh dari itu. Tidak heran, ketika pemerintah berencana menaikkan tarif cukai, pasti petani dan buruh berteriak keberatan. Sebab ketika cukai naik, sudah pasti yang terdampak adalah petani dan buruh. Pabrik rokok akan menekan biaya produksi. Yang paling mudah ya menekan harga bahan baku dan biaya tenaga kerja,” tandas Abe.
Kaitannya dengan kebijakan mengenai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), Abe melihat kebijakan ini belum mampu menjawab persoalan terjepitnya nasib petani tembakau.
Imlementasi kebijakan itu belum mampu menyentuh aspek kesejahteraan petani. Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, pernah melakukan riset pada 2016 terkait DBHCHT ini. Riset dilakukan di empat provinsi yakni Jatim, Jateng, Jabar dan NTB.
“Hasilnya, lagi-lagi mencerminkan nasib petani yang teraniaya. Secara umum, alokasi dana bagi hasil belum dirasakan petani, buruh dan pedagang tembakau,” lanjutnya.
Dilihat dari sisi ekonomi, tembakau memang memiliki kontribusi terhadap anggaran negara yang tak bisa disepelekan. Demikian setidaknya pandangan dari ekonom muda, Sulthan Farras.
Merujuk data, Sulthan mengatakan, pendapatan negara dari cukai rokok terus meningkat. Kontribusinya berkisar Rp 150 triliun hingga Rp 200 triliun. Nilai itu terbilang sangat besar melebihi kontribusi dari sektor-sektor lain.
Melihat sumbangannya yang begitu sifnifikan, maka kebijakan pemerintah terkait cukai, menurut Sulthan, seharusnya mempertimbangkan secara luas ekosistem dari pertembakauan. Setiap kenaikan cukai, bisa dipastikan akan berdampak pada sisi produsen dan konsumen.
Dari sisi produsen, kenaikan tarif cukai akan berpengaruh pada biaya produksi, yang akan dibebankan pada bahan baku dan biaya tenaga kerja. Kenaikan tarif, juga sangat mungkin akan berdampak pada kenaikan harga rokok, yang dirasakan oleh konsumen.
“Yang paling merasakan dampaknya sudah tentu petani dan buruh pabrik rokok. Kenaikan harga ini, sangat mungkin juga akan mengancam industri rokok dalam negeri. Ketika itu terjadi, akan bermunculan rokok ilegal atau bahkan investor asing akan lebih leluasa mengambil peran di industri,” ungkapnya.
Saat ini, papar Sulthan, 35 persen tembakau untuk kebutuhan dalam negeri adalah hasil impor. Lahan pertanian terus menurun sehingga pangsa pasar diambil oleh Amerika Serikat, China dan India. Hukum ekonomi berjalan. Bukan tidak mungkin, pemerintah justru akan kehilangan mesin ekonomi kalau tidak hati-hati dalam memutuskan kebijakan.
Akar Sejarah Tembakau
Dilihat dari sudut pandang sejarah, di Indonesia tembakau mulai ditanam tahun 1600-an. Pada era kolonial Belanda, komoditas ini bahkan dikembangkan dengan sistem tanam paksa di sejumlah wilayah.
Tidak mengherankan, karena saat itu Belanda melihat tembakau sebagai komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan mulai menerapkan pajak sekitar tahun 1830-an.
Pemerintah kolonial, kata sejarawan dari UGM Appridzani Syahfrullah, bahkan menjadikan komoditas ini sebagai jalan keluar tatkala mengalami defisit anggaran. Dari sinilah, pajak untuk rokok dan cengkeh bermula, yang nilainya terus meningkat.
“Pada awal pajak ditetapkan 20 persen. Tapi kemudian naik menjadi 30 persen pada tahun 1936,” katanya.
Menurut Appridzani, boleh jadi pemerintah Belanda kala itu juga melihat potensi besar dari tembakau. Hal ini tak lepas dari tradisi merokok yang kental di masyarakat Indonesia.
Kebiasaan merokok malah sudah tertulis di dalam sejumlah babad, misalnya Babad Tanah Jawi. Hal ini menjadi bukti sejarah, betapa rokok sudah demikian populer pada masa pemerintahan Panembahan Senopati yang menguasai wilayah Mataram. Suhamdani